Indonesia Menangkan Gugatan atas Uni Eropa
adainfo.id – Dalam era global yang penuh dinamika saat ini, arus proteksionisme semakin menguat dengan munculnya kebijakan perdagangan yang lebih ketat.
Uni Eropa, misalnya, memperkenalkan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) sebagai instrumen perdagangan berbasis iklim.
Namun, kabar baik datang bagi Indonesia setelah Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memutuskan memenangkan gugatan Indonesia terhadap Uni Eropa dalam sengketa terkait minyak kelapa sawit (CPO) dan biofuel.
Putusan yang keluar pada 10 Januari 2025 ini menegaskan bahwa kebijakan Uni Eropa dinilai diskriminatif terhadap produk asal Indonesia.
Keputusan ini dianggap sebagai kemenangan besar, bukan hanya bagi industri sawit dan biofuel, tetapi juga sebagai simbol kuatnya diplomasi perdagangan Indonesia di panggung global.
Diplomasi Perdagangan Indonesia Semakin Kokoh
Momentum kemenangan di WTO itu diperkuat dengan kabar bahwa pada akhir September 2025, Indonesia bersama Uni Eropa (EU) akan menandatangani full agreement dari perjanjian perdagangan bebas IEU-CEPA (Indonesia–European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement).
Lewat kesepakatan ini, sebanyak 80 persen produk Indonesia yang masuk ke pasar Uni Eropa akan mendapat tarif 0 persen, begitu pula sebaliknya. Kebijakan ini diharapkan mampu meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar Eropa yang selama ini sering terbentur hambatan tarif maupun regulasi ketat.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyampaikan optimismenya bahwa perdagangan Indonesia dengan Uni Eropa bisa meningkat signifikan.
“Kita berharap trade Indonesia dengan EU akan meningkat sekitar dua kali lipat daripada sebelumnya. Kalau sekarang misalnya sekitar USD30 miliar, mungkin kita berharap bisa naik ke USD60 miliar di dalam lima tahun ke depan,” ungkap Airlangga dalam acara Kumparan Green Initiative Conference di Jakarta, Rabu (17/09/2025).
Kemenangan Indonesia atas gugatan ke Uni Eropa terkait CPO dan biofuel menunjukkan bahwa Indonesia mampu melawan kebijakan yang dianggap tidak adil di forum multilateral.
Kebijakan diskriminatif Uni Eropa sebelumnya dianggap menjadi hambatan besar bagi ekspor sawit Indonesia, yang notabene merupakan salah satu komoditas utama penyumbang devisa negara.
Keputusan WTO ini bisa menjadi preseden penting bagi negara berkembang lainnya yang sering menghadapi tekanan dari regulasi negara maju, terutama dalam isu lingkungan dan perdagangan.
Kekuatan Fondasi Ekonomi Indonesia
Kemenangan diplomasi perdagangan di WTO tidak datang dalam ruang hampa. Keberhasilan ini memiliki landasan yang kokoh, yakni kondisi perekonomian Indonesia yang tetap resilien di tengah gejolak global.
Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada kuartal kedua 2025, pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 5,12% year on year (yoy).
Angka ini terbilang tinggi, mengingat banyak negara lain justru mengalami perlambatan akibat ketidakpastian geopolitik, kenaikan suku bunga global, hingga fluktuasi harga energi.
Pertumbuhan ekonomi tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan ditopang oleh sejumlah indikator makroekonomi yang relatif stabil. Inflasi, misalnya, tercatat hanya 2,31% (yoy).
Angka ini bukan hanya berada dalam kisaran target Bank Indonesia, tetapi juga menjadi bukti bahwa harga-harga kebutuhan pokok dapat dijaga dengan baik.
Stabilitas inflasi ini krusial karena menjaga daya beli masyarakat, yang merupakan motor utama penggerak pertumbuhan ekonomi nasional.
Di sektor industri, Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia tetap berada di zona ekspansif pada level 51,5. Capaian ini mengindikasikan bahwa aktivitas produksi masih berjalan positif, perusahaan masih melakukan perekrutan, serta permintaan terhadap barang-barang industri terus meningkat.
Dengan kata lain, sektor manufaktur yang menjadi tulang punggung industrialisasi nasional menunjukkan ketahanan yang baik meski kondisi eksternal penuh tekanan.
Dari sisi perdagangan internasional, Indonesia juga mencatatkan surplus neraca perdagangan sebesar USD4,17 miliar pada Juli 2025.
Surplus ini terutama ditopang oleh ekspor komoditas unggulan seperti batubara, nikel, produk kimia, serta minyak kelapa sawit (CPO) yang baru saja mendapatkan angin segar pasca kemenangan di WTO.
Surplus perdagangan menjadi salah satu bantalan penting bagi ketahanan eksternal Indonesia, mengingat cadangan devisa yang terus menguat akan memperkokoh stabilitas nilai tukar rupiah.
Selain itu, konsumsi domestik menunjukkan tren pemulihan. Mobilitas masyarakat meningkat, terutama setelah sektor pariwisata mulai kembali ramai.
Kota-kota destinasi wisata seperti Bali, Yogyakarta, dan Labuan Bajo mencatatkan kenaikan jumlah kunjungan, baik wisatawan nusantara maupun mancanegara.
Hal ini berimbas pada naiknya permintaan di sektor perhotelan, restoran, hingga transportasi, yang pada akhirnya memperkuat kontribusi sektor jasa dalam perekonomian.
Tak kalah penting adalah sisi investasi. Data Kementerian Investasi/BKPM menunjukkan bahwa arus masuk Penanaman Modal Asing (PMA) terus meningkat, dengan fokus pada sektor energi terbarukan, manufaktur berbasis hilirisasi, serta ekonomi digital.
Sementara itu, Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) juga mengalami kenaikan, terutama di sektor properti, infrastruktur, dan industri makanan-minuman.
Kombinasi investasi domestik dan asing ini memberi sinyal positif terhadap kepercayaan investor pada prospek ekonomi Indonesia dalam jangka menengah-panjang.
Semua indikator tersebut membentuk gambaran bahwa fondasi ekonomi Indonesia dalam kondisi yang solid.
Stabilitas makroekonomi ini menjadi faktor penentu bagi keberhasilan implementasi IEU-CEPA, karena perjanjian perdagangan bebas hanya akan efektif bila negara memiliki basis produksi yang kuat, daya saing tinggi, serta pasar domestik yang sehat.
Dengan pondasi ini, Indonesia diyakini tidak hanya mampu memanfaatkan peluang dari perdagangan bebas dengan Uni Eropa, tetapi juga memperkuat posisinya dalam rantai pasok global.
Strategi Pemerintah: Hilirisasi hingga Ekonomi Hijau
Pemerintah Indonesia menyadari bahwa tantangan perdagangan global tidak hanya soal tarif dan hambatan non-tarif, tetapi juga menyangkut standar keberlanjutan yang semakin ketat.
Oleh karena itu, strategi pembangunan ekonomi diarahkan pada penguatan sektor-sektor strategis yang tidak hanya menghasilkan pertumbuhan, tetapi juga menjaga daya saing di masa depan.
Ada empat pilar utama yang kini menjadi fokus pemerintah.
Hilirisasi telah menjadi kata kunci dalam strategi industrialisasi nasional.
Selama ini, Indonesia dikenal sebagai eksportir bahan mentah, seperti nikel, bauksit, tembaga, hingga kelapa sawit.
Pola tersebut dianggap tidak memberikan nilai tambah maksimal, bahkan seringkali membuat Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga komoditas global.
Dengan hilirisasi, bahan mentah diolah menjadi produk turunan bernilai tinggi, seperti;
- Nikel diolah menjadi baterai kendaraan listrik (EV battery), bukan lagi diekspor dalam bentuk bijih.
- Bauksit diolah menjadi alumina dan aluminium, yang berfungsi sebagai bahan baku industri aviasi hingga konstruksi.
- Tembaga diproses menjadi kabel listrik berkualitas tinggi, menopang elektrifikasi, dan
- Kelapa sawit (CPO) diolah menjadi produk hilir seperti oleokimia, kosmetik, hingga biofuel.
Menurut data Kemenperin, hilirisasi mampu meningkatkan nilai ekspor hingga 5–10 kali lipat dibandingkan ekspor mentah.
Selain itu, strategi ini menciptakan lapangan kerja baru di kawasan industri, serta memperkuat daya tawar Indonesia di pasar global.
Selain menerapkan hilirisasi, pemerintah pun menempatkan ekonomi digital sebagai salah satu pilar utama pembangunan.
Dengan jumlah pengguna internet yang menembus 220 juta orang, Indonesia diproyeksikan menjadi pasar digital terbesar di Asia Tenggara.
Dua sektor yang menjadi fokus pemerintah adalah; e-commerce, yang terus tumbuh dengan transaksi mencapai ratusan triliun rupiah per tahun, serta fintech, yang mendorong inklusi keuangan melalui layanan pembayaran digital, pinjaman online, hingga investasi mikro.
Ekonomi digital dianggap mampu menciptakan lapangan kerja baru, mendukung UMKM untuk go international, dan mempercepat distribusi barang dan jasa.
Lebih jauh, pemerintah sedang menyiapkan regulasi yang memastikan digitalisasi berjalan sehat, melindungi konsumen, sekaligus menarik investasi global di bidang data center dan cloud computing.
Dalam konteks perdagangan global, ekonomi hijau menjadi keharusan. Standar keberlanjutan kini menjadi syarat utama bagi produk yang akan masuk ke pasar Eropa maupun Amerika.
Oleh karena itu, pemerintah menekankan pentingnya sertifikasi produk ramah lingkungan, penggunaan energi terbarukan dalam industri, dan penerapan standar emisi yang lebih ketat.
Kebijakan tersebut bukan hanya untuk memenuhi pasar global, tetapi juga menjaga kelestarian lingkungan domestik. Dengan demikian, Indonesia tidak hanya menjadi pengekspor produk, tetapi juga penjaga lingkungan hidup bagi generasi mendatang.
Dalam beberapa tahun ke depan pemerintah menargetkan swasembada energi sekaligus menuju net zero emission pada tahun 2060. Langkah ini sangat strategis, mengingat ketergantungan pada energi fosil tidak bisa bertahan dalam jangka panjang.
Fokus utama transisi energi meliputi;
- Pembangunan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) skala besar.
- Pengembangan energi angin dan panas bumi.
- Elektrifikasi transportasi, melalui percepatan adopsi kendaraan listrik, dan
- Carbon capture and storage (CCS), untuk mengurangi emisi dari industri padat energi.
Dalam kesempatan konferensi ekonomi hijau, Menko Airlangga Hartarto menekankan bahwa salah satu sektor yang akan menjadi “power hungry” adalah data center.
Pertumbuhan teknologi digital dan kecerdasan buatan (AI) membuat kebutuhan energi melonjak drastis. Oleh karena itu, energi berbasis photovoltage (tenaga surya) dipandang sebagai solusi utama, sekaligus menjadi bagian dari hilirisasi silika di Indonesia.
“Apalagi kalau nanti dikembangkan yang namanya AI, hampir semua perusahaan berbasis digital akan membutuhkan kapasitas besar untuk data center. Itu sebabnya kita dorong pengembangan energi photovoltage sebagai penopang,” ujar Airlangga.
Roadmap Net Zero Emission: Pilar Menuju 2060
Komitmen Indonesia menuju net zero emission (NZE) pada tahun 2060 bukan hanya sekadar deklarasi politik, melainkan strategi jangka panjang yang menyentuh seluruh aspek pembangunan nasional. Pemerintah menyiapkan peta jalan (roadmap) yang dirancang secara bertahap, agar transisi menuju ekonomi hijau tetap sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.
Peta jalan ini terdiri atas lima pilar utama yang saling terintegrasi:
- Pilar Energi Terbarukan; Energi terbarukan menjadi fokus pertama dalam roadmap. Indonesia menempatkan biofuel sebagai pilar penting, mengingat potensi besar dari kelapa sawit, tebu, dan singkong sebagai bahan baku.
- Pilar Energi Baru: Nuklir, Hidrogen, dan Amonia; Transisi menuju NZE tidak cukup hanya dengan energi terbarukan. Pemerintah menyiapkan energi baru sebagai opsi jangka menengah dan panjang.
- Pilar Elektrifikasi: Kendaraan Listrik dan Kompor Induksi; Elektrifikasi menjadi bagian penting dari roadmap karena sektor transportasi dan rumah tangga merupakan penyumbang emisi besar.
- Pilar Efisiensi Energi: Mengurangi Emisi Tanpa Mengorbankan Pertumbuhan; Efisiensi energi adalah strategi yang relatif cepat diterapkan dengan biaya rendah, serta
- Pilar Carbon Capture and Storage (CCS) dan Reformasi Teknologi Energi; Untuk sektor padat energi seperti semen, baja, dan petrokimia, pemerintah menyiapkan strategi Carbon Capture and Storage (CCS). Teknologi ini memungkinkan karbon hasil pembakaran ditangkap dan disimpan di bawah tanah.
Roadmap NZE juga menempatkan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sebagai pusat pertumbuhan industri ramah lingkungan. KEK dirancang untuk; (1) menjadi lokasi produksi panel surya, baterai listrik, dan komponen energi terbarukan; (2) Menjadi zona industri rendah karbon dengan penerapan green standard, serta (3) Menjadi hub ekspor produk hijau ke Eropa dan Amerika, sejalan dengan implementasi IEU-CEPA dan CBAM.
Realisasi roadmap NZE sendiri bukan tanpa tantangan, Indonesia menghadapi keterbatasan fiskal untuk pembiayaan proyek-proyek strategis tersebut. Oleh karenanya, pemerintah mengandalkan kemitraan dengan sektor swasta dan dukungan internasional dalam bentuk pendanaan, teknologi, maupun transfer keahlian.
Beberapa kemitraan yang dibangun oelh Indonesia diantara; Just Energy Transition Partnership (JETP), yang melibatkan negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa, diharapkan dapat menyediakan pendanaan transisi energi hingga USD20 miliar, serta Asia Zero Emission Community (AZEC), yang dipimpin Jepang, menjadi forum kolaborasi regional dalam pengembangan energi bersih di Asia.
Kolaborasi tersebut diharapkan mempercepat transisi energi Indonesia, sekaligus menjaga agar pertumbuhan ekonomi tetap inklusif dan berkelanjutan.
Tenaga Kerja Hijau untuk Indonesia Emas 2045
Pemerintah menempatkan pengembangan sumber daya manusia sebagai pilar utama dalam menyongsong transformasi ekonomi menuju Indonesia Emas 2045.
Salah satu sasaran besar yang sedang digarap adalah lahirnya tenaga kerja hijau, atau green jobs, yang diproyeksikan mencapai tiga persen dari total angkatan kerja nasional pada tahun 2029.
Tenaga kerja hijau ini mencakup profesi-profesi yang berhubungan langsung dengan keberlanjutan lingkungan, mulai dari teknisi energi terbarukan yang bekerja di pembangkit listrik tenaga surya, air, dan panas bumi, hingga insinyur baterai listrik yang menopang industri kendaraan ramah lingkungan.
Tak hanya itu, ada pula ahli biofuel, spesialis manajemen lingkungan, serta pekerja di sektor pertanian berkelanjutan seperti perkebunan sawit bersertifikasi ISPO, yang semuanya dipandang sebagai motor baru pertumbuhan ekonomi sekaligus modal diplomasi perdagangan Indonesia di tengah tuntutan standar hijau global.
Untuk mencapai target itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menekankan pentingnya program reskilling dan upskilling.
Reskilling dimaknai sebagai proses menyiapkan pekerja agar mampu menguasai keterampilan baru di sektor yang berbeda dari pekerjaan sebelumnya, misalnya pekerja konvensional yang beralih ke bidang energi terbarukan.
Sementara upskilling lebih berfokus pada peningkatan keterampilan tenaga kerja yang sudah ada agar tetap relevan dengan perkembangan teknologi seperti otomatisasi industri, kecerdasan buatan, dan analisis big data.
Dengan dua strategi ini, pemerintah ingin memastikan tenaga kerja Indonesia tidak tertinggal dalam arus perubahan besar yang dipicu oleh transformasi industri global.
Sebagai tindak lanjut, pemerintah pada tahun ini meluncurkan 17 paket kebijakan yang salah satunya menitikberatkan pada program magang bagi mahasiswa dan lulusan baru.
Program tersebut dirancang agar lulusan perguruan tinggi bisa langsung terserap ke dunia kerja melalui mekanisme link and match dengan sektor industri. Mereka akan ditempatkan selama enam bulan di sektor padat karya maupun industri strategis, dengan mendapatkan honorarium setara upah minimum provinsi di daerah masing-masing.
Skema ini melibatkan koordinasi antara Kementerian Ristekdikti, Kementerian Ketenagakerjaan, dan Kementerian Perindustrian. Tahun depan, cakupannya akan diperluas ke sektor pariwisata, hotel, restoran, dan kafe, seiring dengan meningkatnya kebutuhan tenaga kerja di industri wisata yang tengah pulih.
Namun, perjalanan memperkuat kapasitas tenaga kerja tidaklah mudah. Indonesia masih menghadapi kesenjangan keterampilan yang cukup lebar. Banyak tenaga kerja saat ini masih menguasai keterampilan konvensional, sementara industri menuntut keahlian yang lebih kompleks.
Di sektor manufaktur, misalnya, kebutuhan akan tenaga ahli dalam bidang robotik, otomatisasi, dan kecerdasan buatan terus meningkat, tetapi jumlah lulusan yang mampu mengisi posisi itu masih sangat terbatas.
Demikian pula di sektor energi, di mana kebutuhan akan insinyur energi terbarukan jauh lebih tinggi daripada suplai tenaga kerja yang tersedia.
Jika kesenjangan ini tidak segera diatasi, Indonesia berisiko kehilangan peluang emas untuk memaksimalkan manfaat dari kesepakatan dagang global, termasuk IEU-CEPA yang menekankan standar hijau dalam perdagangan internasional.
Pemerintah menyadari bahwa mengatasi masalah ini tidak bisa dilakukan sendirian. Diperlukan kolaborasi yang erat antara dunia pendidikan, industri, dan pemerintah. Pendidikan vokasi harus diperkuat agar kurikulumnya benar-benar sesuai dengan kebutuhan dunia kerja.
Industri perlu membuka lebih banyak pelatihan berbasis teknologi untuk menyiapkan tenaga kerja yang siap pakai, sementara pemerintah berperan sebagai regulator sekaligus fasilitator, termasuk dalam penyediaan pendanaan untuk mendukung pelatihan tenaga kerja hijau.
Skema kolaborasi tiga pihak ini—sering disebut triple helix—dianggap mampu mempercepat transformasi SDM Indonesia menuju arah yang lebih kompetitif.
Di tengah semua tantangan itu, ada keyakinan besar bahwa SDM tetap menjadi kunci bagi cita-cita Indonesia Emas 2045.
Dengan investasi besar-besaran pada tenaga kerja hijau, peningkatan keterampilan, serta sinergi pendidikan dengan industri, Indonesia diyakini mampu melahirkan angkatan kerja yang produktif, adaptif, dan berdaya saing tinggi.
Seperti ditegaskan Airlangga, teknologi kini semakin terjangkau dan mudah diakses, tetapi tanpa sumber daya manusia yang tangguh, peluang itu akan sulit dimanfaatkan.
Maka, pengembangan SDM bukan sekadar agenda teknis, melainkan strategi nasional untuk menjadikan Indonesia bukan hanya sebagai peserta, melainkan pemain utama dalam rantai pasok hijau dunia.
“Teknologi semakin affordable dan deliverable, karena itu kita perlu sumber daya manusia yang tangguh juga,” tutup Airlangga.











