Kisruh Penetapan KLB Leptospirosis oleh Puskesmas Gebang Gegerkan Warga Desa Melakasari
adainfo.id – Masyarakat Desa Melakasari, Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon, dihebohkan dengan beredarnya surat penetapan status Kejadian Luar Biasa (KLB) leptospirosis yang dikeluarkan oleh Puskesmas Gebang.
Surat tersebut mendadak viral di kalangan warga dan menimbulkan keresahan karena dinilai tidak sesuai prosedur resmi yang berlaku dalam sistem kesehatan nasional. Insiden itu terjadi pada Rabu (18/6/2025), dan hingga kini, polemiknya belum mereda.
Polemik ini muncul karena menurut ketentuan sistem kesehatan Indonesia, lembaga yang memiliki kewenangan untuk menetapkan status KLB adalah pemerintah daerah atau Kepala Dinas Kesehatan setempat, bukan Puskesmas.
Namun, dalam surat yang sempat beredar di kalangan warga dan beberapa perangkat desa, tercantum secara eksplisit bahwa wilayah Desa Melakasari ditetapkan dalam status KLB leptospirosis, lengkap dengan ajakan waspada dan tindakan lanjutan.
Kepala Puskesmas Gebang Bungkam, Serahkan ke Dinkes
Saat dikonfirmasi oleh wartawan melalui pesan singkat, Kepala Puskesmas Gebang, dr. Mila Kusuma Hermastuti, hanya memberikan jawaban singkat. Ia membenarkan bahwa surat tersebut telah direvisi secara redaksional, namun enggan menjelaskan isi revisi tersebut lebih jauh.
“Mohon maaf, langsung saja ke Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon, ke Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P),” tulis dr. Mila pada Selasa (17/6/2025).
Ketika ditanya apakah surat tersebut akan diganti menjadi imbauan kesehatan biasa atau bentuk lainnya, dr. Mila kembali menjawab singkat, “Langsung ke Bidang P2P Dinkes saja, arahannya seperti itu.”
Jawaban tersebut dinilai tidak cukup menjawab keresahan masyarakat yang telah terlanjur panik dengan beredarnya surat KLB tersebut. Terlebih lagi, pihak desa mengaku tidak dilibatkan dalam proses koordinasi resmi sebelum surat diedarkan.
Dinkes Kabupaten Cirebon: KLB Harus Ditentukan oleh Kepala Dinas
Upaya konfirmasi pun dilanjutkan kepada pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon, khususnya ke Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P). Kepala Bidang P2P, Nurfatmawati, menegaskan bahwa secara prosedural, penetapan status KLB tidak bisa dilakukan secara sepihak oleh Puskesmas, apalagi hanya dengan dasar satu kasus.
“Puskesmas itu tidak punya kewenangan untuk menjawab media. Kewenangan itu ada pada Kepala Dinas,” ujarnya tegas pada Rabu (18/6/2025).
Menurutnya, dalam sistem kesehatan daerah, ada kriteria khusus untuk menentukan KLB, dan hal itu tidak bisa hanya berdasar satu parameter hasil laboratorium. “Penentuan KLB tidak bisa hanya satu parameter. Makanya saya sudah kasih tahu aturannya,” jelasnya.
Ia juga menyampaikan bahwa Dinas Kesehatan telah memberikan sosialisasi kepada seluruh kepala Puskesmas di Kabupaten Cirebon tentang definisi KLB dan kriteria yang harus dipenuhi. “Kami sudah tekankan bahwa tidak semua Puskesmas memahami definisi KLB. Jadi kemarin kalau ada penetapan KLB dari Puskesmas, itu tidak tepat,” tambah Nurfatmawati.
Satu Kasus Positif Leptospirosis Tak Cukup untuk KLB
Diberitakan sebelumnya, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon, dr. Neneng Hasanah, menyampaikan bahwa dari empat warga Desa Melakasari yang diperiksa menggunakan metode General Growth Model (GGM), hanya satu warga yang menunjukkan hasil positif leptospirosis. Tiga lainnya dinyatakan negatif.
“Penetapan KLB tidak bisa dilakukan hanya berdasarkan satu parameter hasil laboratorium,” tegas dr. Neneng saat diwawancarai Senin (16/6/2025).
Menurutnya, dalam menetapkan status KLB, perlu ada penyelidikan epidemiologi menyeluruh yang mencakup aspek lingkungan, vektor penular, serta potensi penyebaran. “Sumber penular seperti tikus seharusnya ikut diperiksa. Bisa saja tikus membawa bakteri penyebab leptospirosis, terutama di wilayah-wilayah terdampak banjir,” ucapnya.
Reaksi Warga dan Pemerintah Desa
Di tengah simpang siur informasi, masyarakat Desa Melakasari menjadi korban kepanikan massal. Beberapa warga terlihat menggunakan masker dan sarung tangan ketika keluar rumah, sebagian lagi bahkan mulai membatasi anak-anak mereka bermain di luar rumah.
Kepala Desa Melakasari, yang enggan disebut namanya, menyatakan bahwa pihak desa tidak pernah menerima tembusan surat edaran KLB tersebut sebelum tersebar ke publik. “Kami juga kaget. Baru tahu dari warga. Seharusnya ada koordinasi dengan pemerintah desa dulu, agar tidak muncul kepanikan seperti ini,” ungkapnya.
Pihak desa mengaku sudah mencoba menghubungi pihak Puskesmas untuk mendapatkan penjelasan, namun jawaban yang diterima juga bersifat normatif. “Warga bertanya ke kami, kami pun bingung jawabnya bagaimana. Yang jelas, kami akan minta klarifikasi tertulis dari Dinas Kesehatan Kabupaten,” tambahnya.
Kisruh ini memunculkan pertanyaan mendalam mengenai standar komunikasi krisis dalam sistem kesehatan masyarakat di tingkat lokal.
Penanganan penyakit menular seharusnya mengikuti jalur koordinasi berjenjang dan transparansi publik yang akurat.
Kasus di Melakasari mencerminkan lemahnya kontrol atas penerbitan informasi resmi, khususnya dari lembaga pelayanan primer seperti Puskesmas.
Beberapa praktisi kesehatan masyarakat menilai bahwa Puskesmas, sebagai unit layanan terdepan, memiliki peran penting dalam edukasi dan deteksi dini, namun tidak memiliki otoritas dalam hal kebijakan makro seperti penetapan KLB.
Diperlukan pembenahan sistem komunikasi antarinstansi, serta pelatihan ulang kepada petugas Puskesmas mengenai kewenangan yang dimiliki agar tidak terjadi lagi informasi yang misleading di masa depan, terlebih dalam situasi sensitif seperti wabah penyakit menular.