Kejari Kabupaten Cirebon Tahan Tersangka Dugaan Korupsi Jalan dan Drainase
adainfo.id – Janji pembangunan infrastruktur di Kabupaten Cirebon yang digadang-gadang akan membuka akses dan mempercepat roda ekonomi masyarakat, justru berubah menjadi mimpi buruk. Proyek peningkatan jalan lingkungan dan pembangunan drainase yang semestinya memberikan manfaat langsung, ternyata hanya berwujud papan nama proyek—tanpa realisasi di lapangan.
Skandal korupsi memalukan ini terungkap berkat penyelidikan intensif dari Kejaksaan Negeri Kabupaten Cirebon. Dalam konferensi pers yang digelar Rabu malam (28/5/2025), Kepala Kejaksaan Negeri Yudhi Kurniawan mengumumkan penahanan tujuh orang tersangka, termasuk satu Aparatur Sipil Negara (ASN) aktif yang masih menjabat di dinas teknis.
Paket Proyek Fiktif: Di Atas Kertas Rp3,5 Miliar, Di Lapangan Nyaris Nol
Dua paket proyek yang menjadi sorotan utama berasal dari dana Bantuan Keuangan Khusus (BKK) Tahun Anggaran 2024. Proyek pertama berada di Kecamatan Lemahabang dengan nilai kontrak Rp1,88 miliar. Dari audit teknis, hanya 27,51% pekerjaan yang dilaksanakan. Sedangkan proyek kedua di Kecamatan Losari bernilai Rp1,65 miliar, namun realisasi fisik tercatat hanya 9,43%.
“Angka ini mencerminkan kebohongan sistematis. Total kerugian negara mencapai lebih dari Rp2,6 miliar,” ungkap Yudhi Kurniawan dengan nada tegas.
Tujuh Tersangka Diamankan: Dari ASN hingga “Direktur Bayangan”
Dalam pengusutan kasus ini, Kejaksaan menahan tujuh tersangka. Satu di antaranya adalah ASN aktif berinisial AP yang menjabat sebagai Kepala Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (DPKKP) sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Ia dianggap memiliki peran sentral dalam meloloskan pencairan anggaran tanpa dasar pekerjaan nyata.
Enam tersangka lainnya berasal dari pihak swasta, yaitu; DT sebagai pengendali pekerjaan, RWS sebagai pengendali pengawasan, OK sebagai Direktur CV. Mulya Jati, C sebagai Peminjam bendera CV. Mulya Jati, LM sebagai Direktur CV. Wika Abadi Raya, serta T sebagai Peminjam bendera CV. Wika Abadi Raya
Modus tersangka adalah meminjam perusahaan sebagai kedok untuk memenangi proyek. Direktur legal hanya formalitas, sementara pengendali lapangan dan pelaksana justru tak memiliki kompetensi teknis.
Lebih mengerikan, pengawasan proyek yang seharusnya menjadi tameng pelindung masyarakat dari potensi penyalahgunaan anggaran, justru menjadi bagian dari jaringan korupsi. RWS dan DT diketahui menyusun laporan pengawasan fiktif guna memperlancar pencairan.
“Laporan pengawasan yang disusun justru menjadi alat legitimasi pencairan anggaran, padahal di lapangan tak ada pekerjaan yang berjalan,” ujar Yudhi.
Ancaman Hukuman dan Perburuan Aset
Ketujuh tersangka dijerat dengan Pasal 2 dan 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001. Ancaman hukuman maksimalnya adalah 20 tahun penjara, ditambah denda serta pengembalian kerugian negara.
Penyidik Kejari juga menegaskan sedang menelusuri aset milik para tersangka. “Mobil, tanah, hingga rekening bank milik para pelaku akan kami telusuri. Jika terbukti berasal dari hasil kejahatan, semua akan disita demi pemulihan kerugian negara,” tegas Yudhi.