Skandal Limbah Scrap PLTU Cirebon: Miliaran Rupiah Raib, Rakyat Cuma Jadi Alat Legitimasi

KIM
Obor Cirtim saat melakukan aksi. (foto: Istimewa)

adainfo.id – Proses lelang limbah scrap yang dilakukan oleh PLTU Cirebon kembali menjadi sorotan publik. Alih-alih memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar, praktik tersebut kini diwarnai dugaan penyimpangan dana, manipulasi pelaporan, hingga potensi tindak pidana korupsi yang terstruktur.

Presidium OBOR Cirtim (Organisasi Bersama Rakyat Cirebon Timur) menyebut, skema lelang yang selama ini diklaim demi “kepentingan rakyat” hanyalah kedok elite untuk menutup praktik gelap yang menguntungkan segelintir pihak.

Pada Selasa (8/7/2025), perwakilan OBOR Cirtim, Sudarto, SH, menggelar pernyataan sikap keras, menyebut narasi ‘untuk rakyat’ tidak lebih dari simbol politik tanpa realisasi.

Ia menegaskan, selama bertahun-tahun masyarakat tidak pernah menerima laporan resmi, audit independen, atau bentuk pertanggungjawaban nyata dari hasil penjualan limbah PLTU Cirebon.

“Masyarakat terus dijadikan tameng, tapi tidak pernah menjadi penerima manfaat. Semua hanya janji kosong,” tegas Sudarto.

PLTU Cirebon 1: Lelang Saat Salat Jumat, Dana Ratusan Juta Tak Jelas

Pada tahun 2024 lalu, PLTU Cirebon 1 menggelar lelang limbah scrap dengan total nilai lebih dari Rp2 miliar. Dana itu seharusnya dibagikan secara adil kepada empat desa terdampak, yaitu Desa Kanci, Kanci Kulon, Waruduwur, dan Citemu.

Namun, dari data yang dihimpun OBOR Cirtim, hanya sekitar Rp1,44 miliar yang diterima oleh desa-desa tersebut. Sisanya, antara Rp600 hingga Rp800 juta, hingga kini tidak jelas keberadaannya.

Lebih ironis lagi, proses lelang justru digelar bertepatan dengan waktu salat Jumat, yang memicu kecaman karena dinilai menciderai nilai-nilai keagamaan dan norma sosial masyarakat.

“Yang kita pertanyakan bukan hanya nominalnya, tapi integritas seluruh prosesnya,” tutur Sudarto.

Tidak ada laporan hasil lelang yang dipublikasikan. Tidak ada audit dari BPK, Inspektorat, ataupun pengawasan dari DPRD. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa dana hasil limbah scrap tidak dikelola secara transparan dan akuntabel.

PLTU Cirebon 2: Dugaan Pola Gelap Kembali Terulang

Kini giliran PLTU Cirebon 2 yang tengah dalam proses pelelangan limbah. Namun, menurut pengakuan warga dari desa-desa sekitar seperti Bandengan, Astanamukti, Mundu, dan Pengarengan, tidak pernah ada sosialisasi ataupun informasi terkait jumlah volume limbah, nilai lelang, dan siapa pihak pemenang tender.

Pemerintah desa pun mengaku tidak dilibatkan. Belum ada kejelasan apakah dana dari hasil limbah tersebut akan disalurkan ke masyarakat, ke kas desa, atau justru ke pihak lain yang tidak memiliki otoritas.

“Ini bukan sekadar kelalaian. Ini pola sistematis yang berpotensi menjadi kejahatan lingkungan dan ekonomi,” tegas Sudarto.

Jejak Suap dan Gratifikasi PLTU: Sunjaya Purwadi Terbukti Terima Rp6 Miliar

Dugaan korupsi dalam proyek PLTU bukan isapan jempol. Dalam sidang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2024, terungkap bahwa mantan Bupati Cirebon, Sunjaya Purwadi Sastra, menerima suap sebesar Rp6,04 miliar dari pengusaha PLTU Cirebon 2. Uang suap itu diberikan agar proyek pembangunan tidak terganjal penolakan warga dan regulasi daerah.

Suap tersebut disamarkan melalui pejabat ASN, kader partai politik, hingga ajudan pribadi. Uang itu digunakan untuk membeli aset, membiayai kampanye, serta kepentingan pribadi lainnya. Skandal ini menambah daftar panjang persoalan etik dan hukum yang menyelimuti proyek pembangkit listrik di wilayah Cirebon.

“Kalau proyeknya lahir dari uang suap, wajar jika hasil-hasil turunannya, seperti lelang limbah, juga ikut bermasalah,” ujar Sudarto.

Masyarakat Dikorbankan Demi Keuntungan Elit

Di tengah retorika investasi dan jargon Corporate Social Responsibility (CSR), masyarakat di sekitar PLTU justru menjadi pihak yang paling dirugikan. Mereka hidup dalam bayang-bayang polusi udara, limbah cair, dan potensi gangguan kesehatan lainnya. Namun, mereka tidak mendapatkan kompensasi atau pertanggungjawaban sosial yang layak.

Tidak adanya mekanisme pengawasan independen terhadap lelang limbah, tidak tersalurkannya dana secara terbuka ke masyarakat, dan ketiadaan regulasi khusus tentang pengelolaan limbah scrap—semua menjadi bukti bahwa kesejahteraan rakyat hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan.

Desakan OBOR Cirtim

Dalam aksinya, OBOR Cirtim menuntut langkah tegas:

  1. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera melakukan investigasi penuh terhadap seluruh transaksi limbah scrap di PLTU Cirebon 1 dan 2.

  2. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI diminta melakukan audit forensik terkait penggunaan dana hasil lelang dan pelaporan keuangan panitia.

  3. DPRD Kabupaten Cirebon dan DPRD Provinsi Jawa Barat segera memanggil manajemen PLTU dan panitia lelang untuk memberikan keterangan terbuka di hadapan publik.

  4. Pembentukan tim audit independen dari unsur perguruan tinggi, LSM, media, dan masyarakat sipil untuk memantau proses distribusi dana hasil limbah secara transparan dan akuntabel.

“‘Limbah untuk rakyat’ hanyalah pepesan kosong jika uangnya justru jadi bancakan para penguasa dan pemodal. Sudah cukup rakyat Cirebon menjadi korban!” tutup Sudarto.

BSP GROUP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *