Polemik Penataan Tempat Hiburan Ciledug, Kabupaten Cirebon Kembali Mencuat

KIM
Pemerhati sosial budaya Cirebon Timur, R. Hamzaiya, saat dikonfirmasi, Senin (23/06/25) (foto; adainfo.id).

adainfo.id – Polemik mengenai penataan tempat hiburan di wilayah Ciledug, Kabupaten Cirebon, kembali memanas dan menjadi perbincangan publik.

Sejumlah tempat hiburan, mulai dari biliar hingga wahana rekreasi malam, disorot karena dinilai belum memenuhi ketentuan perizinan, termasuk persoalan jarak dengan tempat ibadah dan zonasi yang tidak sesuai dengan tata ruang daerah.

Keresahan masyarakat lokal semakin meluas, terutama bagi warga yang tinggal di sekitar lokasi hiburan tersebut. Sorotan juga datang dari tokoh agama, tokoh masyarakat, dan pemerhati sosial yang meminta penertiban menyeluruh demi menjaga kenyamanan dan keharmonisan lingkungan.

Pemerhati Sosial Budaya: Harus Ada Evaluasi Serius

R. Hamzaiya, seorang pemerhati sosial budaya dari kawasan Cirebon Timur, angkat bicara mengenai persoalan ini.

Ia menyatakan bahwa hingga saat ini pengawasan terhadap izin operasional tempat hiburan masih lemah, dan penataan ruang untuk sektor hiburan belum sepenuhnya mengacu pada prinsip keharmonisan sosial.

“Keberadaan tempat hiburan di kawasan padat penduduk, apalagi yang berdekatan dengan masjid atau musala, bisa memicu konflik sosial,” ujar Hamzaiya, Senin (23/6/2025).

Hamzaiya menilai, pengelolaan hiburan yang tidak berpijak pada sensitivitas masyarakat setempat akan berdampak serius pada ketegangan horizontal, terutama jika menyangkut nilai-nilai agama yang sangat dijaga oleh warga.

Desakan untuk Tindakan Tegas dan Menyeluruh

Tidak hanya mempertanyakan validitas izin, Hamzaiya juga menyoroti lemahnya penegakan hukum oleh aparat dan instansi terkait.

Ia menyebut bahwa tindakan yang dilakukan saat ini cenderung tebang pilih, di mana pelanggar kecil seperti pedagang kaki lima atau remaja yang nongkrong malam hari kerap menjadi sasaran, sementara pelaku usaha besar yang melanggar zonasi sering kali luput dari pengawasan.

“Penegakan hukum tidak boleh diskriminatif. Pemerintah harus hadir sebagai pengayom, bukan sekadar menertibkan yang lemah,” tegasnya.

Hamzaiya meminta agar Pemerintah Kabupaten Cirebon, khususnya Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP), serta Satpol PP, segera melakukan inspeksi terhadap tempat-tempat hiburan yang diduga melanggar perizinan dan tata ruang.

Ketegangan Sosial Meningkat, Warga Tuntut Perlindungan

Keresahan yang diungkapkan tokoh budaya itu sejalan dengan suara masyarakat sekitar. Warga RT 02/RW 03, yang enggan disebut namanya, menyatakan bahwa kehadiran tempat biliar dan wahana malam lainnya sering kali disertai dengan keramaian hingga larut malam, bahkan ada yang menyebut beberapa lokasi diduga menjadi tempat konsumsi minuman keras.

“Kami sebagai warga tidak anti hiburan, tapi tolong tempatkan sesuai zona yang benar. Jangan di tengah permukiman, apalagi dekat masjid,” katanya.

Beberapa warga lainnya juga menyayangkan kurangnya sosialisasi dari pihak pengelola hiburan sebelum memulai operasional. Mereka menyebut, komunikasi yang minim membuat potensi konflik semakin besar.

“Kalau dari awal diajak rembuk, mungkin warga tidak keberatan. Tapi ini seperti mendadak muncul tanpa izin warga,” ujar seorang warga lainnya.

Regulasi Sudah Ada, Tinggal Komitmen Penegakan

Dalam tataran hukum, aturan mengenai zonasi tempat hiburan dan jarak minimal dari tempat ibadah sejatinya telah tercantum dalam sejumlah regulasi daerah. Namun, menurut pengamatan Hamzaiya, peraturan itu belum dijalankan secara konsekuen di lapangan.

“Peraturan sudah ada, bahkan jelas. Tapi lemahnya pengawasan dan pengaruh dari oknum tertentu membuat penegakan jadi tumpul,” ujarnya.

Ia pun menilai bahwa dalam konteks penataan wilayah, Pemerintah Kabupaten Cirebon seharusnya tidak hanya bertumpu pada aspek ekonomi dan investasi saja, tetapi juga harus mengedepankan keseimbangan antara pembangunan dan stabilitas sosial.

Menurutnya, evaluasi menyeluruh terhadap data perizinan tempat hiburan harus dilakukan secara berkala dan transparan, melibatkan masyarakat sekitar, tokoh agama, dan aparat desa.

Portret Kawasan yang Belum Siap Terima Zona Hiburan

Kawasan Ciledug dikenal sebagai wilayah yang memiliki komposisi demografis dengan nilai religius yang cukup kuat. Banyak kampung dan permukiman padat yang berdampingan langsung dengan tempat ibadah.

Di tengah kondisi ini, kehadiran tempat hiburan modern dinilai kurang tepat tanpa adanya kajian sosial dan kultural yang memadai.

Hamzaiya pun mengingatkan bahwa pembangunan tidak bisa lepas dari konteks lokal, terutama pada wilayah dengan kultur yang masih sangat menjaga nilai spiritual dan kekeluargaan.

“Kalau pembangunan tidak peka terhadap konteks lokal, yang muncul justru resistensi dan penolakan. Kita tidak mau konflik horizontal meledak karena ketidaksensitifan kebijakan,” katanya.

BSP GROUP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *