DPR Soroti Rokok Ilegal, Penerimaan Negara Bisa Lebih Besar
adainfo.id – Wakil Ketua Komisi XI DPR, Mohamad Hekal Bawazier, meminta pemerintah mengambil langkah serius untuk mengatasi peredaran rokok ilegal di Indonesia.
Menurutnya, masalah ini bukan hanya soal aturan hukum, melainkan menyangkut keberlangsungan industri hasil tembakau (IHT) yang selama ini menjadi salah satu penopang utama penerimaan negara.
Hekal menegaskan, industri tembakau nasional memiliki peran besar sebagai sektor padat karya dan penyumbang penerimaan negara melalui Cukai Hasil Tembakau (CHT).
Ia menilai, maraknya peredaran rokok ilegal, termasuk produk dari luar negeri, membuat industri dalam negeri semakin tertekan.
“Kalau menurut saya industri tembakau nasional akan kita bantu melalui penertiban rokok ilegal. Maraknya rokok ilegal, termasuk rokok dari luar negeri yang ilegal, beredar banyak dan menyulitkan industri tembakau nasional,” ujarnya dikutip Kamis (28/08/2025).
Kontribusi Besar Industri Hasil Tembakau
Data dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) mencatat, penerimaan dari Cukai Hasil Tembakau pada 2024 mencapai Rp 216,9 triliun, setara 73 persen dari total penerimaan cukai nasional.
Hekal menekankan, penerimaan cukai dari rokok yang selalu berada di atas Rp 200 triliun menunjukkan betapa vitalnya sektor ini.
Namun, ia khawatir potensi penerimaan negara tidak maksimal jika rokok ilegal terus dibiarkan beredar.
“Jika penertiban di lapangan dilakukan dengan baik, penerimaan negara bisa meningkat,” tegasnya.
Meski kontribusi besar terus mengalir ke kas negara, peredaran rokok ilegal justru melonjak tajam.
DJBC mencatat, pada 2023 sebanyak 253,7 juta batang rokok ilegal berhasil diamankan.
Jumlah ini naik signifikan pada 2024 menjadi 710 juta batang dengan nilai mencapai Rp 1,1 triliun.
Hekal pun mendesak Bea Cukai, terutama dengan adanya Dirjen baru, untuk memperkuat pengawasan dan penertiban.
Menurutnya, lemahnya pengawasan di lapangan menjadi salah satu penyebab utama rokok ilegal semakin marak.
Selain penindakan, Hekal menekankan pentingnya kebijakan menyeluruh untuk melindungi ekosistem IHT, termasuk petani tembakau dan pelaku usaha kecil.
Menurutnya, solusi jangka panjang diperlukan agar industri ini tetap berdaya saing sekaligus memberi kepastian bagi jutaan pekerja di sektor terkait.
“Ada beberapa usulan yang masih perlu dikaji. Tapi, kira-kira ada yang bisa berdampak untuk industri dan ada yang untuk petani,” tambah Hekal.
Komitmen Bea Cukai
Sebelumnya, Dirjen Bea Cukai Djaka Budhi Utama menegaskan pihaknya telah melaksanakan berbagai operasi penindakan.
Hingga Juni 2025, Bea Cukai mencatat ada 13.248 penindakan dengan nilai barang hasil sitaan mencapai Rp 3,9 triliun.
Dari total tersebut, rokok ilegal masih mendominasi dengan proporsi sebesar 61 persen.
Meski jumlah penindakan secara tahunan menurun 4 persen, jumlah batang rokok ilegal yang berhasil diamankan justru naik 38 persen.
“Jika dibandingkan secara tahunan antara tahun 2024 dan 2025, jumlah penindakan memang mengalami penurunan sebesar 4 persen, tetapi jumlah batang rokok ilegal yang berhasil diamankan justru meningkat 38 persen,” jelas Djaka.
Selain itu, salah satu operasi besar adalah Operasi Gurita yang berlangsung sejak 28 April hingga 30 Juni 2025.
Dalam kurun waktu tersebut, Bea Cukai berhasil melakukan 3.918 penindakan dengan total 182,74 juta batang rokok ilegal yang diamankan.
Operasi ini menghasilkan tindak lanjut berupa 22 penyidikan, 10 sanksi administratif kepada pabrik senilai Rp 1,2 miliar, serta penggunaan ultimum remidium terhadap 347 kasus dengan total nilai Rp 23,24 miliar.