Wali Kota Depok Diminta Jelaskan Status Pasar Agung, Pedagang Tolak Retribusi

AG
Suasana Pasar Agung Depok (foto: adainfo.id)

adainfo.id – Polemik status kepemilikan kios dan los Pasar Agung Depok II Timur kembali memanas.

Kuasa hukum pedagang meminta Wali Kota Depok memberikan penjelasan resmi terkait apakah pasar tersebut milik Pemerintah Kota (Pemkot) Depok atau masih sah menjadi milik pengembang/developer.

Kuasa hukum pedagang, Husni Thamrin Tanjung, menyatakan bahwa para pedagang telah memiliki kwitansi pembelian kios dan los dari pihak pengembang sejak tahun 2002.

Namun, pada Agustus 2025 lalu, Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disdagin) Kota Depok melalui UPTD Pasar Agung mengeluarkan surat penagihan retribusi sewa.

“Kami mewakili para pedagang meminta penjelasan kepada Wali Kota Depok karena klien kami sudah membeli dari PT Bangunbina Primasarana sejak 2002. Bagaimana mungkin sekarang mereka diminta membayar sewa?” ujar Husni, Jumat (12/09/2025).

Menurutnya, surat penagihan tersebut menimbulkan keresahan di kalangan pedagang karena menimbulkan ketidakpastian status: apakah kios milik sendiri atau hanya hak sewa.

UPTD Pasar Agung Akan Pungut Retribusi,  Pedagang Menolak

Dalam surat UPTD Pasar Agung disebutkan bahwa hak pemanfaatan kios/los telah berakhir per 31 Maret 2024.

Pedagang yang masih menempati diwajibkan membayar retribusi sewa sesuai Perda Kota Depok Nomor 1 Tahun 2024.

Tarif sewa ditetapkan sebesar Rp600 ribu per m² per tahun untuk kios, dan Rp360 ribu per m² per tahun untuk los/lahan.

Namun, pedagang menolak. Ketua Perkumpulan Pedagang Pasar Agung, Sutisna, menyebut penagihan itu bentuk “perampokan”.

“Pedagang sudah membeli, bukan menyewa. Ada kwitansi resmi dari PT Damar Lestari Adi maupun PT Bangunbina Primasarana. Jadi statusnya jelas hak milik, bukan kontrak sewa,” tegasnya.

Sejarah Panjang Pembangunan Pasar

Pasar Agung dibangun oleh PT Damar Lestari Adi di atas tanah seluas 9.900 m² yang dibeli dari masyarakat pada 1979.

Saat itu, Kota Depok masih berstatus kota administratif di bawah Kabupaten Bogor.

Surat Wali Kota Administratif Depok tertanggal 1 November 1983 bahkan menyebut pedagang pemilik kios/los diminta segera menempati lapaknya setelah pembangunan rampung.

Namun, hingga kini para pedagang belum mengantongi sertifikat hak milik, karena pihak pengembang dinilai lalai menuntaskan janjinya.

Hal ini memicu gugatan hukum oleh pedagang terhadap pengembang, Pemkab Bogor, dan Pemkot Depok sebagai turut tergugat.

Kasus Masih Proses Kasasi

Kuasa hukum pedagang menegaskan perkara status kepemilikan kios/los Pasar Agung masih dalam proses kasasi.

Karena itu, Pemkot Depok diminta menunggu hingga ada putusan inkrah.

“Seharusnya Pemkot tidak boleh menarik retribusi sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Kalau diputuskan milik Pemkot, silakan tarik. Tapi kalau bukan, pedagang jelas dirugikan,” jelas Husni.

Pada 2 Juli 2018, PT Bangunbina Primasarana menyerahkan tanah dan bangunan Pasar Agung kepada Pemkot Depok melalui berita acara serah terima (BAST).

Namun, disebutkan bahwa saat serah terima, pasar belum memiliki alas hak yang jelas.

“Ini yang jadi pertanyaan besar. Kalau nanti Wali Kota menyatakan kios itu milik Pemkot, para pedagang akan merasa tertipu dan siap melaporkannya,” tegas Sutisna.

BSP GROUP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2 Komentar

  1. M. Toha

    Pemda Depok harus menjelaskan status pasar itu, buat jelasnya kalau ada sengketa, baiknya melalui keputusan pengadilan, agar ada keputusan Inkrah.

    Balas
  2. M. Toha

    Diperjelas statusnya dulu, jika masih sengketa biar pengadilan yg memutuskan

    Balas
Sudah ditampilkan semua