KDMP Mulai Dibentuk, Kuwu-Kuwu di Cirebon Dibanjiri Permintaan Pinjaman dari Warga

KIM
Kuwu Munjul, Chaerudin saat dikonfirmasi, Kamis (26/06/25) (foto: adainfo.id)

adainfo.id – Program nasional pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (Kopdeskel) mulai bergerak di tingkat akar rumput, termasuk di Kabupaten Cirebon.

Namun di balik semangat memberdayakan ekonomi desa, para kepala desa atau kuwu justru mengaku mulai kewalahan menghadapi antusiasme warga yang membeludak, bahkan sebelum koperasi resmi terbentuk.

Salah satunya dirasakan oleh Kuwu Desa Munjul, Kecamatan Astanajapura, Chaerudin (47), yang menyebut kantor desanya terus didatangi warga yang ingin segera meminjam uang dari koperasi yang bahkan belum berdiri secara hukum.

“Sejak ramai di medsos soal dana koperasi Rp3 sampai Rp5 miliar, warga langsung datang ke balai desa tanya kapan bisa pinjam. Mereka kira ini dana hibah yang bisa langsung cair. Padahal kami juga belum tahu dana itu bentuknya apa,” ungkap Chaerudin, Kamis (26/6/2025).

Skema Dana Masih Abu-abu, Notaris Baru Bergerak

Menurut Chaerudin, hingga saat ini belum ada kejelasan apakah dana tersebut berasal dari APBN, hibah, atau kredit bank BUMN. Sementara itu, proses pendirian koperasi masih dalam tahap awal, termasuk pendaftaran badan hukum melalui notaris yang difasilitasi oleh Dinas Koperasi dan UKM Kabupaten Cirebon.

“Secara hukum belum sah. Kami juga masih tunggu pelatihan, struktur, dan petunjuk teknis lainnya. Tapi ekspektasi warga sudah tinggi sekali,” tambahnya.

Hal serupa juga dialami sejumlah desa lain di wilayah Cirebon. Beberapa Kuwu mengaku kewalahan memberi pemahaman bahwa koperasi tidak sama dengan program bantuan sosial atau hibah tunai.

Dari Berebut Jadi Pengurus, Kini Banyak yang Mundur

Salah satu desa yang mengalami dinamika serupa adalah Desa Gumulung Tonggoh di Kecamatan Greged. Sekretaris Desa, Aris Wardani, menceritakan bahwa awalnya banyak warga berlomba menjadi pengurus koperasi, berharap ada honor atau gaji rutin. Namun setelah dijelaskan prinsip dasar koperasi — yakni dari anggota untuk anggota — banyak yang akhirnya mundur.

“Begitu tahu tidak ada gaji, banyak yang mundur. Kami harus ulangi lagi sosialisasi, padahal program belum juga jalan,” ujar Aris.

Ia menjelaskan, untuk bisa terdaftar secara hukum, koperasi harus memiliki minimal 20 anggota aktif, masing-masing menyetor simpanan pokok sebesar Rp100 ribu. Meskipun nominal itu terbilang kecil, tapi masih menjadi tantangan jika pemahaman masyarakat belum utuh.

Visi Besar Presiden, Eksekusi Butuh Waktu dan Pendampingan

Program pembentukan 80.000 Koperasi Merah Putih ini merupakan bagian dari visi besar Presiden Prabowo Subianto untuk memperkuat ekonomi kerakyatan berbasis desa.

Wakil Menteri Koperasi dan UKM, Ferry Juliantono, menyebutkan bahwa secara administratif, ribuan koperasi telah terdaftar dan tinggal menunggu penguatan kelembagaan dan pendanaan.

“Ini bukan koperasi biasa, ini pondasi ekonomi Indonesia ke depan. Kita ingin kedaulatan ekonomi dimulai dari desa,” ujarnya dalam wawancara nasional.

Namun di lapangan, eksekusi program ini masih menghadapi sejumlah tantangan klasik: miskomunikasi, minimnya pelatihan, dan ketidaksesuaian antara harapan warga dan realitas koperasi yang dijalankan sesuai prinsip usaha, bukan bantuan.

Desa Mendukung, Tapi Butuh Edukasi yang Konsisten

Kuwu Chaerudin menegaskan bahwa pihaknya sangat mendukung program ini karena potensinya besar untuk menghidupkan ekonomi desa, membuka lapangan kerja, dan memperkuat UMKM lokal.

Namun ia berharap pemerintah, khususnya kementerian terkait dan dinas koperasi, memberikan sosialisasi dan pendampingan yang konsisten, agar masyarakat memahami sistem koperasi secara utuh.

“Kami bukan menolak, justru mendukung. Tapi warga perlu paham bahwa ini bukan program uang gratis. Koperasi butuh disiplin, partisipasi, dan tanggung jawab bersama,” katanya.

Antusiasme Warga: Peluang atau Bumerang?

Semangat warga untuk bergabung dalam koperasi sebetulnya adalah potensi besar. Namun jika tidak diiringi dengan pemahaman yang benar, antusiasme tersebut bisa menjadi bumerang. Hal ini juga dikhawatirkan akan menurunkan kepercayaan warga jika ekspektasi mereka tidak segera dipenuhi.

“Kalau tidak segera dijelaskan dari pusat, bisa-bisa kami dianggap membohongi warga. Padahal kami sendiri juga menunggu informasi yang jelas,” ujar Aris Wardani.

Sementara itu, salah satu pengamat koperasi dan pemberdayaan desa menyarankan agar pelaksanaan program ini disertai dengan roadmap edukasi, pelatihan intensif untuk pengurus, serta akses informasi yang terbuka dari pusat hingga tingkat desa.

“Sosialisasi tidak bisa hanya selembar surat edaran. Harus ada pendampingan. Jangan sampai warga kecewa karena berharap terlalu tinggi,” ujar salah satu konsultan pemberdayaan masyarakat di Cirebon.

Program Koperasi Merah Putih adalah langkah strategis dan ambisius dalam membangun ekonomi nasional dari bawah. Namun keberhasilannya sangat bergantung pada komunikasi, edukasi, dan transparansi di setiap level pelaksanaan.

Di tengah antusiasme warga yang luar biasa, para Kuwu dan perangkat desa kini berada di garda depan untuk menjembatani antara visi besar nasional dan realitas lapangan. Dukungan penuh dari pemerintah daerah, provinsi, dan pusat sangat dibutuhkan agar harapan besar ini tidak berubah menjadi kekecewaan.

Karena sejatinya, koperasi bukan soal uang cepat, tapi tentang kebersamaan membangun kesejahteraan dari desa, oleh desa, dan untuk desa.

BSP GROUP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *