Harga Ayam di Depok Naik, Ini Keluh Kesah Pedagang dan Konsumen

ARY
Pedagang ayam di Pasar Sukatani Depok melayani pembeli di tengah kenaikan harga ayam hingga Rp42.000 per kilogram, Rabu (17/09/25). (Foto: Istimewa)

adainfo.id – Kenaikan harga pangan kembali dirasakan masyarakat, kali ini menimpa komoditas ayam potong.

Harga ayam pada tingkat pasar tradisional seperti di Pasar Sukatani, Kecamatan Tapos, kini menembus Rp42.000 per kilogram.

Lonjakan harga ini membuat pedagang dan pembeli sama-sama mengeluh karena daya beli masyarakat menurun drastis.

Narno, pedagang ayam di Pasar Sukatani, mengungkapkan harga ayam mulai merangkak naik sejak dua pekan terakhir.

“Per kilo Rp42.000 sekarang,” ujar Narno saat ditemui di lapaknya, Rabu (17/09/2025).

Sebelumnya, harga ayam hanya berkisar Rp32.000 hingga Rp33.000 per kilogram.

Namun kini kenaikan signifikan membuat konsumen terpaksa mengurangi pembelian.

“Berkurang (konsumen), mengurangi pembelian, atau beralih ke produk yang lainnya seperti ikan,” jelas Narno.

Menurut Narno, penyebab kenaikan harga ayam disebut-sebut karena naiknya biaya pakan ayam.

Namun, ia sendiri mengaku tidak mengetahui detail pasti faktor yang membuat harga melonjak tinggi.

Trik Pedagang Menghadapi Kenaikan Harga dan Respon Pembeli

Agar tetap bisa menjual dagangan, Narno mengaku harus menyiasati kondisi dengan mengurangi jumlah stok yang dibawa ke pasar.

“Ya mengurangi bawa ayamnya sama ukurannya dikurangi, diperkecil ya mau gak mau,” ucap Narno.

Ayam yang dijual pun bervariasi, mulai dari ukuran 0,6 kilogram hingga lebih dari 1,2 kilogram per ekor.

Beberapa ekor ayam bahkan bisa dijual mencapai Rp50.000, tergantung beratnya.

Kondisi ini turut dirasakan oleh konsumen. Eri, salah seorang pembeli, mengaku kini hanya bisa membeli ayam dalam jumlah lebih sedikit dibandingkan biasanya.

“Harga ayam beda-beda ya per ekor. Ada yang Rp38.000, Rp40.000,” kata Eri.

Biasanya, Eri bisa membeli ayam seminggu sekali. Namun dengan kenaikan harga saat ini, ia memilih untuk mengurangi frekuensi pembelian.

“Ngaruh lah, biasanya seminggu sekali ya (beli). Sekarang belinya dua minggu sekali,” ucap Eri.

Selain itu, jumlah pembelian pun dikurangi agar tetap bisa membeli kebutuhan lain.

“Dikurangin. Itu campur-campur, biar dapat semua bagian,” tutur Eri.

Harga Lebih Mahal di Pedagang Dekat Rumah

Eri menyebutkan, jika membeli ayam di pedagang dekat rumah, harga bisa lebih mahal dibanding pasar.

Sayangnya, pembelian di pedagang dekat rumahnya tidak bisa memilih bagian ayam sesuai kebutuhan.

“Kalau deket rumah belinya bisa lebih mahal lagi. Nggak bisa milih (ukuran ayam) juga,” terang Eri.

Karena itu, Eri lebih memilih datang ke pasar jika membeli dalam jumlah banyak, meski harus mengatur anggaran rumah tangga lebih ketat.

“Iya kalau ada yang mau dibeli sekaligus ke pasar. Kalau gak, ya beli di rumah aja sih,” ujar Eri.

Pedagang maupun pembeli kini sama-sama berharap harga ayam bisa segera kembali stabil.

Pasalnya, kenaikan harga sembako membuat masyarakat semakin terbebani.

“Terutama sembako ya, berasa kalau banyak-banyak. Pengennya sih ya (normal stabil lagi),” ungkap Eri.

Dampak Kenaikan Harga Ayam di Depok

Kenaikan harga ayam di Depok bukan sekadar persoalan ekonomi mikro.

Bagi masyarakat berpenghasilan rendah, ayam merupakan salah satu sumber protein utama yang harganya relatif lebih murah dibandingkan daging sapi atau ikan tertentu.

Lonjakan harga otomatis mengurangi asupan gizi keluarga.

Di sisi lain, pedagang ayam di pasar tradisional juga harus menanggung risiko turunnya omzet akibat sepinya pembeli.

Jika kondisi ini berlangsung lama, dikhawatirkan banyak pedagang gulung tikar.

Faktor utama kenaikan harga ayam biasanya dipengaruhi oleh biaya pakan, distribusi logistik, hingga permintaan yang meningkat pada momen tertentu.

Namun, dalam kasus kali ini, kenaikan pakan disebut sebagai penyebab dominan.

Harga Ayam dan Pola Konsumsi Masyarakat

Kenaikan harga ayam juga berimbas pada pola konsumsi masyarakat.

Banyak keluarga yang mulai mengurangi pembelian ayam dan menggantinya dengan lauk alternatif seperti tahu, tempe, ikan, atau telur.

Fenomena ini mencerminkan bagaimana harga bahan pokok bisa memengaruhi pola makan sehari-hari.

Jika harga tidak segera terkendali, potensi terjadinya perubahan gizi di masyarakat bisa semakin nyata.

BSP GROUP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *