Pemerintah Amerika Serikat Resmi Shutdown, Rupiah Menguat

Shutdown pemerintah AS 2025 di era Donald Trump (Foto: whitehouse.gov)

adainfo.id – Pemerintahan federal Amerika Serikat (AS) yang dipimpin Presiden Donald Trump resmi mengalami shutdown pada Rabu (01/10/2025) pukul 00:00 dini hari waktu setempat.

Keputusan ini diambil setelah Kongres gagal meloloskan rancangan undang-undang (RUU) pendanaan darurat menjelang tenggat akhir pada Selasa tengah malam.

Kebuntuan terjadi akibat perbedaan sikap tajam antara Partai Republik dan Partai Demokrat terkait isu anggaran kesehatan. Republik berupaya mendorong RUU pendanaan sementara yang sebelumnya sudah disahkan DPR, namun proposal itu kandas di Senat karena tidak mendapatkan dukungan suara dari Demokrat.

Shutdown kali ini menjadi yang pertama sejak tahun 2019, ketika pemerintahan Trump juga sempat terhenti selama 35 hari akibat perdebatan pendanaan pembangunan tembok perbatasan selatan.

Melansir dari The New York Times, perselisihan terbaru berfokus pada desakan Partai Demokrat agar pemerintahan Trump memperpanjang subsidi layanan kesehatan yang hampir habis, serta mengembalikan anggaran Medicaid yang sempat dipangkas musim panas lalu. Pemangkasan itu dilakukan sebagai bagian dari undang-undang pemotongan pajak yang menjadi kebijakan utama Trump.

Dalam serangkaian pemungutan suara, kedua partai saling menjegal usulan lawan. Rencana Republik untuk memperpanjang pendanaan hingga 21 November gagal mencapai ambang batas 60 suara dengan hasil 55 lawan 45.

Sementara itu, usulan Demokrat untuk memperpanjang anggaran hingga akhir Oktober dengan tambahan alokasi belanja kesehatan senilai lebih dari 1 triliun dolar AS juga gagal, dengan hasil 47 lawan 53.

Tidak lama setelah itu, Russell T. Vought selaku Direktur Anggaran Gedung Putih mengeluarkan memo resmi kepada seluruh lembaga federal untuk segera “melaksanakan rencana penutupan secara tertib.”

Partai Republik menuding Demokrat sebagai pihak yang mendorong penutupan dengan alasan politik. Senator John Thune dari South Dakota menyebut pemimpin Demokrat tunduk pada tuntutan kelompok liberal.

“Basis kiri jauh Demokrat menuntut konfrontasi dengan presiden. Kini rakyat Amerika yang harus menanggung akibatnya,” ujar Thune.

Sebaliknya, Demokrat menegaskan penutupan ini sebagai konsekuensi dari kebijakan Trump yang dianggap merugikan masyarakat. Senator Chuck Schumer dari New York menekankan bahwa rakyat AS akan merasakan dampak langsung berupa kenaikan biaya asuransi kesehatan.

“Kalau presiden cerdas, ia akan mengatasi krisis kesehatan ini. Rakyat Amerika akan menyalahkannya ketika biaya asuransi naik ratusan dolar per bulan,” kata Schumer.

Ancaman Trump dan Strategi Demokrat

Presiden Trump sendiri menanggapi shutdown dengan sikap menantang. Ia menyebut penutupan justru bisa menjadi peluang untuk melemahkan program-program yang didukung Demokrat.
“Dalam penutupan, kita bisa menyingkirkan banyak hal yang tidak kita inginkan, dan itu semua milik Demokrat,” ujarnya di Gedung Putih.

Trump menegaskan bahwa ia siap melakukan langkah-langkah yang “buruk” bagi Demokrat, termasuk memangkas program sosial. Sementara itu, Demokrat memilih tetap bertahan dengan strategi menjadikan isu kesehatan sebagai titik tekan politik.

Menurut Schumer, rakyat Amerika mendukung sikap Demokrat untuk mempertahankan subsidi Obamacare dan program kesehatan lainnya. Ia menambahkan bahwa strategi ini merupakan bentuk tanggung jawab terhadap kepentingan publik.

Menjelang tenggat, perpecahan sempat muncul di tubuh Demokrat maupun Republik. Beberapa senator Demokrat, seperti Catherine Cortez Masto dari Nevada dan John Fetterman dari Pennsylvania, mendukung rencana pendanaan Republik.

Di sisi lain, Senator Rand Paul dari Kentucky menjadi satu-satunya Republikan yang menolak proposal anggaran partainya sendiri.

Jika subsidi Obamacare tidak diperpanjang, Kantor Anggaran Kongres memperkirakan sekitar 4 juta orang akan kehilangan perlindungan kesehatan tahun depan, sementara biaya tambahan akan membebani 20 juta warga lainnya.

Dimensi Politik dan Media Sosial

Situasi kian panas setelah Trump menggunakan media sosial untuk menyerang lawan politiknya. Ia membagikan video manipulatif berbasis teknologi kecerdasan buatan (AI) yang menyindir pemimpin Demokrat, Hakeem Jeffries dan Chuck Schumer.

Video itu menampilkan Jeffries dengan gambar kartun yang dipermalukan, sementara suara Schumer direkayasa agar terdengar penuh makian. Tindakan Trump itu memicu reaksi keras dari Demokrat.

Jeffries menanggapi dengan memposting foto lama Trump bersama Jeffrey Epstein, disertai tulisan singkat: “Ini nyata.” Ia juga menegaskan bahwa politik kebencian tidak akan membawa AS ke arah yang lebih baik.

Shutdown ini membawa dampak signifikan bagi jutaan warga Amerika. Layanan publik non-esensial terpaksa dihentikan, sementara ratusan ribu pegawai federal dirumahkan tanpa kepastian gaji.

Di sektor kesehatan, ketidakpastian anggaran berpotensi menambah beban masyarakat kelas menengah dan bawah yang sangat bergantung pada subsidi pemerintah.
Senator Ben Ray Luján dari New Mexico menegaskan bahwa rakyat Amerika tidak boleh menjadi korban tarik ulur politik. “Mereka melakukan ini berulang kali. Pemerintahan Trump akan terus memaksakan kehendak,” katanya.

Penutupan pemerintah Amerika Serikat tentu sangat berdampak terhadap layanan diantaranya:

  1. Penutupan sebagian besar kantor pemerintah, termasuk museum, taman nasional, dan gedung federal, sehingga warga tidak bisa mengakses layanan ini. Museum dan taman nasional tutup, mengganggu pariwisata dan rekreasi masyarakat.
  2. Ratusan ribu pegawai pemerintah yang dianggap non-esensial dirumahkan tanpa digaji hingga anggaran disetujui, sementara pegawai esensial seperti mengatur lalu lintas udara, militer aktif, dan penegak hukum tetap bekerja tanpa dibayar sampai nanti ada persetujuan anggaran.
  3. Layanan administrasi penting seperti pengeluaran paspor dan visa baru ditunda. Kantor pajak beroperasi minimal sehingga proses pengembalian dan penagihan pajak juga terhambat.
  4. Program jaminan sosial, Medicare, dan Medicaid tetap berjalan tetapi ada kemungkinan penurunan kecepatan proses dan aplikasi karena berkurangnya staf.
  5. Layanan pos, patroli perbatasan, dan penegak hukum tetap berjalan, namun banyak layanan lainnya seperti panggilan pusat dan hotline dihentikan.
  6. Keamanan siber dan pembaruan sistem pemerintah mengalami gangguan akibat berkurangnya staf, sehingga keamanan data publik berpotensi terancam.
  7. Bagi masyarakat umum, shutdown ini menimbulkan gangguan layanan online, lambatnya proses administrasi, dan mengganggu beberapa program pemerintah, yang berpotensi memperberat kondisi ekonomi rumah tangga terutama bagi pekerja federal yang dirumahkan.

Dampak Shutdown Pemerintahan AS Terhadap Pasar Keuangan Indonesia

Shutdown pemerintah AS kali ini menjadi yang pertama sejak 2019, dipicu oleh kebuntuan antara Presiden Donald Trump dengan oposisi Partai Demokrat terkait kesepakatan pendanaan. Ketidakmampuan kedua pihak mencapai titik temu membuat sejumlah layanan publik federal terancam lumpuh, termasuk laporan ketenagakerjaan bulanan yang biasanya menjadi acuan investor global.

Kondisi ini membuat pasar lebih banyak mengandalkan indikator alternatif, seperti laporan ketenagakerjaan swasta versi ADP. Namun, absennya data resmi pemerintah AS dinilai menambah ketidakpastian dan mendorong volatilitas pada pergerakan dolar. Akibatnya, banyak investor memilih melirik aset negara berkembang, termasuk rupiah.

Nilai tukar rupiah berhasil menutup perdagangan dengan catatan positif di awal Oktober 2025. Merujuk data Refinitiv, Rabu (1/10/2025), rupiah menguat 0,36% ke level Rp16.600 per dolar Amerika Serikat (AS). Capaian ini melanjutkan tren apresiasi rupiah selama empat hari berturut-turut, menegaskan ketahanan mata uang Garuda di tengah gejolak global.

Penguatan ini menempatkan rupiah pada jalur positif setelah sempat tertekan beberapa waktu lalu akibat penguatan dolar AS. Investor menilai faktor eksternal, khususnya kondisi politik Amerika Serikat yang tengah tidak stabil, memberi ruang bagi mata uang negara berkembang untuk bernapas lebih lega.

Sementara itu, indeks dolar AS (DXY) juga mencatat pelemahan. Pada pukul 15.00 WIB, DXY terpantau turun 0,15% ke level 97,637. Penurunan DXY ini menjadi faktor utama yang menopang penguatan rupiah.

Pelemahan dolar AS terjadi seiring meningkatnya ketidakpastian pasar global akibat penutupan sementara pemerintahan federal Amerika Serikat atau shutdown. Kondisi ini memicu kekhawatiran pelaku pasar terhadap stabilitas ekonomi negeri Paman Sam, terutama menyangkut kelanjutan rilis data ekonomi penting.

Volatilitas Dolar dan Arah Pasar

Volatilitas dolar AS meningkat signifikan dalam beberapa hari terakhir. Analis menyebut tren koreksi berpotensi berlanjut selama ketidakpastian politik di AS belum terpecahkan. Kondisi ini membuka peluang bagi mata uang emerging market untuk mencatatkan apresiasi, meski tetap dibayangi risiko eksternal lain, seperti arah kebijakan suku bunga The Federal Reserve.

Dengan melemahnya dolar AS, permintaan terhadap rupiah meningkat, terutama di pasar spot. Investor asing juga menunjukkan optimisme pada instrumen obligasi domestik, yang memberi tambahan aliran modal masuk ke Indonesia.

Selain faktor eksternal, data ekonomi dalam negeri turut memberikan sentimen positif. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi September 2025 sebesar 0,21% month to month (mtm), berbalik dari deflasi 0,08% pada Agustus.

Kenaikan harga terutama dipicu oleh kelompok pengeluaran makanan, minuman, dan tembakau dengan inflasi 0,38%. Harga cabai merah dan daging ayam ras menjadi penyumbang utama, masing-masing memberi andil inflasi 0,13%.

Secara tahunan, inflasi September tercatat 2,65% year on year (yoy), dengan inflasi tahun kalender Januari–September 2025 mencapai 1,82%. Angka ini masih dalam kisaran target Bank Indonesia, menandakan stabilitas harga yang relatif terjaga.

Kombinasi pelemahan dolar global dan inflasi domestik yang terkendali memberikan ruang lebih bagi rupiah untuk menguat. Para pelaku pasar memandang kondisi ini sebagai momentum positif di tengah ketidakpastian global.

Analis menyebut tren penguatan rupiah dapat berlanjut jika shutdown AS berlangsung lebih lama. Namun, risiko dari faktor eksternal lain, seperti potensi pengetatan kebijakan moneter The Fed atau gejolak geopolitik, tetap menjadi catatan penting.

Di sisi lain, stabilitas inflasi domestik juga menjadi modal penting. Jika harga bahan pokok dan energi tetap terkendali, kepercayaan investor terhadap ekonomi Indonesia diperkirakan semakin kuat.

Bank Indonesia sendiri diperkirakan akan terus menjaga stabilitas nilai tukar melalui bauran kebijakan moneter dan intervensi pasar sesuai kebutuhan. Dukungan kebijakan fiskal pemerintah juga diharapkan mampu menjaga daya beli masyarakat dan mendukung pertumbuhan ekonomi.

 

BSP GROUP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *