Tragedi Bandara Incheon: Jangkar Karat dan PSP Desak Reformasi Perlindungan PMI

KIM
Dua organisasi pelaut migran, Jangkar Karat Maritim dan PSP, saat mendatangi kantor Kementerian P2MI (foto: istimewa)

adainfo.id – Tragedi meninggalnya seorang Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Jawa Timur di Bandara Incheon, Korea Selatan, pada 27 Juni 2025, telah menjadi pukulan menyakitkan bagi dunia migrasi tenaga kerja Indonesia.

Kejadian memilukan tersebut menyulut desakan evaluasi serius terhadap sistem perlindungan pekerja migran, yang selama ini dinilai masih menyisakan banyak celah.

Minggu (6/7/2025), dua organisasi pelaut migran, Jangkar Karat Maritim dan Pejuang Suara Pelaut (PSP), mendatangi Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) guna menyampaikan sejumlah usulan konkret terkait penguatan perlindungan calon pekerja migran, khususnya pada sektor perikanan yang selama ini rentan terhadap berbagai bentuk eksploitasi dan tekanan mental.

Perwakilan Jangkar Karat Maritim di Korea Selatan, Tarnadi, menyampaikan bahwa korban yang diduga mengalami depresi berat dan berujung pada tindakan bunuh diri, semestinya tidak boleh terjadi apabila sistem pengawasan dan pendampingan terhadap calon PMI dilakukan secara menyeluruh dan manusiawi.

“Ketika nyawa telah menjadi taruhannya, maka tidak ada ruang untuk kelalaian,” tegas Tarnadi saat memberikan pernyataan di hadapan pejabat Kementerian P2MI.

Ia menilai bahwa tragedi ini bukan sekadar musibah, melainkan sinyal kuat bahwa sistem migrasi Indonesia perlu pembenahan besar-besaran, terutama dalam hal pemeriksaan kesehatan mental dan dukungan psikososial bagi calon PMI.

Lima Usulan Konkret: Dari Pengetatan MCU hingga Migran Center

Dalam audiensi bersama jajaran Kementerian P2MI, termasuk Direktur Penempatan Awak Kapal Perikanan, Direktur Kelembagaan, dan tim Direktorat Penempatan, delegasi Jangkar Karat Maritim dan PSP mengajukan lima poin usulan utama sebagai langkah strategis perbaikan sistem perlindungan migran.

Berikut lima usulan dimaksud:

  • Pengetatan dan Perbaikan Sistem Medical Check-Up (MCU):
    Pemeriksaan fisik dan psikis calon PMI harus diperketat. Pemeriksaan tidak boleh hanya bersifat administratif, tetapi menyeluruh, termasuk skrining kesehatan mental oleh tenaga profesional.

  • Penambahan Dokumen Pendukung dari Keluarga:
    Dokumen berupa surat keterangan sehat jasmani dan rohani dari keluarga diharapkan menjadi acuan moral dan emosional, serta membantu pendeteksian dini risiko psikis calon PMI.

  • Penerapan Kembali Surat Izin Orang Tua atau Wali:
    Sebagai bentuk restu dan tanggung jawab moral dari keluarga terhadap keberangkatan anggota keluarganya sebagai pekerja migran.

  • Pembentukan Migran Center di Busan, Korea Selatan:
    Migran Center di Busan diusulkan menjadi pusat layanan perlindungan, advokasi, konseling, hingga pemulangan PMI yang mengalami kendala. Kehadiran pusat ini sangat vital, mengingat tingginya jumlah PMI di Korea Selatan.

  • Evaluasi Menyeluruh MoU Indonesia-Korea Selatan:
    MoU kerja sama ketenagakerjaan antara Indonesia dan Korea Selatan harus direvisi untuk memastikan terdapat klausul tegas tentang perlindungan hak, kesehatan, dan keselamatan PMI selama bekerja di negeri ginseng tersebut.

Migrasi Harus Menjunjung Martabat dan Kemanusiaan

Tarnadi menambahkan bahwa migrasi tidak bisa terus dianggap sebagai solusi ekonomi semata, tanpa disertai jaminan bahwa proses migrasi berlangsung dengan aman, bermartabat, dan menjunjung nilai kemanusiaan.

“Sudah terlalu lama kita membiarkan sistem migrasi bertumpu pada data dan angka. Tapi hari ini, kita diingatkan bahwa migrasi adalah soal nyawa, keluarga, dan masa depan. Tragedi Bandara Incheon adalah peringatan keras,” katanya.

Ia juga menyoroti kurangnya dukungan psikologis dan sosial kepada PMI sejak masa pelatihan hingga penempatan. Banyak pekerja migran harus menghadapi guncangan budaya, tekanan kerja, dan isolasi sosial tanpa perlindungan yang memadai.

Usulan dari Jangkar Karat Maritim dan PSP ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan penting bagi Kementerian P2MI dan lembaga terkait lainnya, untuk segera melakukan reformasi total dalam tata kelola migrasi tenaga kerja Indonesia.

“Negara wajib hadir bukan hanya saat PMI sukses kirim remitansi, tapi juga saat mereka rentan dan butuh pelukan. Jangan biarkan kita hanya bereaksi saat tragedi sudah terjadi,” tandas Ismail Saefullah, koordinator PSP.

BSP GROUP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *