Fenomena Anak Muda Diagnosis Diri Lewat AI Dinilai Berbahaya, Simak Alasannya
adainfo.id – Lonjakan penggunaan kecerdasan artifisial (AI) sebagai alat diagnosis diri atau pemetaan kondisi mental menjadi fenomena baru yang kini meluas di kalangan generasi muda.
Di berbagai platform digital, ribuan remaja dan dewasa muda menggunakan chatbot untuk menanyakan kondisi emosional, kepribadian, hingga mengevaluasi apakah mereka mengalami depresi.
Perilaku ini berkembang cepat seiring peningkatan penggunaan smartphone, akses internet yang masif, serta kebiasaan Gen Z dan Gen Alpha yang sangat bergantung pada teknologi dalam aktivitas sehari-hari.
Di sisi lain, fenomena ini menimbulkan kekhawatiran para tenaga kesehatan jiwa.
Salah satunya disampaikan psikiater FKUI-RSCM, dr. Kristiana Siste, yang memperingatkan bahwa tren ini tidak boleh diremehkan.
“AI ini kan seringkali digunakan oleh gen Z dan gen Alpha untuk menanyakan Aku kepribadiannya apa? Introvert atau extrovert? Aku depresi nggak sih?” ungkapnya dikutip Sabtu (29/11/2025).
Chatbot Dijadikan Tempat Curhat, Gejala Kesepian dan Minim Komunikasi di Rumah
Menurut dr. Siste, banyak anak muda kini menjadikan AI sebagai ruang bercerita ketika sedang merasa kesepian atau tertekan.
Dalam situasi tertentu, remaja bahkan lebih memilih berbicara kepada chatbot daripada kepada orang tua atau sahabat.
Fenomena ini berkaitan dengan meningkatnya “digital loneliness”, sebuah kondisi ketika seseorang dikelilingi teknologi tetapi kekurangan hubungan emosional yang sehat.
Minimnya komunikasi dalam keluarga, baik karena kesibukan orang tua maupun relasi yang renggang membuat remaja mencari pelarian ke dunia digital.
Dalam beberapa kasus, AI dianggap sebagai teman yang ‘tidak menghakimi’, sehingga remaja merasa lebih aman untuk membuka masalah pribadinya.
Masalahnya, AI memang mampu merespons secara empatik, tetapi tidak memahami konteks psikologis manusia secara utuh.
Artificial empathy yang diberikan mesin tidak dapat menggantikan empati emosional manusia.
AI Bisa Menjadi Alat Screening Awal, Tetapi Tidak Bisa Diagnosa
dr. Siste mengakui bahwa AI memiliki fungsi positif jika digunakan dengan tepat.
Algoritma tertentu dapat mendeteksi gejala awal kecanduan internet, game, atau judi online.
Namun, ia menegaskan bahwa AI memiliki keterbatasan yang sangat besar dalam membaca gejala psikologis manusia.
AI sering memberikan hasil terlalu general, berlebihan, atau salah interpretasi.
Itulah mengapa self-diagnosis menggunakan chatbot dianggap sangat tidak aman.
Ia mencatat tren baru yang semakin mengkhawatirkan, hasil ‘diagnosis’ AI seringkali diposting ke media sosial.
Lalu, sebagian orang kemudian melakukan self-treatment tanpa berkonsultasi dengan dokter.
Perilaku ini sangat berbahaya karena gejala yang dialami belum tentu terkait gangguan mental, pengobatan mandiri bisa memperburuk kondisi.
Kemudian, AI tidak mampu membedakan gejala berat dan ringan dan hasil interpretasi AI tidak bisa menggantikan evaluasi psikiater.
Kesalahan interpretasi dapat membuat seseorang mengira dirinya mengalami depresi berat, padahal sebenarnya masalahnya adalah stres, kurang tidur, atau kelelahan.
Ketergantungan pada AI Membuat Remaja Makin Menarik Diri
Selain risiko diagnosa keliru, ketergantungan berlebihan pada chatbot juga mempengaruhi interaksi sosial.
Sebagian pengguna mengaku lebih nyaman berbicara dengan bot daripada manusia.
Kondisi ini dapat menyebabkan mundurnya kemampuan komunikasi, berkurangnya empati antar manusia.
Lalu, meningkatnya rasa isolasi, hingga terjadinya withdrawal dari lingkungan sosial.
Pada akhirnya, teknologi yang seharusnya membantu justru memperdalam masalah kesepian dan tekanan mental pada remaja.
Pentingnya Peran Orang Tua dalam Mengawasi Penggunaan AI
dr. Siste menekankan penggunaan AI harus melibatkan pendampingan keluarga.
Orang tua perlu memahami cara kerja chatbot, risiko penggunaannya, dan bagaimana berkomunikasi dengan anak mengenai kesehatan mental.
“AI bagus jika digunakan bersama-sama oleh keluarga. Orang tua harus mengerti dulu lalu mengajak anaknya berinteraksi bersama,” pungkasnya.
AI hanyalah alat bantu yang tidak boleh menggantikan tenaga profesional seperti psikolog dan psikiater.
Pemeriksaan klinis dan konsultasi tatap muka tetap menjadi standar emas dalam mendiagnosis dan menangani masalah kesehatan mental.
Fenomena meningkatnya penggunaan AI untuk mengecek kesehatan mental mencerminkan kebutuhan besar akan ruang aman bagi anak muda untuk bercerita.
Namun tanpa pendampingan dan pemahaman yang benar, tren ini dapat memicu kesalahpahaman, isolasi sosial, hingga penanganan diri yang salah.
AI hanya boleh diposisikan sebagai alat awal, bukan dasar diagnosis.
Peran keluarga dan tenaga kesehatan jiwa tetap menjadi pilar utama dalam menjaga kesehatan mental generasi muda.











