AI untuk Deteksi TBC Kian Canggih, Masyarakat Tetap Diingatkan Ini
adainfo.id – Perkembangan teknologi kecerdasan artifisial (AI) semakin membuat proses skrining penyakit lebih cepat dan efisien, termasuk dalam upaya menemukan kasus tuberculosis (TBC) di Indonesia.
Namun, Kementerian Kesehatan mengingatkan bahwa kecanggihan teknologi ini tetap tidak dapat menggantikan peran tenaga medis dalam penegakan diagnosis.
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono mengingatkan bahwa teknologi ini tidak boleh digunakan sebagai alat diagnosis mandiri oleh masyarakat umum.
“Medical is combination between science and art. Jadi keputusan di bidang kedokteran itu tidak bisa diambil dari hanya satu sumber informasi saja,” tutur Dante dikutip Kamis (27/11/2025).
Kemenkes telah melakukan uji coba pemanfaatan AI melalui portable x-ray, yang memanfaatkan algoritma untuk membaca pola kelainan paru dan menandai kemungkinan adanya infeksi TBC.
Teknologi ini bahkan digunakan untuk memeriksa orang tanpa gejala tetapi memiliki riwayat kontak erat dengan pasien TBC aktif.
AI Membantu Temukan Kasus Tersembunyi
Menurut Dante, penggunaan AI terbukti membantu menemukan kasus tersembunyi atau silent cases.
Terutama pada kelompok masyarakat yang tidak menunjukkan gejala tetapi memiliki faktor risiko tinggi.
“Banyak mereka yang tidak bergejala tapi punya kontak erat, dengan menggunakan artificial intelligence bisa dideteksi lebih awal,” paparnya.
Kapasitas portable x-ray dengan AI membuat proses skrining dapat dilakukan lebih cepat, fleksibel, dan menjangkau wilayah yang sulit dijangkau pemeriksaan laboratorium.
Metode ini dinilai menjadi pelengkap penting dalam strategi eliminasi TBC.
Mengingat Indonesia juga masih menjadi salah satu negara dengan beban TBC tertinggi di dunia.
AI Tidak Boleh Jadi Dasar Pengobatan Mandiri
Meski potensinya besar, Dante menegaskan bahwa teknologi AI dalam kesehatan tidak bisa digunakan masyarakat secara bebas tanpa supervisi.
“Tidak semua informasi AI bisa diimplementasikan secara langsung oleh pasien. Ini harus ada regulasinya,” ungkapnya.
Hasil analisis AI hanya dapat dijadikan referensi awal oleh tenaga kesehatan, bukan alat penentu pengobatan.
Penegakan diagnosis tetap harus melalui pemeriksaan dokter, tes laboratorium, dan prosedur klinis lainnya.
Selain itu, perlu juga regulasi khusus untuk penggunaan AI medis, agar informasi tidak disalahgunakan ataupun menimbulkan kesimpangsiuran oleh masyarakat.
Dengan perpaduan antara tenaga kesehatan dan teknologi, pemerintah optimistis skrining TBC dapat semakin masif dan efektif.
AI dianggap menjadi salah satu alat pendukung yang mampu mempercepat pencarian kasus.
Terutama di daerah-daerah padat penduduk dan wilayah dengan akses pemeriksaan rendah.
Namun, Kemenkes kembali menegaskan bahwa teknologi hanyalah pendukung, bukan pengganti tenaga kesehatan profesional.











