Hujan Mikroplastik Jadi Fenomena Dunia, Indonesia Hadapi Ancaman Serupa
adainfo.id – Langit yang menurunkan air kini tak selalu membawa kesejukan. Di balik butiran hujan yang jatuh di berbagai penjuru Indonesia, para ilmuwan menemukan ancaman baru yakni fenomena hujan mikroplastik.
Fenomena ini menjadi pembicaraan hangat di kalangan ilmuwan dan publik karena dampaknya yang luas terhadap kesehatan dan lingkungan.
Profesor Riset dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Muhammad Reza Cordova, mengungkapkan bahwa partikel mikroplastik di udara kini telah ditemukan hampir di seluruh belahan dunia.
Reza menjelaskan, Indonesia bukan satu-satunya negara yang menghadapi fenomena ini.
“Hampir semua penelitian menunjukkan adanya mikroplastik di udara. Di luar negeri saja ada, apalagi di Indonesia yang dipengaruhi angin muson,” ungkap Reza dikutip Sabtu (25/10/2025).
Fenomena hujan mikroplastik, menurut Reza, bukanlah kejadian tunggal atau mendadak.
Melainkan akumulasi panjang dari kebiasaan konsumsi plastik manusia yang tidak terkendali selama puluhan tahun.
Jejak Mikroplastik dari Rumah Tangga Hingga Atmosfer
Reza menjelaskan bahwa sumber utama mikroplastik berasal dari penggunaan plastik sekali pakai.
Yang mengkhawatirkan, mikroplastik yang berada di udara dapat ikut turun bersama hujan, menempel pada tanaman, tanah, bahkan masuk ke saluran air dan rantai makanan.
Dengan demikian, partikel ini tak hanya mencemari lingkungan, tetapi juga berpotensi masuk ke tubuh manusia melalui udara yang dihirup dan air yang diminum.
Fenomena ini tidak hanya menjadi perhatian di Indonesia. Beberapa studi internasional menunjukkan bahwa mikroplastik juga telah ditemukan di hujan yang turun di Jerman, Jepang, dan Korea Selatan.
Kondisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan membuatnya rentan terhadap penyebaran partikel mikroplastik dari berbagai arah angin musiman.
BRIN Serukan Pengurangan Plastik Sekali Pakai
Reza menilai bahwa menghentikan pencemaran dari sumbernya merupakan langkah paling efektif dalam menanggulangi fenomena hujan mikroplastik.
Ia menekankan, mengurangi produksi dan konsumsi plastik sekali pakai menjadi solusi jangka pendek yang realistis.
“Solusi tercepatnya adalah mengurangi produksi dan konsumsi plastik sekali pakai. Sementara untuk perlindungan pribadi, masyarakat bisa menggunakan masker sebagai langkah pencegahan awal,” papar Reza.
Masker, kata Reza, berfungsi sebagai penghalang dasar terhadap partikel-partikel kecil yang mungkin terbawa udara, termasuk mikroplastik.
Namun, upaya ini tetap harus dibarengi dengan kesadaran kolektif untuk tidak lagi menjadikan plastik sekali pakai sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.
Kolaborasi Jadi Kunci Mengatasi Paparan Mikroplastik
Lebih jauh, Reza menegaskan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam menangani masalah mikroplastik ini.
Reza menyebut, tanggung jawab tidak hanya berada di tangan pemerintah atau lembaga penelitian, tetapi juga masyarakat, industri, dan komunitas lingkungan.
“Masalah mikroplastik bukan hanya tanggung jawab satu pihak. Semua harus bergerak bersama agar dampaknya tidak semakin meluas,” terang Reza.
Sinergi antara sektor industri dan pemerintah dapat dimulai dari kebijakan pengelolaan sampah yang ketat.
Kemudian juga penerapan prinsip ekonomi sirkular yang memungkinkan penggunaan kembali plastik menjadi bahan baku produksi.
Pandangan BMKG: Mikroplastik Menyebar Lewat Angin
Sementara itu, Fungsional Madya Pengamat Meteorologi dan Geofisika BMKG, Dwi Atmoko, menjelaskan bahwa mikroplastik di udara memiliki karakter yang sangat mudah berpindah, bergantung pada arah dan kekuatan angin.
Dwi menyebut fenomena ini tidak hanya terdeteksi di wilayah Jabodetabek, tetapi juga berpotensi menyebar luas ke seluruh Indonesia.
“Setiap proses pembakaran yang melibatkan bahan mengandung plastik dapat menghasilkan partikel debu yang mengandung mikroplastik,” tutur Dwi.
“Selama proses itu ada dan terjadi angin atau cuaca, partikel tersebut bisa terbawa ke mana saja sesuai arah angin dominan pada saat itu,” tambah Dwi.
Penjelasan Dwi mempertegas bahwa mikroplastik memiliki mobilitas tinggi.
Artinya, wilayah yang tidak memiliki sumber plastik besar pun tetap bisa terpapar karena partikel ini berpindah mengikuti dinamika atmosfer.











