Desakkan Usut Tuntas Kasus Longsor Gunung Kuda Menguat

KIM
Ketua Gerakan Masyarakat Perhutanan Sosial Kabupaten Cirebon, Baharudin saat dikonfirmasi, Senin (16/06/25) (foto: adainfo.id)

adainfo.id – Gelombang desakan untuk mengungkap secara tuntas tragedi longsor maut di kawasan tambang Gunung Kuda, Desa Cipanas, Kecamatan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon, terus menguat.

Masyarakat luas, aktivis lingkungan, hingga tokoh perhutanan sosial, menuntut kejelasan dan pertanggungjawaban hukum dari seluruh pihak yang terlibat dalam aktivitas pertambangan yang diduga menyimpan banyak pelanggaran.

Insiden yang merenggut nyawa ini tidak hanya menimbulkan duka mendalam, tetapi juga membuka kembali luka lama dari persoalan tambang rakyat yang selama ini luput dari pengawasan serius.

Banyak pihak meyakini, tragedi ini bukan semata karena faktor alam, melainkan konsekuensi dari kelalaian sistemik.

Sudah Dipasang Police Line, Tapi Tambang Tetap Beroperasi

Baharudin, Ketua Gerakan Masyarakat Perhutanan Sosial Kabupaten Cirebon, menjadi salah satu pihak yang paling vokal dalam menyoroti peristiwa ini. Ia menyatakan bahwa lokasi tambang Gunung Kuda sudah diberi tanda bahaya sejak empat bulan lalu oleh aparat kepolisian. Namun, aktivitas penambangan justru tetap berjalan seperti biasa.

“Empat bulan lalu lokasi ini sudah dipasangi police line, artinya potensi bahaya sudah diketahui. Tapi faktanya aktivitas tambang tetap berjalan. Ini bentuk pembiaran yang berujung pada tragedi,” tegas Baharudin.

Fakta bahwa kegiatan tetap berlangsung setelah peringatan resmi dari pihak berwenang, menurut Bahar, menjadi indikasi kuat adanya kelalaian atau bahkan pembiaran yang disengaja.

Izin Diperpanjang Meski Kondisi Geografis Tak Layak

Yang semakin menyesakkan, lanjut Bahar, adalah kenyataan bahwa izin tambang di kawasan tersebut terus diperpanjang selama tiga periode. Padahal secara geografis, lokasi tersebut sudah tidak lagi layak untuk ditambang karena struktur tanah yang curam, labil, dan sangat berbahaya bagi keselamatan pekerja.

“Teknik penambangan mereka salah besar. Sistem under cut yang dipakai sangat berbahaya. Ini sudah menjadi bom waktu yang akhirnya meledak,” ungkapnya.

Menurut Bahar, teknik penambangan under cut — yang merusak lapisan dasar sambil menyisakan permukaan menggantung — tidak cocok diterapkan di medan Gunung Kuda yang curam dan memiliki kemiringan ekstrem. Risiko longsor, lanjutnya, sudah menjadi keniscayaan dalam teknik semacam itu jika tidak dikontrol secara ketat.

Dugaan Kongkalikong Perizinan dan Lemahnya Pengawasan

Sorotan tajam juga diarahkan pada proses pemberian izin tambang dan lemahnya pengawasan dari dinas terkait. Baharudin menduga kuat adanya unsur kongkalikong yang memungkinkan aktivitas tambang tetap berjalan meski semua indikator bahaya sudah terpampang nyata.

“Mengapa izin terus diperpanjang? Kenapa pengawasan lemah? Dugaan adanya kongkalikong tidak bisa diabaikan. Itu semua harus diungkap aparat penegak hukum,” tandasnya.

Bahar meminta agar aparat hukum tidak berhenti pada memproses perusahaan tambang dan operator lapangan, tetapi juga menggali peran pejabat yang memberikan dan memperpanjang izin, termasuk instansi yang seharusnya bertanggung jawab dalam pengawasan.

Bukan Kasus Pertama: Tragedi Pernah Terjadi di 2015

Tragedi di Gunung Kuda ini sejatinya bukan kejadian pertama. Pada 2015, kawasan tambang yang sama juga menelan korban jiwa akibat longsor. Baharudin menilai, ketiadaan evaluasi dan tindakan tegas sejak insiden tersebut menjadi cikal bakal terulangnya musibah mematikan ini.

“Penutupan total itu penting. Tapi jangan berhenti di situ. Proses hukum harus berjalan sampai siapa pun yang terlibat bertanggung jawab,” ucapnya.

Apresiasi untuk Pemprov Jabar, Tapi Hukum Harus Jalan

Langkah cepat Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang langsung menutup total tambang Gunung Kuda pasca insiden dinilai sebagai langkah awal yang positif. Namun, banyak kalangan meyakini penutupan bukanlah solusi permanen jika tidak disertai penegakan hukum yang adil dan transparan.

“Penelusuran aliran izin, pengawasan dinas, serta tanggung jawab pengelola tambang menjadi kunci utama pembenahan agar tragedi serupa tak terulang,” ujar Baharudin.

Desakan ini mencerminkan kekecewaan masyarakat terhadap sistem pengawasan tambang rakyat yang dinilai selama ini lebih longgar dan rawan penyimpangan.

Desakan dari Aktivis dan Masyarakat Kian Meluas

Suara keras untuk usut tuntas tragedi Gunung Kuda kini tidak hanya datang dari kalangan aktivis. Masyarakat sekitar dan warganet turut menuntut proses hukum berjalan hingga tuntas, dan berharap tidak ada pihak yang kebal hukum dalam kasus ini.

Bahkan sebagian besar keluarga korban secara terbuka meminta presiden dan lembaga pusat turun tangan agar proses pengusutan kasus ini tidak berhenti di tataran lokal.

Gunung Kuda: Simbol Kegagalan Regulasi Pertambangan Rakyat

Peristiwa ini telah menjadi simbol baru kegagalan dalam regulasi dan tata kelola pertambangan rakyat di Indonesia. Lemahnya sinergi antara kebijakan perizinan, pengawasan lapangan, dan perlindungan terhadap pekerja tambang, membuka ruang terjadinya penyimpangan yang mengancam nyawa.

Kini, seluruh mata tertuju pada aparat penegak hukum dan pemerintah. Publik menanti langkah konkret dan transparan: mulai dari penelusuran dokumen izin, pemanggilan pihak terkait, audit teknik pertambangan, hingga pengungkapan peran aktor-aktor di balik layar yang selama ini bersembunyi di balik legalitas tambang rakyat.

BSP GROUP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *