Cinta Dua Budaya

Pernikahan antara pria Minangkabau dengan wanita Jawa (ilustrasi) (foto: chatGPT, prompt by adainfo.id)

Perkawinan lintas budaya bukanlah sekadar penyatuan dua hati, tetapi juga dua cara pandang, dua cara bicara, dan dua sistem nilai yang bisa sangat berbeda.

Salah satu pasangan unik yang sering dijumpai di Indonesia adalah antara pria Minangkabau (Padang) dan wanita Jawa. Kedengarannya romantis, tapi realitanya tidak selalu semudah itu.

Budaya Minang dan budaya Jawa bagaikan dua kutub yang berbeda dalam soal komunikasi.

Pria Minang tumbuh dalam tradisi yang menekankan keberanian berbicara, ketegasan dalam mengambil keputusan, dan kecakapan berdiplomasi.

Mereka terbiasa berbicara langsung dan tanpa basa-basi. Sebaliknya, wanita Jawa hidup dalam budaya yang menjunjung tinggi tata krama, kelembutan, dan menghindari konflik.

Dalam berkomunikasi, mereka lebih suka menyampaikan pesan dengan cara yang halus dan penuh pertimbangan.

Bukan berarti satu lebih baik dari yang lain, hanya saja perbedaan inilah yang sering memicu kesalahpahaman di rumah tangga.

Ketika pria Minang bilang, “Jangan boros!” wanita Jawa bisa merasa diserang. Sebaliknya, saat wanita Jawa diam karena kecewa, pria Minang bisa saja menafsirkan itu sebagai tidak ada masalah.

Ketika Bahasa Tidak Lagi Sama

Menurut teori komunikasi antarbudaya dari Edward T. Hall, budaya Minang termasuk dalam kategori low-context—komunikasinya jelas, langsung, dan terbuka.

Sementara budaya Jawa masuk dalam kategori high-context, di mana banyak pesan disampaikan secara implisit lewat sikap, isyarat, atau bahkan diam.

Perbedaan inilah yang menjadi titik krusial dalam komunikasi suami-istri lintas budaya. Hal-hal sederhana seperti cara menyampaikan saran atau menanggapi konflik bisa berubah jadi sumber kesalahpahaman.

Jika tak dikelola dengan baik, komunikasi bisa macet. Padahal, rumah tangga sehat hanya bisa berdiri di atas fondasi komunikasi yang kuat.

Hierarki, Peran Gender, dan Ekspektasi

Dalam masyarakat Minang, meskipun bersifat matrilineal, pria tetap memegang peran utama dalam pengambilan keputusan.

Mereka terbiasa memimpin diskusi bahkan di ruang domestik. Sementara wanita Jawa cenderung lebih kolektif dan demokratis dalam berdiskusi—mengutamakan keharmonisan dan menghindari pertentangan frontal.

Konflik bisa muncul ketika pria merasa tidak dihargai karena sikap diam pasangannya, sementara wanita merasa ditekan karena tidak diberi ruang menyampaikan pendapat.

Perbedaan ekspektasi terhadap peran pasangan pun sering jadi batu sandungan—pria mengharapkan istri patuh dan fokus domestik, sementara istri ingin diajak diskusi sebagai mitra setara.

Dari Tantangan ke Solusi: Kompromi Budaya

Namun, bukan berarti semua pasangan lintas budaya ini akan gagal. Justru banyak di antara mereka yang sukses menyatukan dua budaya berbeda menjadi harmoni baru. Bagaimana caranya?

  1. Belajar Menyesuaikan Konteks Komunikasi Pria Minang bisa mulai belajar mengenali pesan-pesan tersirat dari pasangannya. Sementara wanita Jawa perlu belajar menyampaikan perasaan secara lebih terbuka dan eksplisit. Menyesuaikan diri bukan berarti menghapus budaya sendiri, tapi membuka ruang pemahaman terhadap budaya pasangan.
  2. Empati Bukan Sekadar Perasaan, Tapi Juga Kultural Pasangan yang berhasil biasanya saling berbagi cerita tentang kebiasaan keluarga masing-masing, filosofi hidup, dan harapan. Dari situlah tumbuh empati kultural—kemampuan memahami bukan hanya isi pesan, tetapi juga dari mana pesan itu lahir.
  3. Buat Aturan Main Sendiri Pasangan bisa membuat “perjanjian diskusi” rumah tangga yang disepakati bersama. Misalnya, tidak saling memotong saat bicara, menyediakan waktu rutin untuk diskusi keluarga, atau menggunakan humor saat menyampaikan kritik.
  4. Jangan Ragu Minta Bantuan Profesional Jika konflik makin sering muncul, pasangan bisa mencari bantuan konselor pernikahan, terutama yang memahami dinamika komunikasi antarbudaya. Terkadang, pihak ketiga justru bisa membantu menjembatani perbedaan lebih netral.

Budaya Bukan Tembok, Tapi Jendela

Pasangan lintas budaya sering kali dihadapkan pada tekanan dari dalam dan luar—mulai dari perbedaan bahasa, nilai, hingga ekspektasi keluarga besar.

Namun, bila dilihat dari sudut yang positif, justru dari sinilah kekuatan itu muncul. Mereka yang berhasil menavigasi komunikasi antarbudaya dalam rumah tangga, biasanya memiliki tingkat toleransi dan pemahaman yang jauh lebih luas.

Seperti kata pepatah Minang, “Alam takambang jadi guru”—alam terbentang menjadi guru.

Dalam rumah tangga lintas budaya, pasangan belajar bukan hanya dari pasangan, tapi dari pertemuan dua alam yang berbeda. Sementara dalam filosofi Jawa, “rukun agawe santosa”—kerukunan membawa kekuatan.

Jika keduanya disatukan, pasangan lintas budaya bisa menjadi teladan baru tentang bagaimana cinta bukan hanya urusan rasa, tapi juga ruang belajar untuk tumbuh bersama dalam perbedaan.

 

BSP GROUP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *