Warga Tiga Desa Desak PT HDEC Tuntaskan Janji Pengelolaan Limbah PLTU II Cirebon
adainfo.id – Gelombang desakan muncul dari tiga desa terdampak langsung operasional PLTU II Cirebon, yakni Desa Kanci dan Kanci Kulon di Kecamatan Astanajapura, serta Desa Waruduwur di Kecamatan Mundu. Ketiganya secara terbuka mempertanyakan komitmen PT Hyundai Engineering and Construction (HDEC) dalam pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) serta non-B3 yang hingga kini belum menampakkan kejelasan meski telah ada kesepakatan sejak tahun lalu.
Mereka menilai, keterlambatan dan kurangnya transparansi dalam proses lelang pengelolaan limbah tidak hanya mencederai perjanjian yang disepakati bersama, tetapi juga berpotensi menghambat upaya pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa.
Surat Perjanjian Diteken, Janji Tak Kunjung Ditepati
Menurut Sunaryo, Kuwu Desa Kanci, kesepakatan formal mengenai pengelolaan limbah telah diteken bersama pada 30 Agustus 2024.
Penandatanganan disaksikan oleh aparat penegak hukum dan dimediasi langsung oleh Kapolresta Cirebon. Dalam dokumen tersebut, disebutkan bahwa pengelolaan limbah PLTU II akan diberikan kepada ketiga desa terdampak, dengan mekanisme dan teknis lelang yang disepakati bersama.
“Surat itu ditandatangani langsung oleh perwakilan PT HDEC, Doni Arif Ansury. Tapi nyatanya, sudah hampir satu tahun berlalu, belum juga ada realisasi,” ucap Sunaryo dengan nada kecewa saat ditemui pada Minggu (22/6/2025).
Situasi ini membuat pihak desa semakin mendesak HDEC untuk segera menunaikan tanggung jawabnya. Sebab, menurut Sunaryo, pengelolaan limbah tersebut bukan semata-mata soal administrasi, melainkan menyangkut hajat hidup masyarakat luas yang bergantung pada dana hasil lelang untuk mendanai pembangunan desa.
Komunikasi Tersendat, Surat Tak Dibalas Tepat Waktu
Ketidakterbukaan dan komunikasi yang tidak lancar menjadi catatan buruk dalam proses ini. Desa Kanci mengaku telah mengirim surat permohonan audiensi ke PT HDEC pada 12 Mei 2025, namun hanya mendapat respons yang tidak pasti.
“Kami kembali bersurat pada 30 Mei. Dua hari kemudian, tepatnya 2 Juni, PT HDEC membalas dengan surat yang berisi tahapan dan syarat teknis lelang,” jelas Sunaryo.
“Kami lengkapi semua persyaratan tersebut. Tapi setelah itu, kami hanya menunggu tanpa kepastian. Tidak ada surat lanjutan. Tidak ada penjelasan. Hening,” tambah Sunaryo.
Desa merasa dipermainkan, sebab dari pihak mereka telah menunjukkan itikad baik dan melaksanakan semua kewajiban administratif yang diminta perusahaan.
Namun, peluang partisipatif desa dalam pengelolaan limbah yang sudah dijanjikan justru tak kunjung diberikan ruang implementasi.
Audiensi Ulang Dijadwalkan, Warga Mulai Resah
Kondisi yang terus menggantung ini akhirnya mendorong ketiga desa untuk mengambil langkah tegas. Menurut Subandi, Kuwu Kanci Kulon, pihaknya bersama dua desa lain telah sepakat menjadwalkan ulang audiensi dengan PT HDEC pada Rabu, 25 Juni 2025.
“Ini bentuk tanggung jawab moral kami kepada warga yang terus bertanya-tanya. Ada harapan besar dari masyarakat terhadap dana hasil lelang limbah ini untuk mendukung program pembangunan,” kata Subandi.
Ia menjelaskan, dana dari pengelolaan limbah akan dikonversi menjadi program pemberdayaan dan pembangunan infrastruktur, termasuk jalan desa, saluran irigasi, dan bantuan sosial.
Dengan begitu, pengelolaan limbah bukan lagi sebatas wacana teknis, melainkan alat transformasi sosial dan ekonomi desa.
“Yang kami perjuangkan ini bukan untuk segelintir orang, tapi untuk ribuan warga yang hidup berdampingan dengan aktivitas industri PLTU setiap hari,” tegasnya.
Belajar dari PLTU I, Mengapa PLTU II Belum Mampu?
Para kepala desa juga membandingkan mekanisme pengelolaan limbah yang dilakukan oleh PLTU I Cirebon, di mana desa-desa sekitar berhasil mendapatkan manfaat langsung dari proses lelang limbah yang terbuka dan akuntabel.
Di wilayah tersebut, lelang limbah bahkan menjadi sumber dana strategis bagi pembangunan berbagai fasilitas umum dan penguatan kapasitas masyarakat. Maka, warga bertanya, mengapa pola yang sudah terbukti berhasil tidak diterapkan juga di PLTU II?
“Kalau PLTU I bisa membuka ruang untuk desa, mengapa PLTU II justru seolah menghindar?” ujar Subandi retoris. “Kami tidak menuntut yang muluk-muluk. Kami hanya menuntut apa yang sudah dijanjikan dan disepakati secara resmi.”
Tiga desa tersebut kini menyatakan siap bersuara lebih keras jika audiensi pada 25 Juni mendatang kembali tidak membuahkan hasil. Tak menutup kemungkinan, aksi kolektif akan dilakukan jika dialog dianggap buntu dan aspirasi warga terus diabaikan.
Pembangunan Desa vs. Tanggung Jawab Korporasi
Dalam skala yang lebih luas, kisruh soal pengelolaan limbah PLTU II Cirebon menjadi cerminan masih rendahnya komitmen sebagian entitas industri terhadap tanggung jawab sosial dan lingkungan (CSR). Ketika warga dan pemerintah desa berupaya membangun dari keterbatasan, perusahaan justru lamban dan tidak komunikatif.
Padahal, perusahaan sebesar PT HDEC seharusnya menjadikan kolaborasi dengan masyarakat sebagai strategi keberlanjutan operasional, bukan sekadar pelengkap laporan tahunan. Apalagi, kegiatan industri energi seperti PLTU memiliki dampak lingkungan yang nyata dan berkelanjutan.
Di tengah kebutuhan pembangunan yang terus meningkat, desa-desa di sekitar PLTU II membutuhkan mitra yang konsisten dan bertanggung jawab. Bukan janji-janji yang menggantung tanpa kepastian, apalagi yang hanya indah di atas kertas.