Dugaan Jual-Beli Tanah Desa Bendungan, Obor Cirtim Siap Laporkan ke Kejaksaan
adainfo.id – Dugaan praktik jual-beli tanah kas desa kembali menyeruak di Kabupaten Cirebon.
Kali ini, sorotan publik tertuju pada Desa Bendungan, Kecamatan Pangenan, yang disebut-sebut melakukan komersialisasi tanah kas desa dengan skema kavling.
Informasi yang beredar menyebutkan bahwa lahan desa seluas 3 hingga 4 hektare telah dikapling menjadi bidang-bidang kecil berukuran 10 bata atau sekitar 140 meter persegi.
Sejumlah warga bahkan mengaku telah menyetorkan uang muka (DP) dengan nilai antara Rp2 juta hingga Rp3 juta untuk mendapatkan kavling tersebut.
Kasus ini mencuat setelah Presidium Obor Cirebon Timur (Cirtim) menerima aduan dari masyarakat sekitar yang merasa resah dan dirugikan dengan praktik tersebut.
Aduan Warga Terbukti di Lapangan
Presidium Obor Cirtim, Yosu Subardi, menjelaskan bahwa pihaknya turun langsung ke lapangan untuk memastikan laporan masyarakat.
Hasil penelusuran itu mengarah pada indikasi kuat adanya praktik yang menyimpang dari ketentuan regulasi mengenai pengelolaan tanah kas desa.
“Kami mendapat laporan, lalu kami cek langsung ke lapangan. Hasilnya, memang ada indikasi praktik yang menyimpang dari regulasi,” ungkap Yosu, Selasa (19/8/2025).
Menurutnya, Obor Cirtim menemukan dokumen serta keterangan dari warga yang memperkuat dugaan adanya transaksi terselubung.
Salah satunya adalah formulir permohonan kavling yang dianggap mirip dengan transaksi jual-beli.
“Formulir permohonan kavling itu bentuknya mirip transaksi jual-beli, meski dibalut istilah sewa. Kalau sewa, harusnya jelas aliran dananya ke mana. Tapi di sini tidak ada kejelasan sama sekali,” katanya.
Yosu menambahkan bahwa praktik semacam ini bukan hal baru di wilayah Bendungan. Ia mencontohkan lahan desa di sekitar SPBU Bendungan yang luasnya sekitar 2 hektare.
Saat ini, lahan tersebut sudah dihuni warga, namun status kepemilikannya hanya berupa SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang), bukan sertifikat tanah sah yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).
“Warga sudah keluar biaya besar, tapi legalitasnya tidak jelas. Kami khawatir kasus serupa kembali terulang dengan lahan desa yang kini dikapling-kapling,” jelas Yosu.
Kondisi tersebut membuat masyarakat berada pada posisi yang serba salah. Di satu sisi mereka membutuhkan lahan untuk tempat tinggal, di sisi lain legalitas tanah yang mereka tempati masih abu-abu dan berpotensi menimbulkan masalah hukum di kemudian hari.
Aturan Tegas Soal Tanah Kas Desa
Dalam regulasi, tanah kas desa (TKD) memiliki fungsi sebagai aset desa yang harus dikelola untuk kepentingan bersama, bukan diperjualbelikan secara individu. Jika tanah desa ingin dialihfungsikan, prosedurnya harus melalui mekanisme resmi, termasuk tukar guling atau alih fungsi yang membutuhkan persetujuan dari pemerintah kabupaten hingga kementerian terkait.
“Tanah kas desa tidak boleh diperjualbelikan secara bebas. Ini bukan hanya persoalan administrasi, tapi bisa masuk ke ranah dugaan tindak pidana dan jelas merugikan negara,” tegas Yosu.
Presidium Obor Cirtim menilai praktik kavlingisasi yang dilakukan di Bendungan telah menyalahi aturan tersebut.
Ia juga menegaskan pihaknya memberi kesempatan bagi Pemerintah Desa Bendungan untuk memberikan klarifikasi. Namun, bila tidak ada respons, pihaknya siap membawa kasus ini ke ranah hukum.
“Jika Pemdes tidak mau terbuka, kami akan melaporkan kasus ini ke Kejaksaan. Masyarakat jangan sampai menjadi korban kedua kalinya,” ujarnya.
Warga Mulai Gelisah
Kabar dugaan praktik jual-beli tanah desa ini membuat sebagian warga resah. Mereka khawatir status lahan yang mereka tempati atau incar tidak memiliki kekuatan hukum.
Beberapa warga mengaku sudah terlanjur membayar uang muka, namun belum ada kejelasan dokumen resmi yang bisa menjamin kepemilikan.
“Sudah bayar Rp2 juta untuk kavling, tapi yang kami terima hanya surat permohonan saja. Tidak ada sertifikat atau bukti resmi yang bisa menjamin tanah itu benar-benar milik kami,” kata salah seorang warga yang enggan disebutkan namanya.
Keresahan warga semakin bertambah karena praktik semacam ini pernah terjadi sebelumnya di wilayah yang sama, sehingga menimbulkan trauma dan kerugian finansial.
Pemdes Bendungan Bungkam
Sampai berita ini diturunkan, pihak Pemdes Bendungan belum memberikan keterangan resmi.
Beberapa kali upaya konfirmasi dilakukan, namun belum ada jawaban yang jelas. Kondisi ini membuat publik menilai bahwa pemerintah desa seakan mengabaikan sorotan masyarakat dan organisasi yang menuntut transparansi.
Ketertutupan Pemdes Bendungan justru menimbulkan tanda tanya besar. Publik berharap ada keterbukaan informasi agar masalah ini tidak semakin berlarut-larut dan memicu ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintahan desa.
Sorotan Publik dan Potensi Penegakan Hukum
Kasus dugaan jual-beli tanah kas desa di Bendungan menambah panjang daftar polemik terkait pengelolaan aset desa di Kabupaten Cirebon.
Sorotan publik kini mengarah pada aparat penegak hukum dan pemerintah daerah untuk segera mengambil tindakan tegas.
Presidium Obor Cirtim menegaskan bahwa mereka tidak segan untuk membawa kasus ini ke ranah hukum jika pemerintah desa terus mengabaikan tuntutan masyarakat.
“Kami ingin kepastian hukum. Kalau tidak ada kejelasan, tentu jalur hukum adalah pilihan terakhir,” kata Yosu.
Dengan semakin banyaknya temuan serupa di berbagai wilayah, kasus tanah kas desa menjadi salah satu isu serius yang perlu mendapat perhatian.
Hal ini bukan hanya soal administrasi kepemilikan, tetapi juga menyangkut integritas pemerintahan desa dalam mengelola aset publik yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan bersama.