Warga Translok Seuseupan Desak Sertifikat Tanah dan Perhatian Pemerintah
adainfo.id – Harapan akan kejelasan legalitas dan perhatian pemerintah kembali menggema dari kawasan Transmigrasi Lokal (Translok) Desa Seuseupan, Kecamatan Karangwareng, Kabupaten Cirebon.
Sekitar 50 Kepala Keluarga (KK) yang telah bermukim sejak tahun 2001 mendesak agar pemerintah segera menerbitkan sertifikat hak milik atas tanah yang mereka tempati.
Sudah lebih dari dua dekade, warga hidup dalam ketidakpastian hukum atas lahan yang mereka tinggali.
Meski telah berkali-kali didata oleh instansi terkait, legalitas lahan tak kunjung diberikan. Kondisi ini memicu kekecewaan yang mendalam serta ketidakpercayaan terhadap janji-janji pemerintah.
“Semenjak saya tinggal di sini dari tahun 2001, kami belum pernah dapat sertifikat tanah. Sudah berkali-kali didata, disurvei, tapi hasilnya nol,” ungkap Suhada, salah seorang warga, Senin (28/7/2025).
Berkali-kali Disurvei, Tak Juga Disertifikasi
Menurut Suhada, pada Maret 2025, sejumlah instansi seperti Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans), Badan Pertanahan Nasional (BPN), Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) serta beberapa lembaga lainnya, telah kembali melakukan pendataan.
Namun, hingga berita ini ditulis, tindak lanjut konkret dari hasil pendataan tersebut belum juga dirasakan oleh warga.
“Waktu itu katanya untuk ditindaklanjuti, tapi sampai sekarang belum ada perkembangan nyata,” tambahnya.
Tak hanya persoalan sertifikat tanah, warga Translok Seuseupan juga mengeluhkan minimnya akses terhadap kebutuhan dasar seperti air bersih, infrastruktur jalan, hingga bantuan ekonomi.
Sejumlah pelatihan memang pernah diberikan, namun tidak disertai dengan dukungan modal.
“Pelatihan ekonomi ada, seperti buat paving blok atau pertanian, tapi tidak ada bantuan modal. Akhirnya tetap tidak bisa jalan,” ujar Suhada.
Kepala Desa Frustrasi: “Saya Malu di Hadapan Warga”
Sakia, Kepala Desa Seuseupan, menyampaikan kekecewaan yang mendalam atas kondisi yang dialami warganya. Ia merasa frustrasi dan malu karena janji-janji pemerintah yang hanya berhenti di atas kertas tanpa realisasi.
“Kalau bicara sertifikat, saya sudah malu di depan warga. Dari dulu hanya dijanjikan angin surga. Dibilang akan diproses, akan diselesaikan, tapi faktanya hanya kontrol, kontrol, dan kontrol. Realisasi tidak ada,” tegasnya.
Menurut Sakia, Pemerintah Desa telah berulang kali mengajukan permohonan kepada instansi terkait, namun respons yang diterima hanya dalam bentuk survei ulang atau pencatatan, tanpa kejelasan kelanjutan.
“Saya sering diprotes warga. Mereka kira desa tidak usaha, padahal kami sudah bolak-balik ke dinas. Tapi yang kami terima hanya jawaban normatif tanpa realisasi,” lanjutnya.
Sakia juga menyinggung loyalitas politik warga Seuseupan yang selalu mendukung pemerintah daerah, baik dalam pemilihan kepala daerah maupun legislatif.
Namun, dukungan itu tidak sejalan dengan perhatian yang diberikan oleh pemerintah.
“Kami punya wakil di DPRD, bahkan bupati. Tapi kenapa kami tetap dibiarkan seperti ini?” ujarnya dengan nada getir.
Disnaker: Butuh Proses Panjang
Saat dikonfirmasi, Novi Hendrianto, Kepala Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Cirebon, menyatakan bahwa pihaknya kini sedang memfasilitasi proses penyelesaian legalitas lahan di kawasan Translok Seuseupan.
Ia menjelaskan bahwa permasalahan ini tidak semudah yang dibayangkan.
“Awalnya kami pikir ini mudah, ternyata butuh proses panjang. Harus ada peralihan aset Pemda, penetapan warga penerima lahan, dan sejumlah kajian regulasi dan hukum,” jelasnya.
Saat ini, tanah-tanah di kawasan Translok Seuseupan telah masuk tahap inventarisasi oleh Disnaker, sebagai bagian dari upaya awal penyelesaian aset yang belum tercatat secara resmi.
Sarana-Prasarana Masih Terabaikan
Menanggapi persoalan air bersih dan fasilitas umum lainnya, Novi menyarankan agar pihak desa dan kecamatan lebih aktif mengajukan program bantuan ke pemerintah daerah.
Menurutnya, karena warga sudah memiliki KTP Desa Seuseupan, maka pengajuan program pembangunan bisa dilakukan secara administratif.
“Kalau soal sarana-prasarana, seperti air bersih dan mushola, bisa diajukan oleh Kuwu dan Camat. Kami siap bantu fasilitasi,” imbuhnya.
Namun, banyak warga menilai bahwa pernyataan seperti ini sudah sering terdengar, tetapi tidak pernah disertai tindakan nyata.
Hal itu membuat mereka skeptis dan merasa dikhianati oleh sistem birokrasi yang berbelit.
Warga Hanya Ingin Kepastian
Kini, suara warga semakin keras menuntut hak mereka sebagai warga negara. Mereka tidak menuntut lebih, hanya ingin mendapatkan tanah yang sah secara hukum, serta akses dasar yang layak untuk hidup bermartabat di negeri sendiri.
“Kami tidak minta yang muluk-muluk, cukup hak kami sebagai warga dipenuhi. Jangan hanya dijanjikan angin surga,” pungkas Suhada.


 
											 
											
 
							    					

 
							    					


 
											


 
								            											
																					 
								            										 
								            										 
								            										 
								            										