Bencana Alam Terjadi Silih Berganti di Indonesia, Mitigasi dan Peringatan Dini Terus Diperkuat
adainfo.id – Indonesia kembali menghadapi tahun penuh dinamika alam. Dari gempa bumi hingga cuaca ekstrem, 2025 menjadi salah satu periode dengan intensitas bencana tertinggi.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat 850 kali gempa yang dirasakan masyarakat di berbagai wilayah, menandakan aktivitas tektonik masih sangat tinggi di negeri cincin api ini.
Kepala BMKG, Teuku Faisal Fathani, menegaskan bahwa kondisi geografis dan geotektonik Indonesia membuatnya selalu berada dalam kondisi rawan terhadap beragam bencana alam.
Ia menjelaskan bahwa letak Indonesia di antara tiga lempeng aktif dunia menjadi faktor utama tingginya potensi gempa dan tsunami.
“Negara kita berada di pertemuan tiga lempeng aktif dunia dengan 13 segmen megathrust yang sebagian belum melepaskan energi tektoniknya. Ini berarti potensi gempa besar masih mungkin terjadi kapan saja,” papar Faisal dikutip Kamis (06/11/2025).
Tingginya Aktivitas Seismik dan Risiko Megathrust
Data BMKG menunjukkan bahwa dari 850 gempa yang tercatat sepanjang 2025.
Meski sebagian besar gempa tersebut tidak memicu tsunami, BMKG menilai bahwa aktivitas seismik ini merupakan sinyal perlunya peningkatan kesiapsiagaan masyarakat dan pemerintah daerah.
Fenomena ini berkaitan erat dengan segmen megathrust. Sebagian segmen tersebut belum melepaskan energi tektonik secara penuh.
Dengan demikian, potensi terjadinya gempa besar berpotensi tsunami masih menjadi ancaman nyata yang harus terus diwaspadai.
Cuaca Ekstrem Mendominasi Bencana Hidrometeorologi
Selain gempa, bencana hidrometeorologi menjadi tantangan besar yang dihadapi Indonesia sepanjang tahun.
Berdasarkan laporan BMKG, 65 persen kejadian bencana di 2025 disebabkan oleh hujan lebat, diikuti oleh 27 persen angin kencang.
Selanjutnya, kejadian puting beliung dan hujan es yang paling sering terjadi di Jawa Barat.
Perubahan pola cuaca ekstrem ini erat kaitannya dengan anomali iklim global yang memengaruhi sirkulasi udara di wilayah tropis.
Intensitas hujan ekstrem meningkat tajam pada awal dan akhir tahun, sementara pada pertengahan tahun, sejumlah daerah justru mengalami kekeringan panjang.
Fenomena ini menunjukkan bahwa tantangan kita tidak hanya berasal dari bumi yang berguncang, tetapi juga dari langit yang berubah cepat.
Kualitas Udara Menurun hingga Kolaborasi Lintas Instansi
Selain bencana geologis dan meteorologis, penurunan kualitas udara juga menjadi perhatian serius.
Berdasarkan pemantauan data PM2.5 di 27 lokasi pemantauan nasional, DKI Jakarta, Sumatera Utara, dan Lampung mencatat jumlah hari dengan udara tidak sehat terbanyak.
Jakarta bahkan menempati peringkat pertama dengan sekitar 100 hari udara tidak sehat sepanjang 2024.
Kombinasi antara peningkatan aktivitas kendaraan, pembakaran biomassa, dan kondisi meteorologi yang stagnan memperburuk kualitas udara perkotaan.
Data kualitas udara ini bukan hanya catatan statistik, melainkan peringatan bagi seluruh pihak untuk memperkuat upaya pengendalian polusi dan pengelolaan lingkungan perkotaan.
Selain itu, BMKG menegaskan bahwa perannya berada di hulu sistem penanganan bencana, dengan menyediakan informasi dan peringatan dini yang menjadi dasar bagi lembaga lain seperti BNPB dan BASARNAS dalam melakukan aksi cepat di lapangan.
“Kami memperkuat sistem deteksi dini melalui pengadaan radar cuaca, radar maritim, serta sistem pengolahan data berbasis High Performance Computing (HPC),” terangnya.
Dengan teknologi HPC, BMKG mampu memproses data atmosfer dan geofisika secara lebih cepat dan akurat, memungkinkan prediksi yang lebih tepat dalam waktu singkat.
Operasi Modifikasi Cuaca Jadi Upaya Pengendalian
Selain sistem peringatan dini, BMKG terus melaksanakan Operasi Modifikasi Cuaca (OMC) sebagai langkah proaktif untuk mengurangi dampak bencana hidrometeorologi.
OMC dilakukan tidak hanya untuk mengendalikan hujan ekstrem di kawasan perkotaan padat seperti Jabodetabek.
Akan tetapi juga untuk memperkuat curah hujan di daerah yang mengalami kekeringan.
Sepanjang tahun 2025, BMKG telah melaksanakan 52 hari operasi OMC dengan hasil yang cukup signifikan.
Operasi ini berhasil meningkatkan curah hujan hingga 73 persen di Sumatera dan Kalimantan Selatan.
Kemudian juga menurunkan curah hujan sebesar 37 persen di wilayah Jabodetabek yang rawan genangan.
Mitigasi dan Edukasi Publik Jadi Prioritas
Mitigasi bencana tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi juga pada peningkatan literasi masyarakat dalam memahami risiko alam di sekitar mereka.
Masyarakat harus dilatih untuk merespons peringatan dini secara cepat dan tepat.
Dengan peran strategisnya di hulu sistem kebencanaan nasional, BMKG menegaskan komitmennya untuk menjaga ketahanan Indonesia.
Hal itu dilakukan melalui kolaborasi lintas lembaga untuk memastikan setiap peringatan dini sampai tepat waktu kepada masyarakat.











