Budaya Kerja dalam Lingkungan Kampus Era Media Digital: Studi Kasus di Politeknik LP3I Jakarta Cabang Depok

Politeknik LP3I Jakarta Cabang Depok

Media digital telah membawa transformasi besar dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya, termasuk dalam konteks pendidikan tinggi. Kampus sebagai ruang akademik tidak lagi terbatas pada interaksi tatap muka. Politeknik LP3I Jakarta cabang Depok sebagai institusi vokasional turut mengalami transformasi budaya kerja akibat penetrasi media digital yang masif.

Budaya kerja di lingkungan kampus tidak hanya mencerminkan sistem nilai institusi, tetapi juga membentuk karakter mahasiswa dan tenaga pendidik dalam merespons perubahan global. Media digital menjadi medium komunikasi utama, memediasi interaksi antara mahasiswa, dosen, dan manajemen kampus. Namun, perubahan ini tidak terlepas dari tantangan komunikasi antar budaya yang terjadi di antara generasi yang berbeda, latar belakang sosial, serta perbedaan persepsi terhadap penggunaan teknologi.

Teori Komunikasi Antar Budaya

Komunikasi antar budaya merupakan studi tentang bagaimana orang dari latar belakang budaya berbeda berinteraksi. Menurut William B. Gudykunst & Young Yun Kim (2003), komunikasi antar budaya tidak hanya terjadi antara orang dari negara berbeda, tetapi juga antar individu dari subkultur yang berbeda, seperti generasi digital natives dan digital immigrants.

Gudykunst mengembangkan Anxiety/Uncertainty Management Theory (AUM), yang menjelaskan bahwa komunikasi antar budaya dapat efektif jika kecemasan dan ketidakpastian dikelola dengan baik. Dalam konteks kampus, mahasiswa dan dosen berasal dari latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya digital yang berbeda, sehingga membutuhkan keterampilan komunikasi yang adaptif.

Teori Adaptasi Budaya – Kim’s Integrative Theory of Cross-Cultural Adaptation

Menurut Kim (2001), individu dalam lingkungan baru akan mengalami proses adaptasi yang dinamis dan berkelanjutan. Dalam konteks LP3I Depok, media digital menghadirkan lingkungan budaya kerja baru yang menuntut adaptasi, baik dari sisi kognitif, afektif, maupun perilaku.

Teori Media Baru (New Media Theory)

Menurut Lev Manovich (2001), media digital menciptakan bentuk komunikasi baru yang tidak linier, interaktif, dan multimodal. Di kampus, ini tercermin dalam penggunaan e-learning, WhatsApp grup, Google Classroom, dan media sosial sebagai sarana koordinasi, penyampaian tugas, dan pembentukan identitas profesional.

Teori Budaya Organisasi

Menurut Edgar Schein (2010), budaya organisasi terdiri dari nilai dasar, norma, dan praktik yang diterima oleh anggota organisasi. Media digital membentuk sub-budaya baru dalam organisasi kampus, terutama dalam hal etika kerja, respon terhadap tugas, dan gaya komunikasi.

Transformasi Budaya Kerja di Lingkungan Kampus

Budaya kerja di LP3I Depok sebelum era digital banyak berpusat pada kehadiran fisik, komunikasi formal, dan struktur birokrasi konvensional. Namun, pandemi COVID-19 mempercepat transisi ke budaya kerja digital: kerja jarak jauh, fleksibilitas waktu, penggunaan teknologi kolaboratif, dan komunikasi daring menjadi standar baru.

Mahasiswa kini terbiasa mengakses materi pembelajaran melalui Google Classroom, mengumpulkan tugas via email, berdiskusi melalui Telegram atau WhatsApp, dan menghadiri kuliah via Zoom atau Google Meet. Ini menciptakan budaya kerja yang:

  • Lebih fleksibel tapi menuntut kemandirian tinggi
  • Menekankan literasi digital
  • Memungkinkan komunikasi lintas waktu dan ruang

Komunikasi Antar Generasi di Ruang Digital

Terdapat tantangan komunikasi antar budaya yang bersumber dari perbedaan generasi:

  • Gen Z (Mahasiswa) memiliki karakter digital yang native, multitasking, visual. Mereka seringkali menggunakan pendekatan informal, mengandalkan emoji dan meme
  • Baby Boomer/Gen X (Sebagian Dosen) memiliki karakter digital yang immigrant, formal, berstruktur. Mereka sering kali kurang adaptif terhadap platform digital, sering mengalami kesenjangan teknis

Perbedaan ini menciptakan “cultural gap” yang memengaruhi efektivitas kerja. Misalnya, mahasiswa yang terbiasa mengirim pesan cepat via WhatsApp cenderung kurang memahami etika formalitas komunikasi akademik. Sementara dosen menuntut gaya komunikasi yang terstruktur dan sopan.

Melalui teori AUM Gudykunst, dapat dipahami bahwa keberhasilan komunikasi antar generasi ini sangat tergantung pada kemampuan mengelola kecemasan (anxiety) dan ketidakpastian (uncertainty) yang muncul dalam interaksi digital.

Adaptasi Budaya Melalui Media Digital

Kim (2001) menyatakan bahwa proses adaptasi terjadi secara bertahap, dimulai dari “shock budaya” hingga akhirnya mencapai akomodasi. Di LP3I Depok, mahasiswa dan dosen mengalami perubahan signifikan dalam cara mereka:

  • Menyampaikan instruksi atau informasi
  • Menyelesaikan tugas dan tanggung jawab
  • Membangun koneksi interpersonal

Mahasiswa yang dulunya mengandalkan kehadiran fisik, kini harus aktif mengikuti perkembangan informasi di grup digital. Sebagian mahasiswa mengakui mengalami “overload informasi”, namun lambat laun mengembangkan strategi seleksi informasi dan manajemen waktu digital.

Konvergensi Budaya: Pembentukan Budaya Hybrid

Media digital telah menciptakan bentuk budaya kerja hybrid: gabungan antara budaya kerja tradisional dan digital. Hal ini mencakup:

  • Pertemuan formal via Zoom, tapi dengan interaksi informal melalui meme di grup WhatsApp
  • Pengumpulan tugas melalui platform daring, tetapi tetap ada evaluasi tatap muka
  • Penugasan kolaboratif dilakukan melalui Google Docs atau Miro Board

Budaya hybrid ini menunjukkan dinamika komunikasi antar budaya yang tidak hanya berlangsung antar etnis atau bangsa, tetapi juga antar “sub-budaya digital” di kampus.

Perubahan Nilai dan Norma Kerja

Beberapa perubahan budaya kerja akibat media digital di LP3I Depok antara lain:

  • Aspek komunikasi; menggunakan metode tatap muka langsung sebagai budaya lama berubah dengan menggunakan media sosial, emai, dan grup chat sebagai budaya baru.
  • Aspek penilaian kerja; menggunakan metode berdasarkan presensi fisik sebagai budaya lama berubah menjadi metode yang berdasarkan kecepatan dan efektivitas respon digital sebagai budaya baru.
  • Aspek etika; cenderung memiliki formalitas tinggi sebagai budaya lama berubah menjadi informal dan multitasking.
  • Aspek jam kerja; pada budaya lama jam kampus cenderung tetap sedangkan pada budaya baru, jam kampus lebih fleksibel serta tidak terbatas ruang dan waktu.

Namun, tidak semua perubahan bersifat positif. Terdapat juga risiko seperti:

  • Menurunnya kedekatan emosional antarmahasiswa dan dosen
  • Tingginya risiko misinterpretasi pesan digital
  • Budaya kerja multitasking yang dapat menurunkan fokus dan kualitas kerja

Solusi Adaptif: Penguatan Kompetensi Antar Budaya

Agar transformasi budaya kerja ini berjalan optimal, diperlukan penguatan kompetensi komunikasi antar budaya, seperti:

  • Pelatihan etika komunikasi digital untuk mahasiswa dan dosen
  • Pemanfaatan platform digital yang user-friendly dan inklusif
  • Pengembangan literasi digital antar generasi
  • Dialog terbuka antar perwakilan mahasiswa dan dosen untuk menyepakati norma kerja bersama

Transformasi budaya kerja akibat media digital di kampus LP3I Jakarta cabang Depok merupakan keniscayaan dalam era revolusi digital. Melalui pendekatan teori komunikasi antar budaya, kita memahami bahwa perubahan ini bukan hanya soal teknologi, tetapi juga tentang adaptasi nilai, norma, dan cara berkomunikasi antar individu dengan latar belakang berbeda.

Peran media digital sebagai penghubung utama komunikasi di kampus telah membentuk budaya kerja baru yang lebih fleksibel namun kompleks. Perbedaan generasi, preferensi teknologi, dan persepsi terhadap etika kerja menjadi tantangan yang hanya dapat diatasi melalui peningkatan kompetensi komunikasi antar budaya, adaptasi yang dinamis, serta penguatan nilai-nilai kerja kolaboratif berbasis empati digital.

Transformasi ini membuka peluang besar bagi kampus vokasional seperti LP3I untuk membentuk lulusan yang tidak hanya siap kerja secara teknis, tetapi juga adaptif dalam kultur kerja digital global.

 

 

Penulis

Dinda Dwimanda

Mahasiswi Magister Ilmu Komunikasi, Universitas Sahid Jakarta

BSP GROUP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *