Honorer Sekretariat DPRD Kabupaten Cirebon Kawal Realisasi Janji Pengangkatan

KIM
Beberapa pegawai non-ASN yang tergabung dalam Forum R2 dan R3 Sekretariat DPRD Kabupaten Cirebon (foto: adainfo.id)

adainfo.id – Di tengah bayang-bayang rencana penghapusan status tenaga honorer oleh pemerintah pusat, ratusan pegawai non-ASN di lingkungan Sekretariat DPRD Kabupaten Cirebon justru melangkah tegas. Mereka yang tergabung dalam Forum R2 dan R3 menggerakkan konsolidasi dan pengawalan serius terhadap Berita Acara (BA) hasil audiensi antara pihak eksekutif, legislatif, dan perwakilan forum honorer yang dinilai sebagai titik terang dalam perjuangan panjang mereka.

Berita Acara yang disepakati beberapa waktu lalu kini menjadi fondasi utama perjuangan honorer. Tidak hanya memuat janji administratif, BA ini merepresentasikan pengakuan atas pengabdian yang telah lama mereka berikan kepada birokrasi daerah, meskipun dalam status non-ASN yang selama ini tak menentu.

“Ini bukan hanya soal pekerjaan. Ini soal kepastian atas pengabdian kami yang sudah lama, dan harusnya dihargai. Kami tidak ingin BA ini berakhir jadi kertas kosong,” tegas Fiqih Ramadhan, atau akrab disapa Engking, salah satu tokoh honorer yang vokal menyuarakan aspirasi rekan-rekannya.

Empat Poin Kesepakatan yang Dikawal Ketat

Setidaknya ada empat poin penting dalam dokumen BA yang menjadi titik krusial pengawalan forum. Di antaranya, yang paling signifikan adalah janji pengangkatan honorer dari kategori R2, R3, dan R4 menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) penuh mulai tahun anggaran 2026.

Engking menjelaskan bahwa Pemkab Cirebon dan DPRD telah menyepakati alokasi formasi sebesar 3.906 tenaga honorer, dengan target 1.200 formasi direalisasikan pada 2026, dan sisanya menyusul secara bertahap pada 2027.

“Ini angka besar dan menyangkut nasib ribuan keluarga. Pengawalan ini bukan sekadar aksi, tapi bentuk tanggung jawab kolektif,” imbuhnya.

Isu Ketimpangan Upah Jadi Sorotan

Selain pengangkatan status, Forum Honorer juga menyoroti ketimpangan dalam skema pengupahan antara honorer paruh waktu dan full-time. Dalam BA disebutkan bahwa sistem gaji dibagi dua, yakni maksimum recruitment (dengan standar UMK) dan minimum recruitment (disesuaikan dengan beban kerja).

Namun implementasinya masih menimbulkan pertanyaan. Banyak honorer mengeluhkan adanya potensi diskriminasi dalam penentuan gaji.

“Jangan sampai gaji tenaga honorer ditentukan semena-mena, sementara beban kerja nyaris sama dengan ASN,” kata Hendri, perwakilan forum lainnya.

Forum menuntut agar ada standar objektif dan transparan dalam penentuan skema upah ini serta pengawasan berkelanjutan agar tidak terjadi ketimpangan sosial di internal lembaga pemerintahan.

Langkah konsolidasi dan pengawalan ini muncul di tengah derasnya wacana penghapusan tenaga honorer secara nasional. Forum R2 dan R3 menilai, kebijakan sepihak tanpa solusi yang jelas justru akan merugikan daerah dan merusak stabilitas birokrasi yang selama ini banyak ditopang oleh keberadaan honorer.

“Tenaga honorer adalah realitas, bukan sekadar statistik. Jika pusat ingin menghapus, daerah harus memberi solusi. Cirebon bisa jadi contoh,” ujar Engking.

Cirebon Berpeluang Jadi Preseden Nasional

Banyak pihak berharap bahwa langkah Pemkab Cirebon dalam menindaklanjuti BA ini bisa menjadi preseden positif bagi daerah lain di Indonesia. Dengan merancang skema alih status yang bertahap namun pasti, daerah bisa menunjukan keberpihakan nyata pada keadilan sosial dan penghormatan terhadap pengabdian.

“Kalau serius menindaklanjuti BA ini, berarti daerah hadir membela rakyatnya,” lanjut Engking.

Di balik perjuangan ini, para honorer menegaskan bahwa apa yang mereka lakukan bukanlah bentuk tuntutan yang berlebihan. Mereka hanya ingin pengakuan yang setara atas pengabdian yang selama ini dijalani dengan loyalitas tinggi, meski tanpa jaminan status dan kesejahteraan.

“Kami tidak minta dilayani. Kami hanya ingin dihargai sebagaimana mestinya,” pungkas Engking, menutup orasinya dengan tegas namun penuh harap.

Para anggota forum menyadari bahwa tahun 2025 adalah masa krusial, terutama karena mendekati momen evaluasi struktural dan rekrutmen ASN secara nasional. Oleh karena itu, pengawalan terhadap hasil BA akan terus dilakukan melalui berbagai kanal: aksi, audiensi lanjutan, hingga advokasi ke media dan pemangku kebijakan pusat.

BSP GROUP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *