Krisis Iklim Dunia Kian Mengkhawatirkan, Produksi Pangan Jadi Taruhan

ARY
Ilustrasi petani menyesuaikan pola tanam untuk menghadapi anomali iklim. (Foto: Unsplash/Redicul Pict)

adainfo.id – Panas ekstrem pada tahun lalu membawa ancaman nyata bagi sektor pertanian. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menegaskan perubahan iklim kini langsung menekan produksi pangan.

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, mengungkapkan bahwa suhu rata-rata global mencapai 1,55 °C di atas rata-rata era pra-industri (1850–1900).

Angka tersebut bukan hanya sebuah data ilmiah, tetapi juga peringatan keras bagi seluruh umat manusia.

Dwikorita menyebut bahwa kondisi ini melampaui ambang batas 1,5 °C yang telah disepakati dalam Perjanjian Paris tahun 2015.

“Fakta ini merupakan alarm keras bagi seluruh umat manusia. Tantangan perubahan iklim sudah di depan mata dan semakin terasa dampaknya pada sektor pertanian,” ujarnya dikutip melalui laman resmi Jumat (26/09/2025).

Indonesia Juga Alami Tahun Terpanas

Tidak hanya dunia, Indonesia juga mencatat tahun 2024 sebagai periode terpanas sejak pengamatan iklim dimulai pada 1981.

Suhu rata-rata di Indonesia tercatat sebesar 27,5 °C dengan anomali 0,8 °C terhadap periode normal 1991–2020.

Kondisi ini memperlihatkan bahwa dampak pemanasan global telah nyata dirasakan, termasuk di tanah air.

“Sepuluh tahun terakhir adalah periode terpanas dalam sejarah pencatatan iklim. Tahun 2024 bahkan menjadi tahun terpanas dengan anomali suhu global 1,55 °C di atas era pra-industri,” ungkapnya.

Menurutnya, fenomena ini sangat berbahaya bagi sektor pertanian Indonesia yang rentan terhadap perubahan iklim ekstrem.

Menyadari ancaman yang semakin serius, BMKG tidak hanya berhenti pada peringatan.

Dwikorita menjelaskan bahwa lembaganya aktif mendorong langkah adaptasi melalui program Sekolah Lapang Iklim (SLI).

Program ini membekali para petani dengan ilmu membaca dan memahami prediksi iklim.

Lebih jauh lagi, SLI membantu petani menyesuaikan pola tanam, memilih varietas tanaman yang sesuai kondisi musim, hingga memanfaatkan teknik pemanenan air hujan.

“Petani diajarkan membaca dan memahami prediksi iklim, menyesuaikan pola tanam, memilih varietas sesuai kondisi musim, hingga mengoptimalkan teknik pemanenan air hujan. Dengan begitu, risiko gagal panen dapat ditekan,” bebernya.

Ia menambahkan, tradisi pertanian lama seperti titi mongso atau pranata mangsa yang dulu diandalkan petani Jawa kini menjadi tidak relevan.

Perubahan iklim membuat pola musim tidak lagi bisa diprediksi secara tradisional.

“Karena perubahan iklim, saat ini titi mongso menjadi tidak relevan. Padahal petani di Indonesia terbiasa dengan titi mongso,” jelasnya.

Dukungan untuk Swasembada Pangan

BMKG menekankan bahwa adaptasi iklim tidak hanya penting untuk kelangsungan hidup petani, tetapi juga menyangkut ketahanan pangan nasional.

“Petani harus mampu membaca cuaca, memahami iklim, dan menyesuaikan pola tanam agar bisa mengurangi risiko gagal panen. Inilah kontribusi BMKG untuk mendukung swasembada pangan sebagaimana tercantum dalam Asta Cita Presiden,” ucapnya.

Menurutnya, Sekolah Lapang Iklim merupakan jembatan antara data ilmiah dengan praktik pertanian sehari-hari.

Program ini diharapkan mampu mengubah pola pikir petani agar lebih adaptif terhadap tantangan iklim.

“Sekolah Lapang Iklim adalah jembatan antara data iklim dan strategi pertanian. Ini adalah aksi nyata BMKG untuk mendukung ketahanan pangan nasional di tengah tantangan perubahan iklim,” lanjutnya.

Dwikorita juga menyoroti kondisi bumi yang semakin mengkhawatirkan akibat kombinasi pemanasan global dan anomali iklim regional.

Ia memperingatkan bahwa tanpa mitigasi serius, kenaikan suhu permukaan bumi akan memicu krisis multidimensi.

“Kondisi ini dipicu kombinasi pemanasan global akibat emisi gas rumah kaca serta anomali iklim regional. Situasi ini menjadi tantangan serius bagi sektor pertanian yang sangat rentan terhadap iklim,” tuturnya.

Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa dampak perubahan iklim tidak hanya sebatas panas ekstrem.

Intensitas dan durasi bencana hidrometeorologi diprediksi semakin meningkat, ditambah krisis air yang akan memengaruhi banyak sektor kehidupan.

“Tidak hanya bencana yang secara intensitas dan durasi semakin bertambah, namun juga krisis air yang juga berimbas pada berbagai sektor kehidupan,” tambahnya.

Selain kondisi nasional, Dwikorita juga mengingatkan bahwa dunia kini menghadapi ancaman krisis pangan global.

Mengutip laporan Food and Agriculture Organization (FAO), ia menyebutkan bahwa pada tahun 2050, dunia berpotensi mengalami ancaman serius dalam pemenuhan kebutuhan pangan.

“Salah satunya yang terdampak adalah sektor pertanian. Food and Agriculture Organization (FAO) memprediksi dunia akan mengalami ancaman krisis pangan pada tahun 2050 mendatang,” tukasnya.

BSP GROUP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *