Tebing Sungai Cimanis Kembali Longsor, 450 Rumah Warga Terancam
adainfo.id – Warga Desa Beringin, Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon kembali dihantui kecemasan menyusul longsornya tebing Sungai Cimanis yang kian parah. Longsor yang terjadi sekitar sebulan lalu kini meluas dan nyaris mencapai kawasan padat penduduk, menempatkan lebih dari 400 rumah warga dalam bayang-bayang ancaman.
Peristiwa ini bukan yang pertama terjadi, namun kerusakan kali ini dinilai paling mengkhawatirkan. Derasnya arus sungai terus mengikis tebing hingga mencapai jarak hanya 50–100 meter dari permukiman warga. Sekretaris Desa Beringin, Supriyadi, menyebut situasi saat ini jauh lebih genting dibandingkan sebelumnya.
“Longsorannya makin luas. Ada titik longsoran sampai 30 meter. Kalau hujan turun deras, kami takut rumah-rumah bisa ikut amblas,” kata Supriyadi kepada wartawan, Rabu (25/6/2025).
Tebing Terus Terkikis, Warga Hidup dalam Ketakutan
Data sementara yang dihimpun pemerintah desa mencatat, sekitar 70 hingga 80 kepala keluarga (KK) sudah terdampak secara langsung.
Mereka kini hidup dengan kekhawatiran, terutama ketika malam tiba atau cuaca mulai menunjukkan tanda-tanda hujan.
Menurut Supriyadi, beberapa longsoran bahkan sudah menjangkau area pertanian warga, menyebabkan kerugian material dan menurunkan hasil panen. “Kami sudah kesulitan air, sekarang sawah mulai rusak. Kalau rumah ikut hilang, bagaimana nasib kami?” katanya.
Permohonan Bantuan Tak Kunjung Direspons
Pemerintah Desa Beringin mengaku telah menyampaikan permohonan bantuan kepada instansi terkait, seperti Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA), Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Cimanis, dan Pemerintah Kabupaten Cirebon. Namun hingga kini, belum ada tindakan nyata yang dilakukan.
“Sudah berkali-kali kami laporkan. Bahkan sudah ada survei lapangan dari dinas. Tapi hanya itu. Belum ada pembangunan tanggul atau penahan tebing,” tegas Supriyadi.
Ia menambahkan, longsoran tebing Sungai Cimanis bukan kejadian baru dan telah berlangsung bertahun-tahun. Namun, selama ini penanganannya bersifat sementara dan tidak menyelesaikan masalah secara menyeluruh.
Desa Beringin kini berada dalam kondisi rawan ganda. Selain terancam longsor, desa ini juga sedang dilanda krisis air akibat rusaknya jaringan irigasi.
Ketergantungan warga terhadap pertanian dan sumber air membuat mereka semakin terdesak dalam menghadapi musim kering dan musim hujan yang datang silih berganti.
“Kami dihimpit dari dua sisi. Saat kering kami kekurangan air, dan saat hujan kami takut longsor. Kami minta pemerintah turun langsung dengan solusi konkret, bukan hanya janji,” pinta Supriyadi.
Para ahli menyebut bahwa struktur tanah di sepanjang Sungai Cimanis tergolong labil dan mudah tergerus. Tanpa perlindungan seperti tanggul beton atau bronjong kawat penahan, kawasan tebing sangat rentan terhadap longsor, apalagi saat curah hujan tinggi.
Jika tidak segera ditangani, bencana bisa meluas, bukan hanya merusak aset warga, tetapi juga mengancam keselamatan jiwa.
Pemerintah diminta segera menetapkan status rawan bencana di kawasan ini dan menetapkan prioritas pembangunan tanggul sebagai langkah mitigasi.
Desakan Warga: Bangun Tanggul Sekarang Juga
Warga Desa Beringin berharap agar Pemerintah Kabupaten Cirebon, melalui instansi teknis seperti BBWS dan Dinas PSDA, segera menurunkan alat berat dan memulai pembangunan infrastruktur penahan tebing.
“Kami butuh tanggul permanen. Kalau belum bisa, minimal pasang bronjong darurat. Ini soal waktu. Kalau hujan besar datang, tidak ada yang bisa menjamin keselamatan warga,” ujar Supriyadi.
Ahli lingkungan menyebut bahwa longsor akibat erosi sungai adalah bencana yang bisa dicegah jika ada intervensi sejak dini. Pembangunan tanggul, penghijauan sempadan sungai, dan penguatan struktur tanah bisa dilakukan untuk menghindari kerugian yang lebih besar.
Namun, jika tidak ditangani segera, Desa Beringin berisiko menjadi titik bencana baru di Kabupaten Cirebon. “Ini bom waktu. Pemerintah jangan tunggu korban baru bertindak,” ucap salah satu pegiat lingkungan setempat.
Desa Beringin kini menjadi potret nyata lemahnya respons terhadap ancaman bencana lingkungan. Warga yang sudah berulang kali menyuarakan kondisi mereka, kini hanya bisa berharap bahwa keluhan mereka akhirnya mendapat perhatian serius dari pihak berwenang.
Dengan lebih dari 400 rumah terancam, krisis irigasi, dan ketidakpastian musim, harapan warga sangat sederhana: mereka hanya ingin hidup aman di tanah sendiri.