HIPMI: Dapur Fiktif Bikin Anggaran MBG Sulit Terserap, Saatnya Perbaikan Sistem
adainfo.id – Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) menyoroti persoalan serius dalam pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Ribuan dapur MBG dilaporkan terdeteksi fiktif, sementara serapan anggaran berjalan sangat rendah.
Kondisi ini menunjukkan adanya masalah tata kelola dan sistem verifikasi yang lemah sehingga program yang menjadi salah satu agenda strategis Presiden Prabowo Subianto berisiko tidak berjalan optimal.
Sekretaris Jenderal BPP HIPMI, Anggawira, menyebut temuan tersebut bukan hal kecil.
Menurutnya, dugaan adanya dapur fiktif tidak hanya merugikan negara secara anggaran, tetapi juga menghambat tujuan besar program MBG untuk meningkatkan gizi anak bangsa.
“Indikasi dapur fiktif ini bukan hanya merugikan negara, tetapi juga menghambat tujuan besar MBG untuk meningkatkan gizi anak bangsa. Ditambah lagi, serapan anggaran yang rendah memperlihatkan adanya bottleneck dalam sistem. HIPMI mendorong pemerintah untuk segera melakukan perbaikan menyeluruh, termasuk digitalisasi verifikasi dan transparansi data,” tegas Anggawira, Kamis (18/09/25).
Dapur Fiktif Hambat Peningkatan Gizi Anak
MBG sejatinya dihadirkan sebagai investasi jangka panjang bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Program ini dirancang untuk memastikan anak-anak sekolah mendapatkan asupan makanan sehat, bergizi, dan berkualitas setiap hari.
Namun, temuan ribuan dapur fiktif mengancam kredibilitas program sekaligus menurunkan efektivitasnya.
HIPMI menilai bahwa ketiadaan sistem verifikasi yang kuat membuka peluang bagi pihak-pihak tertentu menitik lokasi dapur tanpa keseriusan membangun dan mengoperasikan fasilitas tersebut.
Akibatnya, data di pusat tidak sesuai dengan kondisi riil di lapangan. Hal ini berpotensi menimbulkan tumpang tindih lokasi, kesenjangan distribusi, bahkan gesekan antar pengelola dapur.
Pentingnya Aturan Zonasi dan Tata Kelola Distribusi
Salah satu kendala utama yang disoroti HIPMI adalah ketiadaan aturan zonasi sekolah penerima manfaat.
Tanpa adanya regulasi zonasi yang jelas, distribusi MBG seringkali tidak merata.
Ada wilayah yang kelebihan dapur, sementara daerah lain justru tidak tersentuh sama sekali.
Kondisi ini menciptakan ketidakpastian bagi pengelola di lapangan dan menurunkan pemerataan manfaat program.
HIPMI menilai, aturan zonasi harus segera disusun untuk memastikan setiap sekolah penerima manfaat mendapatkan jatah makanan bergizi secara seimbang.
Zonasi juga bisa menjadi instrumen untuk mencegah gesekan antar pengelola dapur yang sudah siap beroperasi.
Tantangan Supply Chain dan Peran UMKM Lokal
Selain masalah tata kelola administratif, HIPMI juga menyoroti tantangan besar di sektor supply chain.
Banyak dapur MBG dilaporkan kesulitan menjaga ketersediaan bahan pangan yang stabil, berkualitas, dan terjangkau.
Situasi ini terjadi karena pasokan masih bergantung pada rantai distribusi yang panjang dan tidak efisien.
HIPMI mendorong agar pemerintah lebih banyak melibatkan petani lokal, UMKM pangan, dan sektor logistik daerah dalam pelaksanaan MBG.
Dengan begitu, rantai pasok bisa berjalan lebih pendek, harga bahan baku lebih terjangkau, dan manfaat ekonomi bisa dirasakan langsung oleh masyarakat setempat.
Keterlibatan sektor usaha lokal juga sejalan dengan visi pemerintah menjadikan program ini sebagai penggerak ekonomi daerah.
Persoalan lain yang turut menambah beban adalah belum adanya kantor permanen Badan Gizi Nasional (BGN) di tingkat kabupaten dan kota.
Absennya lembaga tersebut menimbulkan kebingungan karena tidak ada pusat koordinasi di daerah.
Akibatnya, berbagai persoalan yang muncul di lapangan sulit diselesaikan secara cepat.
HIPMI menilai keberadaan kantor permanen BGN di daerah sangat penting sebagai pusat koordinasi, pengawasan, sekaligus tempat aduan masyarakat.
Tanpa adanya kelembagaan yang kuat di daerah, tata kelola MBG akan terus menghadapi kendala.
MBG sebagai Investasi Jangka Panjang
HIPMI menekankan bahwa MBG harus dilihat bukan sekadar sebagai proyek distribusi makanan, melainkan investasi jangka panjang bagi pembangunan SDM Indonesia.
Menurut Anggawira, melibatkan pengusaha muda di daerah akan mempercepat rantai pasok, menekan biaya operasional, dan meningkatkan efisiensi program.
Dengan pendekatan tersebut, manfaat MBG bisa lebih luas sekaligus memperkuat ekosistem ekonomi lokal.
“Kami mendorong agar MBG tidak hanya dilihat sebagai proyek distribusi makanan, melainkan investasi gizi jangka panjang yang sekaligus menggerakkan ekonomi rakyat. Dengan melibatkan pengusaha muda di daerah, rantai pasok bisa lebih cepat, biaya lebih efisien, dan dampaknya terasa langsung di masyarakat,” tambah Anggawira.
Komitmen HIPMI untuk Indonesia Emas 2045
Sebagai organisasi pengusaha muda terbesar di Indonesia, HIPMI menegaskan komitmennya untuk menjadi mitra strategis pemerintah.
HIPMI siap mendorong inovasi sistem berbasis teknologi, termasuk digitalisasi verifikasi dapur dan transparansi data, agar potensi penyimpangan bisa ditekan sejak awal.
HIPMI optimistis bahwa dengan langkah perbaikan yang tepat, MBG dapat menjadi salah satu legacy besar pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dalam pembangunan sumber daya manusia menuju Indonesia Emas 2045.
Program ini diharapkan mampu memperbaiki kualitas gizi anak bangsa sekaligus menciptakan dampak ekonomi yang luas melalui keterlibatan UMKM, petani lokal, dan pengusaha muda.











