Otonomi Desa Belum Optimal, Cibogo Keluhkan Dominasi Program Pusat

KIM
Kuwu Cibogo Ahmad Hudori menyampaikan kritik soal sentralisasi program pemerintah pusat. (Foto: adainfo.id)

adainfo.id – Kebijakan desentralisasi yang selama ini digadang-gadang sebagai upaya memperkuat otonomi desa justru menghadapi tantangan baru.

Banyak pemerintah desa merasa kewenangannya melemah akibat program-program yang diputuskan secara terpusat oleh pemerintah pusat.

Kondisi ini menciptakan kerumitan dalam penyusunan prioritas pembangunan, terutama ketika program pusat tidak sejalan dengan kebutuhan lokal. Hal serupa dialami Pemerintah Desa Cibogo.

Kuwu Cibogo, Ahmad Hudori, menegaskan bahwa fenomena sentralisasi program telah menyulitkan desa dalam menjalankan visi dan misi pembangunan yang sebelumnya dirumuskan sesuai aspirasi masyarakat.

Ia menilai pemerintah desa lebih memahami kondisi lapangan dibandingkan pihak luar yang membuat program dari jarak jauh.

“Sentralisasi program ini menyulitkan kami mewujudkan visi misi desa. Kami lebih tahu apa yang dibutuhkan masyarakat, tetapi program dari pusat sering kali tidak sesuai,” ungkapnya.

Program Pusat Tidak Selalu Sesuai dengan Kebutuhan Desa

Ahmad Hudori atau Ahud, begitu ia akrab disapa, menjelaskan bahwa sejumlah program dari pemerintah pusat sering kali tidak relevan dengan karakteristik Desa Cibogo.

Alhasil, program prioritas desa yang sebelumnya menjadi rencana pembangunan tahunan harus dikesampingkan karena pemerintah desa wajib mengikuti arahan dari pusat.

Menurutnya, pembangunan desa tidak dapat dipaksakan menggunakan model seragam. Setiap desa memiliki keragaman potensi, hambatan, hingga pola kehidupan masyarakat yang berbeda.

Kebijakan yang bersifat umum sulit diterapkan secara efektif di desa-desa dengan kondisi spesifik seperti Cibogo.

“Visi dan misi desa yang sudah disusun berdasarkan aspirasi masyarakat menjadi sulit diwujudkan. Program-program yang seharusnya menjadi prioritas desa terpaksa mundur karena harus menyesuaikan program pusat,” tegas Ahud.

Ia menyebutkan bahwa kebijakan yang terlalu terpusat justru menghambat proses adaptasi desa terhadap kebutuhan riil masyarakat.

Kondisi ini memperlambat ritme pembangunan dan mengurangi kreativitas pemerintah desa dalam menciptakan inovasi lokal.

Dampak pada Pengelolaan Anggaran dan Efektivitas Pembangunan

Selain masalah kewenangan, Ahud menilai sentralisasi program turut menimbulkan dampak signifikan terhadap efektivitas pengelolaan anggaran.

Program-program dari pusat yang tidak sesuai kebutuhan riil di lapangan berisiko menuntut alokasi anggaran tambahan dari desa.

Ironisnya, dana desa yang seharusnya difokuskan pada kebutuhan prioritas justru terkuras untuk memenuhi program yang tidak urgen bagi masyarakat setempat.

Ahud mengungkapkan beberapa program pusat bahkan membebani anggaran dana desa, terutama ketika desa harus menyediakan match fund atau dukungan teknis yang tidak direncanakan sebelumnya. Kondisi ini menyebabkan sejumlah program penting berbasis aspirasi masyarakat harus ditunda.

“Alangkah baiknya jika program pusat tidak membebani anggaran dana desa. Dengan begitu, kami bisa lebih leluasa menggunakan dana desa untuk program yang benar-benar dibutuhkan,” ujarnya.

Menurutnya, pengelolaan anggaran desa sebaiknya disesuaikan dengan skala prioritas yang ditentukan melalui musyawarah desa, bukan berdasarkan kebijakan seragam dari pusat.

Otonomi Desa Perlu Dipulihkan melalui Evaluasi Nasional

Kuwu Cibogo itu berharap pemerintah pusat melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan sentralisasi program yang selama ini diterapkan.

Ia menilai desa perlu kembali diberikan ruang otonomi yang lebih luas agar dapat merancang pembangunan sesuai kebutuhan lokal.

“Kami meminta pemerintah pusat lebih mendengarkan aspirasi dari bawah. Berikan kami ruang untuk berkreasi dan berinovasi sesuai kebutuhan desa,” ujarnya.

Ahud menegaskan bahwa desa merupakan unit pemerintahan paling dekat dengan masyarakat.

Desa mengetahui betul permasalahan yang dihadapi warga, mulai dari fasilitas umum, pendidikan, pertanian, hingga persoalan sosial. Karena itu, program yang disusun dari pusat tanpa mempertimbangkan kondisi lokal sering kali tidak tepat sasaran.

Menurutnya, pemerintah pusat perlu memastikan bahwa konsep desentralisasi berjalan seutuhnya, bukan hanya sebatas penyaluran anggaran tetapi juga pemberian ruang inovasi, pemberdayaan, dan kewenangan tata kelola pembangunan.

Desa sebagai Fondasi Pemerataan Pembangunan

Otonomi desa yang sejati diyakini menjadi fondasi penting dalam menciptakan pemerataan pembangunan.

Desa yang memiliki ruang untuk mandiri dapat mengembangkan potensi lokal seperti pertanian, UMKM, pariwisata, keterampilan warga, hingga inovasi berbasis teknologi.

Ahmad Hudori menyebutkan, selama desa tetap berada di bawah tekanan kebijakan terpusat, upaya menciptakan pembangunan yang adil dan inklusif akan sulit dicapai.

Program pembangunan tidak dapat disamakan antara satu desa dengan desa lainnya karena setiap desa memiliki konteks unik.

Ia menegaskan bahwa desentralisasi seharusnya memastikan desa mampu tumbuh dan berkembang secara mandiri.

Kebijakan pusat perlu lebih fleksibel, memberi ruang adaptasi, dan mempertimbangkan suara dari desa sebagai pemilik data paling riil.

“Desentralisasi tidak sekadar membagi kewenangan, tetapi memastikan desa memiliki ruang untuk tumbuh, berkembang, dan mandiri,” kata Ahud.

Dengan memberikan otonomi lebih besar, pemerintah desa dapat menyusun perencanaan berbasis kebutuhan lokal yang lebih tepat sasaran dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

BSP GROUP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *