Fenomena Curhat ke AI Meningkat, Pakar Peringatkan Risiko Serius di Baliknya

ARY
Ilustrasi fenomena anak muda curhat ke AI. (Foto: Unsplash/Steve Johnson)

adainfo.id – Fenomena meningkatnya penggunaan Artificial Intelligence (AI) sebagai tempat bercerita dan mencari validasi emosi kini semakin populer di kalangan anak muda.

Tren ini berkembang cepat karena AI dianggap mampu memberikan rasa aman bagi seseorang yang curhat atau mencurahkan keluh kesah tanpa takut dihakimi oleh orang lain.

Namun, di balik kenyamanan itu, terdapat risiko yang dapat membahayakan diri, bahkan keselamatan manusia.

AI tidak memiliki empati, tidak memiliki perasaan, dan tidak memiliki tanggung jawab moral atas respons apa pun yang diberikan. Hal ini menimbulkan perhatian serius dari pakar.

AI yang digunakan sebagai teman bercerita sering kali dipandang lebih aman karena merespons tanpa stigma, tidak menghakimi, dan memberikan jawaban yang terasa konsisten.

Kendati demikian, AI hanya bekerja berdasarkan pola bahasa, bukan pemahaman emosional.

Hal inilah yang dikhawatirkan menjadi celah berbahaya ketika seseorang menjadikan AI sebagai tempat bergantung emosional.

Ketiadaan empati membuat sistem tidak mampu memberikan respon yang benar-benar mempertimbangkan keselamatan dan kondisi psikologis manusia.

Penjelasan Akademisi UGM Mengenai Fenomena Ini

Guru Besar Fakultas Teknik UGM, Prof. Ridi Ferdiana, menjelaskan bahwa AI merupakan produk teknologi yang dari sisi bisnis memang dirancang untuk menyentuh persoalan personal, sehingga digandrungi dan dipercaya kredibilitasnya.

“Dari sudut pandang bisnis fenomena ini adalah posisi yang sangat strategis karena sebuah produk yang bisa menyentuh sampai level personal yang diharapkan dekat dengan keseharian manusia,” papar Prof. Ridi dikutip Kamis (04/12/2025).

Menurut Prof. Ridi, pendekatan ini membuat AI terlihat seperti sahabat baru bagi pengguna, khususnya generasi muda yang mencari ruang aman untuk bercerita.

Jika dilihat dari sudut teknis, Prof. Ridi menjelaskan bahwa teknologi AI dikembangkan untuk mentransformasi manusia agar semakin sadar dengan aspek digital.

Dalam konteks ini, tidak ada yang keliru ketika seseorang menjadikan AI sebagai lawan bicara.

“Tidak ada yang salah dari penggunaan AI sebagai teman bicara,” ungkapnya.

Pernyataan ini menggambarkan bahwa interaksi manusia dengan AI tidak masalah selama masih dalam batas wajar dan tidak menggantikan interaksi manusia yang sebenarnya.

AI Bukan Bentuk Kepedulian, Hanya Mekanisme Prediksi Kata

Aspek sosial menjadi sorotan penting berikutnya. Prof. Ridi menegaskan bahwa chatbot AI memang memberikan interaksi yang konsisten dalam kondisi ideal, namun bukan merupakan bentuk kepedulian atau emosi.

“Akan tetapi, ini bukanlah suatu bentuk kepedulian melainkan hanya mekanisme menebak kata selanjutnya,” jelasnya.

AI bekerja berdasarkan machine learning, belajar dari data berkualitas dalam proses yang disebut pre-processing. Output AI sangat dipengaruhi kualitas input.

“Intinya yang mau dikatakan maka akan muncul kata yang diinginkan. AI itu berprinsip garbage in, garbage out. Kalau masuknya jelek, keluarnya jelek,” paparnya.

Hal ini menunjukkan bahwa AI bukan entitas emosional dan tidak bisa memberikan dukungan psikologis yang aman seperti manusia.

Prof. Ridi juga menjelaskan bahwa perkembangan teknologi terus bergerak menuju agentic AI, yaitu sistem yang tidak hanya merespon tetapi juga melakukan aksi tertentu.

Namun, meskipun riset mengenai AI yang memiliki empati dan perasaan terus berkembang, elemen tersebut masih sebatas simulasi, bukan perasaan asli.

Keterbatasan inilah yang membuat penggunaan AI sebagai tempat curhat perlu diawasi.

Risiko Penggunaan AI Berlebihan Bagi Kesehatan Mental

Meski menawarkan banyak manfaat, penggunaan AI secara berlebihan dapat memberikan dampak negatif bagi kesehatan mental dan sosial penggunanya.

Ketergantungan pada sistem tanpa empati dapat membuat seseorang menjauh dari lingkar sosial manusia yang seharusnya memberikan dukungan emosional nyata.

Prof. Ridi memberikan peringatan tegas mengenai hal ini.

“AI itu seperti obat. Kalau digunakan berlebihan, bisa menimbulkan ‘keracunan’,” jelasnya.

Di antara manfaat dan risiko, Prof. Ridi menekankan pentingnya penerapan governance dan kebijakan penggunaan AI.

AI harus dirancang secara aman sejak awal atau by design.

Ia menyebut prinsip Responsible AI, Ethical AI, dan Transparency AI sebagai fondasi penting agar teknologi ini tidak menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat.

Termasuk risiko halusinasi, kesalahan fakta, hingga pengaruh yang tidak disadari pengguna.

Prof. Ridi menekankan agar masyarakat tidak kehilangan kendali saat menggunakan AI.

“Gunakan AI secukupnya. Sama seperti fitur screen time di smartphone, kita perlu membatasi diri ketika menggunakan AI sebagai ruang curhat. Jangan sampai bergantung sepenuhnya dan kehilangan kendali atas diri kita sendiri,” pungkasnya.

BSP GROUP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *