Dedi Mulyadi Larang Hukuman Fisik, Begini Respon Disdik Depok

YAD
Ilustrasi aturan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi terkait larangan hukuman fisik untuk anak sekolah. (Foto: Pemprov Jabar)

adainfo.id – Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi resmi mengeluarkan surat edaran yang melarang seluruh sekolah di wilayahnya menerapkan hukuman fisik kepada siswa.

Langkah ini disebut sebagai bentuk komitmen pemerintah provinsi dalam membangun lingkungan pendidikan yang lebih manusiawi dan bebas kekerasan.

Kebijakan tersebut disambut positif oleh berbagai pihak, termasuk Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Depok.

Disdik Kota Depok menilai surat edaran tersebut sebagai langkah tepat dalam mendorong pendidikan berkarakter tanpa kekerasan.

Hukuman Harus Bersifat Mendidik, Bukan Melukai

Kepala Bidang Pembinaan SMP Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Depok, Muhammad Yusuf, mengapresiasi kebijakan Gubernur Dedi Mulyadi.

Menurutnya, kebijakan tersebut sejalan dengan semangat pendidikan modern yang menekankan aspek pembinaan dan empati terhadap peserta didik.

“Kebijakan gubernur, tentunya saya setuju dengan apa yang disampaikan oleh Pak Dedi Mulyadi selaku Gubernur Jawa Barat,” tutur Muhammad Yusuf dikutip Rabu (12/11/2025).

Ia menjelaskan, guru di sekolah seharusnya memberikan pendekatan positif ketika menghadapi siswa yang melakukan pelanggaran.

Bukan dengan hukuman fisik yang justru dapat meninggalkan trauma dan memperburuk hubungan antara guru dan murid.

Ketika berbicara hukuman fisik, yang dikhawatirkan itu tidak bisa membedakan antara emosional guru atau betul-betul mendidik anak. Karena itu dua hal yang berbeda.

Guru perlu memahami bahwa setiap pelanggaran yang dilakukan siswa memiliki sebab yang berbeda.

Oleh karena itu, bentuk hukuman harus mempertimbangkan aspek psikologis dan pembinaan karakter, bukan semata-mata memberi efek jera.

Hukuman Edukatif Jadi Alternatif, Libatkan Orang Tua dan Sekolah

Lebih lanjut, Yusuf menekankan pentingnya hukuman edukatif sebagai pengganti tindakan fisik di sekolah.

Ia mencontohkan, jika siswa kedapatan melakukan pelanggaran seperti merokok, maka guru atau pihak sekolah perlu mengajak orang tua untuk terlibat langsung dalam proses pembinaan.

“Misalnya ketika siswa ketahuan merokok, pastinya sekolah memiliki aturan tersendiri. Atau bisa juga pihak orang tua dipanggil, dikasih tahu sanksi beratnya apa. Jadi, orangtua diminta untuk bersama-sama atasi anak yang merokok itu,” paparnya.

Kolaborasi antara sekolah dan orang tua menjadi kunci utama dalam mengatasi perilaku menyimpang siswa.

Ia menilai, dengan komunikasi yang baik, siswa dapat lebih memahami konsekuensi tindakannya tanpa harus mengalami kekerasan fisik.

Ada baiknya hukuman yang diberikan kepada siswa itu, adalah hukuman yang mendidik atau hukuman yang mengubah anak berperilaku menjadi lebih baik.

Sekolah Ramah Anak dan Tanpa Kekerasan

Yusuf juga menyoroti bahwa zaman sudah berubah. Hukuman fisik yang dahulu dianggap wajar kini tidak lagi relevan di era pendidikan yang menjunjung tinggi hak asasi anak.

“Sekarang kan zamannya sudah berbeda. Sebaiknya hukuman itu yang mendidik dan mengubah anak menjadi lebih baik. Karena setiap pelanggaran anak pasti ada penyebabnya,” ujar Yusuf.

Para guru juga perlu terus mengembangkan kemampuan pedagogis dan emosional, agar dapat menangani perilaku siswa dengan cara yang tepat, sabar, dan inspiratif.

Dengan demikian, hubungan antara guru dan murid akan menjadi lebih kuat, didasari rasa saling menghormati, bukan rasa takut.

Kebijakan larangan hukuman fisik ini diharapkan menjadi momentum bagi sekolah-sekolah di seluruh Jawa Barat untuk memperkuat pendekatan pembelajaran berbasis karakter dan kasih sayang.

BSP GROUP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *