Dugaan Pungli Dana KIP-K di Kampus JGU Depok, Mahasiswa Laporkan ke Kejari

AG
Gedung JGU Depok (foto: lpm.jgu.ac.id)

adainfo.id – Praktisi hukum dan aktivis HAM, Deolipa Yumara, secara resmi menerima kuasa hukum dari puluhan mahasiswa Jakarta Global University (JGU) Depok untuk mengusut dugaan penyelewengan dana Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) yang terjadi di lingkungan kampus tersebut.

Tak hanya itu, kasus ini juga telah dilaporkan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Depok, namun hingga kini masih belum mendapat respons memadai.

Mahasiswa JGU Minta Perlindungan Hukum Akibat Intimidasi Kampus

Dalam konferensi pers yang digelar Senin (28/7/2025), Deolipa Yumara mengungkapkan bahwa permintaan pendampingan hukum datang dari sejumlah mahasiswa aktif JGU yang merasa terintimidasi dan mengalami hambatan dalam proses perkuliahan mereka.

“Hari ini ada beberapa mahasiswa JGU Depok yang memberikan kuasa hukum kepada kami, karena mereka merasa hak-hak akademiknya terganggu dan bahkan diintimidasi oleh pihak kampus,” ujar Deolipa.

Menurut penuturannya, sebanyak 70 mahasiswa telah memberikan kuasa hukum secara tertulis, mewakili keresahan kolektif terhadap persoalan administratif, keuangan, dan kebebasan berekspresi dalam kampus.

Dugaan Korupsi Dana KIP-K dan Sanksi dari Kementerian

Dugaan penyelewengan dana KIP-K menjadi salah satu akar persoalan. Berdasarkan keterangan mahasiswa, dana KIP-K yang seharusnya mereka terima justru tidak sampai atau tidak digunakan sesuai peruntukannya.

“KIP-K itu adalah hak mahasiswa yang diberikan oleh negara untuk mendukung pembiayaan kuliah dan biaya hidup. Namun, karena diduga dikorupsi, akhirnya pemerintah melalui Kementerian Dikti memberikan sanksi administrasi kepada kampus,” ungkap Deolipa.

Akibat sanksi tersebut, mahasiswa angkatan tahun 2025 tidak lagi bisa menerima bantuan KIP-K, karena status kampus saat ini dalam pembekuan distribusi bantuan pendidikan oleh pemerintah pusat.

Deolipa menambahkan bahwa Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisainstek) telah menjatuhkan sanksi sedang terhadap institusi JGU sebagai respons atas temuan dugaan pelanggaran administrasi dan pengelolaan dana bantuan pendidikan.

Lebih lanjut, kuasa hukum juga telah melaporkan kasus ini ke Kejaksaan Negeri Depok, namun mengeluhkan lambatnya respons dari aparat penegak hukum.

“Laporan sudah masuk ke Kejaksaan Depok, namun kami belum melihat adanya langkah konkret dari pihak kejaksaan. Ini mencerminkan ketidaktegasan aparat hukum dalam merespons laporan korupsi di sektor pendidikan,” tegasnya.

Pernyataan ini memperkuat keresahan mahasiswa bahwa upaya hukum mereka tidak mendapatkan keadilan dan perhatian yang proporsional, padahal menyangkut masa depan generasi muda dan integritas dunia pendidikan tinggi.

Pembekuan BEM JGU Selama Satu Tahun Lebih

Tak hanya soal dugaan pungli, manajemen JGU juga disorot akibat membekukan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) secara sepihak selama lebih dari satu tahun.

“Pembekuan BEM merupakan pelanggaran serius terhadap hak demokrasi dan kebebasan berorganisasi mahasiswa, yang diatur oleh Undang-Undang,” jelas Deolipa.

Ia menyebutkan bahwa tindakan tersebut bukan hanya merampas hak mahasiswa dalam berekspresi, namun juga menjadi bentuk pembungkaman aspirasi kritis terhadap manajemen kampus.

“Mahasiswa punya hak untuk berorganisasi secara sah dan legal melalui BEM, tapi faktanya dibekukan tanpa alasan yang jelas. Ini mencerminkan tata kelola yang otoriter dan anti-kritik di internal kampus,” katanya.

Rektor JGU Diduga Terlibat Sabotase Aset

Dalam pernyataannya, Deolipa juga menyebut nama Rektor JGU Prof. Eddy Yusuf, yang diduga melakukan sabotase terhadap aset kampus yang merupakan milik pribadi atau investor kampus.

“Dugaan sabotase aset oleh rektor menjadi bagian dari laporan yang disampaikan mahasiswa kepada kami. Persoalan ini bukan hanya berdampak pada operasional kampus, tetapi juga menyangkut keabsahan manajemen lembaga pendidikan tinggi itu sendiri,” ungkapnya.

Ia menambahkan, konflik internal yang melibatkan jajaran pimpinan kampus telah mencederai proses belajar-mengajar dan menempatkan mahasiswa dalam ketidakpastian masa depan akademik mereka.

Dalam pernyataan penutupnya, Deolipa menyampaikan keprihatinan mendalam atas kondisi yang dialami mahasiswa JGU dan menyebut kasus ini sebagai cerminan kecacatan moral dalam pengelolaan institusi pendidikan.

“Ini adalah cacat moral. Rektor seharusnya menjadi pengayom, bukan malah menjadi sumber masalah. Kampus mestinya menjadi tempat mencari ilmu, bukan tempat korupsi,” pungkasnya.

Kuasa hukum menyatakan akan terus mengawal proses hukum atas laporan ini dan tidak akan mundur sampai keadilan ditegakkan untuk para mahasiswa yang menjadi korban dari kebijakan kampus yang dianggap sewenang-wenang dan merugikan.

BSP GROUP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *