Kawasan Galian C Argasunya Longsor, 5 Pekerja Tertimbun

KIM
Tim evakuasi longsor Galian C Argasunya, Rabu (18/06/25) (foto: adainfo.id).

adainfo.id – Musibah kembali menghantam Kota Cirebon, tepatnya di kawasan Galian C, Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti.

Rabu pagi, 18 Juni 2025, sekitar pukul 07.30 WIB, tanah longsor menimbun lima orang pekerja tambang.

Dua di antaranya adalah kakak beradik, Dani Danara (27) dan Rian Andrian Pamungkas (23), yang mengais rezeki di lahan milik orang tua mereka.

Musibah ini menyisakan duka mendalam sekaligus menguak kembali persoalan lama: tambang ilegal dan lemahnya pengawasan.

Lima Nyawa Tertimbun, Dua di Antaranya Anak Pemilik Lahan

Peristiwa nahas itu terjadi di lokasi tambang yang secara administratif telah ditutup dan dilarang beroperasi oleh pemerintah kota.

Namun, karena alasan ekonomi, keluarga pemilik lahan tetap melanjutkan aktivitas penambangan.

Tragisnya, dua dari lima korban yang tertimbun adalah anak dari pemilik lahan sendiri—menjadikan peristiwa ini lebih dari sekadar kecelakaan kerja, tetapi tragedi keluarga.

Dani dan Rian diketahui sudah lama membantu keluarga mengolah lahan yang dulunya produktif sebagai tambang galian C.

Namun status lahan yang telah ditutup karena risiko geoteknik tinggi menjadikan aktivitas mereka berada di luar koridor hukum dan keamanan.

Wali Kota Cirebon Tegaskan: Larangan Sudah Disampaikan Berkali-kali

Wali Kota Cirebon, Effendi Edo, menyampaikan belasungkawa atas peristiwa ini. Dalam keterangannya pada Rabu (18/06/2025), ia mengingatkan bahwa kawasan tersebut telah lama ditetapkan sebagai zona larangan tambang.

“Kami bersama Forkopimda sudah tegas melarang aktivitas penggalian di kawasan itu karena sangat berbahaya. Peringatan sudah kami pasang dan imbauan sudah berkali-kali disampaikan, tapi masih saja ada yang nekat,” ucap Edo.

Ia mengungkapkan rasa kecewa terhadap masyarakat yang masih melanjutkan penambangan ilegal demi kepentingan ekonomi sesaat.

Padahal, potensi bencana di kawasan perbukitan Argasunya sangat tinggi, terutama saat musim hujan atau kondisi tanah lembab seperti yang terjadi hari itu.

“Melanggar aturan bukan hanya soal administrasi. Di sini, taruhannya nyawa,” tegasnya.

Evakuasi Terkendala Risiko Longsor Susulan

Hingga saat berita ini diturunkan, proses evakuasi masih berjalan sangat hati-hati. Tim SAR, BPBD Kota Cirebon, dan personel TNI/Polri masih melakukan evaluasi intensif di lokasi.

Opsi penggunaan alat berat masih ditimbang, karena getaran dari mesin dikhawatirkan dapat memicu longsor susulan.

Kondisi medan yang curam dan gembur menjadi tantangan tersendiri bagi tim penyelamat.

Sementara itu, pihak keluarga korban terus berjaga di lokasi, berharap keajaiban dan menanti kepastian nasib anggota keluarganya yang tertimbun.

“Evakuasi harus dilakukan hati-hati. Kami tidak ingin menambah korban dengan mengambil langkah gegabah,” ujar salah satu anggota tim SAR.

Tambang Ilegal dan Wajah Lama Permasalahan Argasunya

Peristiwa ini kembali menyoroti praktik tambang ilegal yang masih marak di kawasan Cirebon selatan, termasuk di Argasunya.

Meski sudah berkali-kali diberi sanksi, ditutup, dan diperingatkan, aktivitas penambangan ilegal tetap berjalan karena tekanan ekonomi masyarakat dan lemahnya penegakan hukum.

Galian C di kawasan tersebut bukan hanya bermasalah secara legalitas, tetapi juga mengancam ekosistem, mempercepat erosi, dan meningkatkan potensi bencana.

Beberapa studi akademik menunjukkan bahwa perubahan morfologi tanah akibat penggalian liar meningkatkan risiko longsor hingga dua kali lipat.

Namun ironisnya, regulasi seolah tak bertaji ketika berhadapan dengan kebutuhan hidup masyarakat.

Banyak dari mereka yang menggantungkan nafkah dari aktivitas ini—meski sadar akan risikonya.

Kebutuhan Ekonomi vs Kewaspadaan Bencana

Dilema antara kebutuhan ekonomi dan risiko keselamatan kembali menyeruak. Dalam kasus ini, dua anak pemilik lahan menjadi korban aktivitas yang sebenarnya sudah diketahui berbahaya.

Di sisi lain, pemerintah menghadapi tantangan besar untuk menyeimbangkan penegakan hukum dengan pendekatan kemanusiaan.

Langkah represif semata, tanpa solusi ekonomi alternatif, berisiko membuat masyarakat terus melanggar demi bertahan hidup.

Maka dari itu, banyak pihak menilai bahwa pendekatan harus bersifat holistik—menggabungkan edukasi risiko, penataan ulang kawasan, dan pemberdayaan ekonomi warga setempat.

Suara Masyarakat dan Seruan Evaluasi Total

Beberapa warga sekitar menyatakan bahwa penambangan tetap dilakukan karena tidak ada pilihan pekerjaan lain.

“Mau kerja apa, Pak? Kami hanya tahu gali tanah buat makan,” ujar seorang warga yang enggan disebut namanya.

Peristiwa ini pun menjadi sorotan LSM lingkungan dan tokoh masyarakat yang mendesak agar Pemkot Cirebon melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kawasan bekas tambang.

Mereka juga meminta penguatan sistem pengawasan serta pemberian insentif kepada masyarakat agar tidak kembali melakukan aktivitas ilegal.

BSP GROUP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *