Kejari Depok Perkuat Kesadaran Hukum Cegah Kekerasan Seksual Anak di Cipayung

Kejaksaan Negeri Depok saat melaksanakan kegiatan Penerangan Hukum yang mengangkat tema “Pencegahan Kekerasan Seksual terhadap Anak” di Aula Kecamatan Cipayung, Kamis (17/07/25) (foto: kejari-depok.kejaksaan.go.id)

adainfo.id – Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Depok kembali menunjukkan komitmennya dalam memperkuat kesadaran hukum masyarakat, terutama terkait perlindungan anak melalui kegiatan Penerangan Hukum bertajuk “Pencegahan Kekerasan Seksual terhadap Anak” yang bertempat di Aula Kecamatan Cipayung, Kamis (17/07/2025).

Acara yang dibuka oleh Camat Cipayung tersebut dihadiri elemen lintas komunitas dan pemerintahan, seperti Camat, lurah, komite sekolah, serta warga setempat.

Dalam sambutannya, Camat Cipayung mengapresiasi langkah Kejaksaan Negeri Depok serta menyambut positif kolaborasi tersebut. Ia menekankan bahwa edukasi hukum semacam ini sangat dibutuhkan untuk membangun kesadaran masyarakat.

“Kami menyambut baik upaya Kejaksaan Depok dalam memberikan penerangan hukum. Edukasi seperti ini memperkuat kepedulian terhadap anak-anak kita,” ungkap Camat Cipayung.

Selain itu, para lurah yang turut hadir dalam kegiatan tersebut pun menunjukkan dukungan serta antusias terhadap program yang memperkuat fungsi perlindungan anak di tingkat kecamatan dan kelurahan.

Materi Edukatif dari Jaksa Intelijen

Dua jaksa fungsional, Athar Bungo Ramadhan, S.H., dan Vinna Inka Mellina, S.H., memaparkan materi secara komprehensif, disampaikan dengan gaya yang lugas namun sarat makna. Penyampaian dilakukan dengan pendekatan naratif dan berbasis kasus, mengacu pada realita hukum yang dihadapi masyarakat saat ini.

Jaksa Athar membuka materi dengan menjelaskan bahwa kekerasan seksual terhadap anak tidak hanya terbatas pada tindakan fisik seperti pemerkosaan atau pencabulan. Namun, terdapat pula bentuk non-fisik yang sering kali luput dari perhatian masyarakat, seperti pelecehan verbal, paparan konten pornografi kepada anak, atau pemaksaan anak menyaksikan aktivitas seksual.

Ia menegaskan, kekerasan seksual pada anak adalah setiap perbuatan yang dilakukan secara sadar, sengaja, dan tanpa persetujuan anak, yang mengarah pada aktivitas seksual dalam bentuk apa pun, baik dengan maupun tanpa sentuhan. Hal ini mencakup juga tindakan grooming atau pendekatan manipulatif oleh pelaku kepada korban untuk tujuan eksploitasi seksual.

Sementara itu, Jaksa Vinna menambahkan bahwa perlindungan hukum terhadap anak telah diatur dalam berbagai perundang-undangan, terutama Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak yang merupakan perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002.

Ia menyoroti Pasal 76D dan 76E yang mengatur secara tegas larangan bagi siapa pun untuk melakukan kekerasan seksual terhadap anak, serta memberikan ancaman pidana berat, termasuk hukuman kebiri kimia, pemasangan chip elektronik, hingga publikasi identitas pelaku.

Selain itu, pasal-pasal tertentu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), seperti Pasal 287, 290, 292, dan 296, juga relevan diterapkan dalam konteks hukum pidana umum terhadap pelaku kekerasan seksual. Penekanan diberikan bahwa sistem hukum di Indonesia sudah sangat progresif, namun pelaksanaannya membutuhkan dukungan penuh dari masyarakat untuk menjadi bagian dari pengawasan sosial.

Tanda-Tanda dan Pola Kekerasan

Athar menjelaskan pentingnya mengenali gejala awal atau red flags dari kekerasan seksual, karena korban—terutama anak—kerap kali tidak menyadari bahwa dirinya menjadi sasaran kekerasan, atau bahkan takut berbicara. Tanda-tanda tersebut antara lain:

  • Perubahan perilaku mendadak seperti menjadi murung, agresif, atau menarik diri.

  • Ketakutan yang tidak biasa terhadap orang dewasa tertentu.

  • Gangguan tidur atau mimpi buruk berkepanjangan.

  • Luka fisik yang tidak wajar, terutama di area sensitif.

  • Ucapan atau perilaku seksual yang tidak sesuai dengan usia anak.

Dalam hal ini, orang tua, guru, dan tenaga pendidik diharapkan memiliki sensitivitas dan keberanian untuk bertanya dan bertindak. Peningkatan literasi emosi dan komunikasi antara anak dan orang dewasa sangat ditekankan.

Vinna menutup sesi dengan menyampaikan bahwa masyarakat tidak perlu ragu melaporkan jika mendapati dugaan kekerasan seksual terhadap anak. Ia menekankan bahwa setiap warga negara memiliki kewajiban moral dan hukum untuk mencegah serta melindungi anak dari kekerasan seksual.

Peran Strategis Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat

Dalam sesi dialog, para peserta diajak aktif berdiskusi mengenai bagaimana menciptakan lingkungan ramah anak serta pemahaman tentang pentingnya peran strategis keluarga, sekolah, dan lingkungan dalam menciptakan ruang tumbuh yang aman bagi anak.

Para peserta sepakat bahwa pencegahan kekerasan seksual terhadap anak tidak bisa dilepaskan dari peran aktif keluarga, khususnya orang tua. Jaksa Athar menekankan pentingnya komunikasi terbuka dan pendidikan seksualitas sesuai usia. Orang tua diimbau untuk lebih peka terhadap perubahan sikap anak yang bisa menjadi indikasi awal terjadinya kekerasan.

“Jangan sampai anak-anak kita merasa lebih nyaman curhat di luar rumah. Itu artinya, ada yang salah dalam komunikasi keluarga,” ujar Athar di hadapan peserta.

Sejumlah ketua komite sekolah mengemukakan tantangan yang mereka hadapi, mulai dari kurangnya literasi orang tua hingga keengganan membicarakan isu sensitif karena dianggap tabu.

Sementara itu, Jaksa Vinna menyoroti pentingnya peran sekolah sebagai “zona aman” bagi anak. Ia mengajak para komite dan kepala sekolah untuk mengevaluasi ulang prosedur keamanan di sekolah, termasuk sistem antre kamar mandi, pengawasan guru saat jam kosong, hingga akses keluar-masuk sekolah.

“Komite sekolah jangan hanya sibuk saat penggalangan dana. Peran mereka sangat strategis dalam menciptakan kebijakan perlindungan anak di lingkungan pendidikan,” tegas Vinna.

Beberapa lurah dan kepala sekolah berbagi pengalaman bagaimana mereka mulai menerapkan SOP perlindungan anak, termasuk menyediakan guru konselor dan ruang aman di lingkungan sekolah. Sementara, tantangan yang mengemuka adalah keterbatasan tenaga pengajar dan ruang belajar di beberapa sekolah dasar negeri.

Sesi dialog ini pun menyoroti peran lingkungan sosial dalam membangun sistem deteksi dini dan intervensi cepat. Masyarakat diajak untuk lebih berani melaporkan kasus-kasus yang mencurigakan, tanpa takut akan stigma atau tekanan sosial. Beberapa peserta menyebut pentingnya posyandu remaja dan forum warga sebagai media edukasi berkelanjutan.

Camat Cipayung yang turut hadir dalam kegiatan ini menyampaikan apresiasi atas antusiasme peserta. Ia menekankan pentingnya kerja kolaboratif lintas sektor.

“Kita tidak bisa membebankan ini hanya kepada sekolah atau kejaksaan. Perlindungan anak adalah tanggung jawab kita bersama, sebagai masyarakat yang ingin menciptakan generasi sehat dan bermartabat,” ujarnya.

Komitmen Berkelanjutan

Kejaksaan Negeri Depok menyampaikan bahwa kegiatan serupa akan dilanjutkan secara rutin dengan melibatkan lebih banyak lapisan masyarakat. Fokus tidak hanya pada pencegahan kekerasan seksual, tetapi juga isu-isu lain yang berkaitan dengan kejahatan terhadap anak dan perempuan.

Dengan dukungan lintas elemen—dari pemerintah kecamatan, lurah, komite sekolah, hingga warga—program penerangan hukum ini diharapkan mampu membangun benteng sosial yang tangguh dalam mencegah kekerasan terhadap anak, terutama di wilayah rawan dan padat penduduk seperti Cipayung.

Langkah Praktis dan Mekanisme Pelaporan

Ada tiga komponen penting yang disepakati sebagai titik tekan dalam sesi aksi mitigatif:

  • Call Center dan Posyandu Terdepan
    Kejaksaan menggarisbawahi perlunya penguatan fungsi Posyandu dan call center desa/kelurahan sebagai garda awal penanganan kasus kekerasan anak. Warga diimbau menggunakan kanal-kanal pelaporan tersebut sebagai jalur pertama pengaduan. Menurut Vinna Inka, banyak kasus kekerasan seksual terhadap anak tidak tertangani bukan karena tidak terjadi, melainkan karena tidak dilaporkan.
  • Rujukan Cepat dan Terintegrasi
    Khusus untuk korban, Kejari menekankan pentingnya protokol emergency response. Anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual harus segera mendapat akses pendampingan hukum, layanan psikologis, dan perawatan medis dalam waktu kurang dari 24 jam sejak pelaporan. Dalam konteks ini, keterlibatan Unit Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (UPT PPA), Dinas Sosial, dan kepolisian menjadi krusial.
  • Follow-Up dan SOP Kolektif
    Langkah berikutnya adalah penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) pencegahan yang melibatkan Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, serta lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD). Dalam diskusi, muncul usulan untuk menyusun protokol khusus di sekolah-sekolah, termasuk kewajiban sekolah menunjuk guru pendamping perlindungan anak serta pelaporan berkala kepada kecamatan.

Dialog Multi-Aktor yang Membangun

Camat Cipayung membuka forum dengan nada optimistis. Ia mengajak seluruh lurah dan pemangku kepentingan untuk tidak hanya hadir secara fisik, tetapi juga aktif mengambil bagian dalam kampanye sadar hukum. Dukungan dari pemerintahan tingkat bawah menjadi kunci mobilisasi.

“Perlindungan anak tidak cukup dengan peraturan. Ia butuh sistem yang hidup, yang bisa bergerak secara kolektif dari RT sampai ke jenjang kota,” ujarnya.

Forum ini menjadi katalis terbentuknya jaringan koordinasi antarelemen masyarakat, dengan Kejari Depok sebagai pusat simpulnya. Jaksa Athar bahkan menyatakan kesiapan lembaganya membuka sesi konsultasi hukum secara periodik bagi warga, khususnya guru dan kader Posyandu yang kerap menjadi garda depan lapangan.

Melalui pendekatan ini, Kejari Depok berharap bisa memantik kesadaran kolektif sekaligus mengokohkan pencegahan kekerasan seksual terhadap anak sebagai agenda permanen, bukan sekadar program musiman. Di tengah maraknya isu yang menimpa generasi muda, langkah hukum dan sosial harus berjalan beriringan—melindungi bukan hanya tubuh anak-anak, tapi juga masa depan mereka.

BSP GROUP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *