Penegakan Hukum Tragedi Gunung Kuda Dipertanyakan

KIM
Kuasa hukum AR, Fery Ramadhan, saat konpress, Rabu (18/06/25) (foto: adainfo.id)

adainfo.id – Tragedi longsor tambang Gunung Kuda pada 31 Mei 2025 masih menyisakan duka mendalam.

Puluhan nyawa melayang, sejumlah keluarga kehilangan tulang punggungnya, dan publik kembali digugah oleh kenyataan pahit industri ekstraktif: berbahaya, berisiko tinggi, dan kerap minim akuntabilitas. Di tengah proses penyelidikan yang masih bergulir, satu nama muncul sebagai sorotan: AR, mantan Kepala Teknik Tambang (KTT), ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Cirebon.

Namun, langkah ini justru menimbulkan tanda tanya besar: benarkah aparat telah menetapkan orang yang tepat?

Penetapan AR sebagai tersangka dalam tragedi ini memunculkan keraguan serius akan arah penegakan hukum. Bukan hanya karena status hukumnya yang diperdebatkan, tetapi juga karena indikasi kuat bahwa tanggung jawab tidak semata ada di pundaknya.

Bahkan, bisa jadi AR hanya “pion kecil” dalam sistem kompleks pertambangan yang penuh kepentingan dan kekuasaan.

Kuasa Hukum: Jabatan AR Sudah Berakhir Sejak 2022

Fery Ramadhan, kuasa hukum AR, dalam pernyataan resminya menegaskan bahwa kliennya tidak lagi menjabat sebagai Kepala Teknik Tambang sejak akhir 2022.

Berdasarkan regulasi yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, pengesahan jabatan KTT memiliki masa berlaku yang jelas.

Dalam kasus AR, masa tersebut telah habis dan tidak ada perpanjangan resmi yang dikeluarkan.

“Bagaimana mungkin seseorang yang tidak lagi memiliki posisi struktural dimintai pertanggungjawaban atas sebuah insiden besar?” kata Fery, Rabu (18/6/2025).

Ia menyebut langkah Polres Cirebon menetapkan AR sebagai tersangka sebagai tindakan prematur yang mencederai prinsip-prinsip keadilan.

Pernyataan ini tidak sekadar argumentasi hukum biasa. Ia menyingkap sebuah pola yang sudah lama menjadi perbincangan di ruang-ruang aktivis lingkungan dan masyarakat sipil: penegakan hukum yang pilih kasih, menyasar pekerja teknis atau petugas lapangan, sementara pemilik modal dan pengambil keputusan sejati kerap luput dari jerat hukum.

Fakta-fakta di lapangan mengindikasikan bahwa operasional tambang tetap berjalan meskipun AR tidak lagi menjabat.

Maka pertanyaan logis muncul: siapa yang memerintahkan pekerjaan tambang pada hari nahas itu? Siapa yang mengawasi penggunaan alat berat, pengaturan shift kerja, serta memastikan protokol keselamatan dijalankan?

AR, yang tidak lagi memiliki jabatan resmi, tentu tidak berada dalam posisi untuk memberi instruksi ataupun mengendalikan aktivitas tambang.

Maka, pertanyaan besar muncul—adakah aktor-aktor lain yang seharusnya dimintai pertanggungjawaban? Apakah aparat penegak hukum sedang menutup mata terhadap mereka yang benar-benar berada di balik kendali operasional tambang?

Potensi Pengalihan Isu dan Tudingan Pengalihan Tanggung Jawab

Fery menengarai adanya upaya sistematis untuk mengalihkan perhatian publik dengan menjadikan AR sebagai “kambing hitam”. Ia bahkan menyebut penegakan hukum dalam kasus ini cenderung “tumpul ke atas, tajam ke bawah”.

“Publik harus tahu, ini bukan sekadar kasus kelalaian. Ini persoalan struktural. Jika hukum hanya menyasar yang lemah, maka kita sedang membangun ketidakadilan yang sistematis,” tegasnya.

Pernyataan ini menyiratkan satu hal: ada kemungkinan besar bahwa keputusan untuk tetap beroperasi di tengah cuaca ekstrem, kondisi tanah yang labil, serta ancaman longsor yang telah diprediksi sebelumnya, bukanlah keputusan teknis di level KTT, melainkan keputusan bisnis yang lahir dari tingkat manajerial atau bahkan pemilik tambang.

Industri Tambang dan Fenomena ‘Scapegoating’

Bukan kali ini saja dunia tambang diwarnai dengan praktik scapegoating—menjadikan satu figur sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas kecelakaan besar, sementara pihak yang lebih tinggi kuasanya tetap aman.

Dari tragedi Freeport hingga insiden batu bara di Kalimantan Timur, banyak kasus serupa yang menunjukkan pola berulang: teknisi, operator, atau KTT menjadi korban hukum, sementara struktur korporasi dan pemilik modal nyaris tak tersentuh.

Kasus longsor Gunung Kuda pun tak luput dari skenario serupa. Padahal, jika mengacu pada prinsip keselamatan kerja dan regulasi tambang, tanggung jawab tidak bisa dibebankan pada satu individu semata.

Tanggung jawab menyebar dari pihak yang mengesahkan anggaran, memberikan izin operasional, hingga mereka yang mengeksekusi kebijakan di lapangan.

Tim Kuasa Hukum: Akan Tempuh Jalur Hukum

Tak tinggal diam, tim kuasa hukum AR saat ini tengah menyiapkan upaya hukum untuk menggugat penetapan status tersangka tersebut.

Salah satu opsi yang akan ditempuh adalah praperadilan, guna menguji sah atau tidaknya keputusan Polres Cirebon dalam menetapkan status hukum terhadap klien mereka.

Selain itu, Fery juga mendorong penyelidikan diperluas hingga ke jajaran pengambil kebijakan dan pemegang saham tambang.

Ia menekankan pentingnya audit menyeluruh terhadap struktur manajemen tambang, termasuk siapa yang menandatangani perpanjangan izin, siapa yang mengesahkan prosedur keselamatan, dan siapa yang memperoleh keuntungan finansial dari operasional tambang di Gunung Kuda.

“Kami tidak ingin kasus ini berhenti pada nama AR. Keadilan tidak bisa dipenuhi dengan mencari korban pengganti.

Semua yang berperan harus diperiksa, dari pemilik tambang hingga pihak yang mengesahkan rencana kerja,” tegasnya.

Desakan Transparansi dari Masyarakat Sipil

Tak hanya dari pihak kuasa hukum, masyarakat sipil dan organisasi lingkungan mulai menyuarakan desakan serupa.

Aliansi Masyarakat Peduli Lingkungan Cirebon (AMPL-C) menyatakan kekecewaan terhadap penanganan kasus ini yang dinilai terburu-buru dan tidak menyentuh inti permasalahan.

Dalam pernyataan sikapnya, AMPL-C meminta aparat untuk tidak hanya berpijak pada aspek administratif, tetapi juga melakukan investigasi menyeluruh yang mempertimbangkan rantai keputusan hingga level pemilik modal.

Menurut mereka, tragedi ini seharusnya menjadi momentum untuk membongkar praktik-praktik kotor di industri tambang yang kerap bermain di celah hukum, melewati batas regulasi, dan mengorbankan keselamatan pekerja demi keuntungan semata.

BSP GROUP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *