Dua Tersangka Ditetapkan dalam Kasus Longsor Gunung Kuda, Cirebon

KIM
Kapolresta Cirebon, Kombes Pol Sumarni, dalam konferensi pers pada Minggu, (01/06/25) (foto: adainfo.id)

adainfo.id – Kepolisian Resor Kota (Polresta) Cirebon resmi menetapkan dua tersangka dalam kasus longsor tragis yang terjadi di kawasan pertambangan Gunung Kuda, Desa Cipanas, Kecamatan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon. Peristiwa yang menelan korban jiwa tersebut diduga kuat merupakan akibat dari aktivitas penambangan ilegal yang dijalankan secara terang-terangan meski telah dilarang oleh otoritas terkait.

Dalam konferensi pers yang digelar Minggu (01/06/2025), Kapolresta Cirebon Kombes Pol Sumarni mengungkap identitas dua tersangka, yakni AK, Ketua Koperasi Al Azhariyah, dan AR, Kepala Teknik Tambang sekaligus pengawas lapangan operasional.

“Penyidik telah memeriksa delapan orang saksi dan dari hasil pemeriksaan tersebut, ditetapkan dua tersangka yang bertanggung jawab atas kegiatan tambang ilegal yang berujung pada longsor,” tegas Sumarni.

Mengabaikan Larangan ESDM dan Keselamatan Kerja

Kedua tersangka disebut telah mengabaikan surat larangan yang dikeluarkan oleh Cabang Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Cirebon sejak Januari 2025. Larangan tersebut terbit karena lokasi tambang tidak memiliki Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang menjadi syarat mutlak aktivitas tambang resmi.

Namun, alih-alih menghentikan operasional, AK malah memerintahkan agar kegiatan tetap dilanjutkan tanpa memperhatikan prosedur Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Perintah tersebut dieksekusi oleh AR yang tetap melanjutkan kegiatan penambangan meskipun mengetahui adanya larangan resmi dari ESDM.

“AK tidak hanya mengabaikan larangan, tapi juga secara aktif memerintahkan AR untuk terus menjalankan kegiatan tambang tanpa memperhatikan aspek keselamatan,” lanjut Sumarni.

Akibat pembangkangan tersebut, longsor akhirnya terjadi dan menyebabkan kematian sejumlah pekerja. Peristiwa memilukan ini menjadi dasar hukum yang kuat bagi proses penyidikan lanjutan. Kepolisian kini menindak tegas segala bentuk pelanggaran hukum, terlebih yang mengancam keselamatan masyarakat dan merusak lingkungan hidup.

Barang Bukti Disita, Alat Berat Hingga Dokumen Resmi

Dalam proses pengungkapan kasus, Polresta Cirebon menyita sejumlah barang bukti penting. Di antaranya:

  • 4 unit dump truck dari berbagai merek: Isuzu, Mitsubishi, dan Hino

  • 4 unit ekskavator yang digunakan dalam aktivitas tambang

  • Dokumen perizinan dan teknis, termasuk: Izin Usaha Pertambangan, Surat larangan aktivitas, Surat peringatan, serta Dokumen kompetensi teknis pengawasan tambang

Barang-barang tersebut kini berada di bawah pengamanan penyidik dan akan dijadikan alat bukti di pengadilan.

Atas perbuatannya, kedua tersangka dijerat dengan dua undang-undang utama, yakni:

  1. Pasal 98 ayat (1) dan (3) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan ancaman hukuman penjara minimal 5 tahun, maksimal 15 tahun, serta denda antara Rp5 miliar hingga Rp15 miliar.

  2. Undang-Undang tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), dengan ancaman penjara antara 1 bulan hingga 4 tahun

Kombes Sumarni menegaskan bahwa proses hukum akan berjalan transparan dan profesional. Penetapan tersangka ini adalah bentuk nyata dari komitmen kepolisian dalam menjaga keselamatan warga dan kelestarian lingkungan hidup.

“Kami akan menindak tegas setiap pelanggaran hukum yang mengancam keselamatan masyarakat dan merusak lingkungan,” pungkasnya.

Tambang Gunung Kuda Jadi Simbol Gagalnya Kepatuhan

Kasus ini membuka mata banyak pihak akan bahaya aktivitas pertambangan ilegal, terutama di wilayah-wilayah yang memiliki potensi geologi tinggi namun minim pengawasan. Gunung Kuda selama ini dikenal sebagai salah satu lokasi tambang batu andesit yang cukup aktif di Cirebon. Sayangnya, tidak semua aktivitas tersebut berada dalam pengawasan ketat.

Pihak ESDM sudah melakukan langkah tegas sejak awal tahun dengan melayangkan surat larangan dan peringatan, namun tidak diindahkan. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai pengawasan di lapangan serta efektivitas sanksi administratif.

Tragedi ini diharapkan menjadi pelajaran penting bagi pelaku usaha tambang di daerah lain. Penegakan hukum terhadap tambang ilegal bukan hanya soal administratif, tetapi soal nyawa manusia dan kelangsungan lingkungan.

Pemerhati lingkungan dan aktivis masyarakat sipil mendesak agar pengawasan tambang diperkuat, serta regulasi perizinan diperketat, terutama dalam hal RKAB dan K3. Pemerintah daerah dan pusat juga diminta tidak ragu menutup tambang-tambang ilegal yang mengabaikan keselamatan.

BSP GROUP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *