DPRD Kabupaten Cirebon Pertanyakan Keseriusan Pemkab dalam Menyusun RPJMD
adainfo.id – Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Cirebon dengan agenda pandangan umum fraksi terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Tahun 2025–2029, menjadi ajang kritik tajam terhadap keseriusan Pemkab Cirebon dalam menyiapkan arah pembangunan lima tahun mendatang.
Sejumlah fraksi secara lugas mempertanyakan substansi, logika, hingga akurasi data dalam dokumen perencanaan yang diajukan oleh eksekutif. Dalam forum resmi yang dipimpin Ketua DPRD Cirebon Sophi Zulfia tersebut, fraksi-fraksi menuntut agar RPJMD tidak menjadi dokumen normatif belaka, melainkan peta jalan pembangunan yang realistis dan berdampak nyata bagi masyarakat.
Fraksi Golkar: RPJMD Harus Berbasis Data, Bukan Janji
Sorotan tajam diawali oleh Fraksi Golkar melalui ketuanya Anton Maulana. Ia menyebut RPJMD versi eksekutif saat ini masih lemah secara substansi dan belum mencerminkan pendekatan manajemen strategis yang seharusnya menjadi fondasi dokumen perencanaan daerah.
“RPJMD itu bukan karya sastra. Harus logis, terukur, dan berbasis data. Bukan sekadar naratif indah di atas kertas,” tegas Anton.
Fraksinya menyampaikan tujuh catatan krusial untuk ditinjau ulang, termasuk isu kemiskinan, pendidikan, dan pengabaian terhadap status pengembangan wilayah Cirebon Timur. Golkar juga mendesak adanya pemetaan program tahunan berbasis indikator pembangunan, bukan sekadar lanjutan janji kampanye.
Fraksi PDIP: Minim Integrasi Perencanaan dan Kemandirian Fiskal
Sementara itu, Fraksi PDIP yang disampaikan oleh Abdul Kodir menyebut RPJMD sebagai cetak biru pembangunan, namun masih lemah dalam integrasi antara perencanaan dan penganggaran. Salah satu sorotan besar mereka ialah tingkat kemandirian fiskal Kabupaten Cirebon yang masih rendah, dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya 24,02 persen dari total APBD.
“Ini sinyal bahaya. Harus ada terobosan, seperti digitalisasi layanan publik dan optimalisasi potensi ekonomi lokal,” kata Kodir.
PDIP juga menyoroti rendahnya kualitas pelayanan di RSUD Waled, serta tidak adanya sistem evaluasi berkala yang transparan dalam pelaksanaan RPJMD. Mereka mendorong agar RPJMD memasukkan mekanisme pelaporan periodik kepada publik.
Fraksi PKB: ‘Visi BERIMAN’ Tanpa Program Konkret
Tak kalah kritis, Fraksi PKB yang diwakili Saleh, menilai bahwa jargon visi daerah “BERIMAN” (Bersih, Inovatif, Maju, Agamis, Aman) masih sebatas slogan tanpa perwujudan program konkret. Ia menanyakan langsung apa bentuk dari program yang menjamin rasa aman dan nyaman bagi warga Cirebon.
“Kalau ‘aman’ hanya jadi jargon, publik akan skeptis. Apa buktinya? Bagaimana keamanan diwujudkan dalam RPJMD ini?” ujarnya.
PKB juga menyentil soal penanganan bencana, banjir tahunan, dan kerusakan jalan yang hingga kini masih menjadi keluhan masyarakat. Selain itu, mereka menuntut agar RPJMD mencantumkan indikator integritas birokrasi, serta mekanisme pengawasan dan sanksi terhadap penyalahgunaan jabatan.
Ketua DPRD: DPRD Tak Akan Menyetujui Dokumen Kosong Makna
Ketua DPRD Cirebon, Sophi Zulfia, menegaskan bahwa seluruh pandangan dan kritik dari fraksi akan dirangkum menjadi bahan koreksi strategis sebelum dokumen RPJMD resmi disahkan menjadi Perda.
“Kami tidak ingin RPJMD hanya jadi dokumen normatif tanpa pelaksanaan. Harus ada jaminan implementasi yang kuat,” kata Sophi.
Ia menyebut bahwa RPJMD merupakan roh dari pemerintahan daerah selama lima tahun ke depan, sehingga wajib disusun secara transparan, inklusif, dan strategis. DPRD akan mengawal dengan ketat proses pembahasan hingga penetapan akhir, agar arah pembangunan tidak melenceng dari kebutuhan masyarakat.
Rapat paripurna kali ini menjadi sinyal kuat bahwa DPRD ingin mengubah tradisi perencanaan yang hanya formalitas. Para wakil rakyat menuntut agar penyusunan RPJMD dilakukan dengan pendekatan partisipatif, yang melibatkan masukan masyarakat, akademisi, dan pelaku pembangunan di berbagai sektor.
Transparansi anggaran dan komitmen politik untuk menjalankan isi RPJMD juga menjadi bagian penting dari kritik. Selama ini, tidak sedikit program yang tercantum dalam RPJMD justru menghilang saat pergantian kepemimpinan, atau diabaikan karena tidak memiliki landasan hukum yang kuat.