Desa Ambulu Terancam Hilang dari Peta
adainfo.id – Desa Ambulu, yang terletak di ujung utara Kecamatan Losari, Kabupaten Cirebon, kini berada di ambang kehancuran ekologis.
Tiap hari, banjir rob datang tak kenal musim, menenggelamkan tambak, rumah, dan harapan warganya. Di desa yang dulunya kaya hasil laut ini, kini daratan makin menyempit, air laut makin mendekat.
Ancaman tenggelam bukan lagi wacana, melainkan kenyataan yang pelan-pelan mencabut akar kehidupan.
Moh. Tatang Ali, warga Ambulu, hanya bisa menunjuk lahan tambaknya yang kini telah berubah jadi kolam asin tanpa hasil panen.
Dulu, ikan bandeng dan udang memenuhi jaringnya. Kini, jangankan panen, menebar benih pun tak mungkin lagi.
“Tambak sudah tenggelam. Yang dulu jadi sumber hidup, sekarang malah jadi ancaman,” katanya dengan wajah pasrah, Rabu (2/7/2025).
Air laut yang merembes setiap hari telah mengubah pola hidup warga. Jalan desa nyaris selalu tergenang. Bahkan untuk berjalan ke masjid, ke sekolah, hingga ke warung, warga harus menapaki air yang tak kunjung surut. Beberapa rumah yang berada di dataran rendah sudah tak lagi layak huni.
Dari Lumbung Pesisir Menjadi Bayang-Bayang Simonet
Ambulu dulunya adalah lumbung pesisir. Selain tambak, sebagian besar penduduk menggantungkan hidup dari perikanan tangkap dan olahan hasil laut.
Kini, sebagian besar aktivitas ekonomi lumpuh. Banyak yang akhirnya merantau, sebagian lainnya bertahan seadanya.
Warga membandingkan nasib mereka dengan Dusun Simonet, Pekalongan, yang telah lebih dulu hilang akibat abrasi dan naiknya muka air laut. Nama Simonet kini hanya tersisa di ingatan. Ambulu dikhawatirkan akan menyusul jejak serupa.
“Kami tidak ingin Ambulu bernasib seperti Simonet. Tapi tanpa bantuan, itu tinggal menunggu waktu,” ujar Tatang.
Kepala Desa: Ini Darurat Nasional, Bukan Lagi Soal Desa
Kepala Desa Ambulu, Sunaji, menyampaikan bahwa situasi ini harus menjadi alarm bagi semua pihak, bukan hanya pemerintah daerah, tetapi juga pusat.
Ia menilai pendekatan pemerintah sejauh ini terlalu administratif: survei datang, dokumen dibuat, namun tindakan belum tampak.
“Kami butuh tanggul, bukan hanya kuesioner. Kami butuh konservasi pantai, bukan sekadar janji. Ini darurat nasional,” tegasnya.
Menurut Sunaji, Ambulu adalah satu dari puluhan desa pesisir di utara Jawa yang menghadapi ancaman serupa. Jika satu desa saja tenggelam tanpa intervensi, maka akan menimbulkan efek domino di desa-desa sekitarnya.
Meski setiap hari air laut masuk ke halaman rumah, bahkan ke ruang tamu, warga tetap bertahan. Mereka membangun panggung kayu sebagai lantai tambahan, meninggikan dinding, dan beradaptasi sebisanya.
Di sekolah dasar setempat, kegiatan belajar-mengajar kadang harus dilakukan sambil mengangkat kaki, karena lantai ruang kelas digenangi air.
Seorang ibu rumah tangga, Nur Hasanah, mengatakan ia harus mengantar anaknya sekolah dengan menggulung celana dan memegangi sepatu anaknya agar tidak basah. Namun ia tak pernah berpikir untuk pindah dari Ambulu.
“Ini tanah kami. Ini tanah leluhur kami. Kami ingin tetap di sini, asalkan ada harapan,” ujarnya lirih.
Krisis Iklim dan Keadilan Sosial
Perubahan iklim global jelas menjadi penyebab utama naiknya muka air laut. Namun, warga pesisir seperti di Ambulu adalah korban langsung dari krisis ini. Ironisnya, mereka adalah kelompok yang paling sedikit berkontribusi terhadap emisi karbon, tetapi paling dahulu menerima dampaknya.
Desa Ambulu adalah wajah ketimpangan keadilan iklim. Di satu sisi, proyek-proyek pembangunan berorientasi darat terus digenjot. Di sisi lain, desa pesisir yang berpuluh tahun menopang pangan laut nasional kini nyaris dilupakan.
“Kalau ini bukan ketidakadilan, lalu apa?” kata Joko Priyono, pegiat lingkungan pesisir yang aktif mendampingi warga Ambulu.
Tantangan Infrastruktur dan Perubahan Tata Ruang
Menurut Joko, solusi jangka panjang adalah pembangunan infrastruktur tanggul laut permanen dan normalisasi kawasan tambak berbasis adaptasi perubahan iklim. Namun hingga kini, keterlibatan pemerintah pusat dalam skema besar itu masih minim.
Ia juga menyoroti perlunya revisi tata ruang daerah yang harus memasukkan skenario kenaikan air laut dalam rencana pembangunan.
“Kalau daerah pesisir tidak masuk prioritas, maka desa-desa seperti Ambulu hanya akan menjadi nama-nama yang hilang dari peta,” tambahnya.
Di tengah segala keterbatasan, semangat warga untuk mempertahankan desanya tak padam. Gotong royong masih menjadi cara mereka bertahan. Namun jelas, mereka tak bisa terus-menerus bertarung sendirian melawan laut yang terus naik.
Jika pemerintah ingin membuktikan hadir untuk seluruh rakyat Indonesia—terutama yang tinggal di garis terluar dan paling terdampak—maka Ambulu adalah ujian nyata. Bukan soal retorika, tetapi soal komitmen terhadap peradaban pesisir.











