Mendagri: BUMD Banyak Diisi Timses Tak Profesional, Rugi Rp 5,5 Triliun
adainfo.id – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengungkapkan sejumlah persoalan serius yang membelit kinerja Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di berbagai wilayah Indonesia.
Salah satu masalah krusial yang disoroti Tito adalah banyaknya posisi strategis di BUMD yang diisi oleh tim sukses (timses) kepala daerah yang tidak memiliki kompetensi profesional.
“Di antaranya yang paling pertama, tidak profesional. Kadang-kadang banyak yang di BUMD itu dari tim sukses. Ya boleh saja, asal profesional. Tapi kalau tidak profesional, justru menjadi beban, baik bagi direksi, komisaris, maupun pegawai,” kata Tito usai rapat kerja bersama Komisi II DPR RI di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (16/7/2025).
BUMD Rugi Rp 5,5 Triliun
Dalam rapat tersebut, Tito memaparkan data yang mencengangkan terkait performa BUMD di Indonesia.
Dari total 1.091 BUMD yang tersebar di berbagai daerah, sebanyak 300 di antaranya mengalami kerugian.
Total kerugian yang tercatat mencapai Rp 5,5 triliun. Sementara itu, 678 BUMD tercatat meraih laba, dan 113 lainnya belum melaporkan data kinerja keuangan terkini.
“Jumlah aset seluruh BUMD mencapai Rp 1.240 triliun lebih. Dari jumlah tersebut, laba yang berhasil dicatat sekitar Rp 29,6 triliun. Namun setelah dikurangi beban dan kerugian lainnya, laba bersih hanya Rp 24,1 triliun. Dividen atau keuntungan bunga yang disetor hanya Rp 13,02 triliun,” jelas Tito.
Ia menyoroti lemahnya kontribusi BUMD terhadap pendapatan daerah. Padahal, dengan nilai aset sebesar itu, seharusnya dividen yang disetor bisa jauh lebih besar.
“Dividen hanya 1% dari total aset. Ini memprihatinkan karena sebetulnya bisa lebih dari itu. Laba juga hanya 1,9% dari total aset,” ucap Tito.
Lemahnya Profesionalisme dan Ketidaksesuaian Bisnis
Mendagri juga mengkritik pola pembentukan BUMD yang tidak sesuai dengan potensi daerah. Ia mencontohkan, banyak daerah yang memiliki keunggulan di sektor pertanian, namun justru mendirikan BUMD di bidang konstruksi atau pertambangan.
“Potensi daerahnya bidangnya pertanian, tapi bicaranya soal konstruksi. BUMD-nya konstruksi. Tidak tepat. Atau potensinya pariwisata, tapi didirikan BUMD di sektor tambang. Tidak cocok,” tegas Tito.
Menurutnya, ketidaksesuaian ini berujung pada lemahnya kinerja dan membuat BUMD hanya menjadi beban anggaran.
Dewan Pengawas Lebih Banyak dari Direksi
Permasalahan lain yang disoroti adalah ketimpangan struktur organisasi di tubuh BUMD.
Tito menyebut adanya ketidakseimbangan jumlah antara direksi dan dewan pengawas atau komisaris, yang terkadang lebih banyak jumlah pengawasnya dibandingkan manajemen eksekutif.
“Lemahnya tata kelola, termasuk dalam jumlah dewan pengawas yang kadang lebih banyak dari direksi, menunjukkan perlunya pembenahan sistemik,” katanya.
Tito juga menyoroti belum adanya aturan hukum yang secara tegas mengatur pembubaran BUMD yang terus merugi.
Saat ini, kewenangan pembubaran masih berada di tangan kepala daerah, yang belum tentu bertindak tegas.
“Pembubarannya tidak ada aturannya. Saat ini kewenangannya berada pada kepala daerah. Ini yang menjadi problem,” ujarnya.
Usulan RUU tentang BUMD
Sebagai langkah solusi, Tito mengusulkan kepada Komisi II DPR RI agar mendukung pembentukan Undang-Undang tentang BUMD.
Menurutnya, undang-undang ini akan menjadi dasar hukum yang kuat untuk memperbaiki pengelolaan BUMD secara nasional dan mendorong akuntabilitas serta profesionalisme.
“Kami mohon kiranya kepada Komisi II DPR RI dapat mendukung terbentuknya undang-undang tentang BUMD agar lebih tegas dalam mengatur pengelolaan. Drafnya akan kami siapkan,” tegas Tito.
Ia menambahkan, regulasi tersebut juga diharapkan bisa mencegah praktik politisasi BUMD yang selama ini membuat perusahaan daerah tidak produktif dan menjadi lahan politik balas jasa.