Kerja Sama Antar Wilayah Jadi Solusi Atasi Kemacetan dan Ketimpangan Transportasi Jabodetabek

ARY
Ilustrasi upaya tangani kemacetan dan transportasi di Jabodetabek. (Foto: Unsplash/Marcel Ardivan)

adainfo.id – Upaya membenahi transportasi publik di kawasan Jabodetabek memasuki babak baru setelah Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung memimpin Rapat Koordinasi Transportasi Terintegrasi dan Terpadu di Balai Agung, Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (29/10/2025).

Pertemuan tersebut dihadiri oleh para kepala daerah dari Bogor, Bekasi, Depok, Tangerang, dan Tangerang Selatan.

Agenda ini menjadi momentum penting dalam membangun kesepahaman lintas wilayah untuk menyelesaikan masalah kemacetan dan integrasi sistem transportasi di kawasan metropolitan terbesar di Indonesia.

Pramono menegaskan bahwa penyelesaian persoalan transportasi di Jakarta tidak dapat dilakukan secara parsial.

Menurut Pramono, Jakarta dan wilayah sekitarnya harus bersinergi karena mobilitas warga Jabodetabek saling terhubung setiap hari.

“Karena bagaimanapun, untuk mengatasi persoalan transportasi di Jakarta tidak bisa sendirian, harus bersama-sama dengan daerah-daerah yang ada. Terutama Bogor, Bekasi, Depok, Tangerang, Tangerang Selatan. Dan tadi kepala daerahnya hadir,” papar Pramono dikutip Rabu (29/10/2025).

Bahas Pengembangan Transjabodetabek dan Fasilitas Park and Ride

Dalam rapat tersebut, Pramono bersama para kepala daerah membahas sejumlah isu strategis.

Termasuk pengembangan sistem Transjabodetabek, pembangunan park and ride, serta integrasi sistem transportasi antarwilayah.

Terkait park and ride, Pramono mengusulkan agar fasilitas tersebut disediakan oleh masing-masing daerah penyangga.

Fasilitas parkir terintegrasi ini akan menjadi titik peralihan warga luar Jakarta yang ingin berpindah dari kendaraan pribadi ke moda transportasi umum seperti MRT, LRT, maupun Transjabodetabek.

“Kami mengusulkan untuk ini yang disediakan oleh daerah-daerah setempat, karena ini menjadi tempat parkir mereka dan tentunya akan ada revenue untuk parkir dan sebagainya,” beber Pramono.

Rencana ini juga diharapkan dapat menekan volume kendaraan pribadi yang masuk ke Jakarta setiap hari.

Dengan demikian, beban lalu lintas di jalan utama ibu kota dapat berkurang secara signifikan.

Integrasi Sistem Transportasi dan Pembangunan TOD

Pramono juga menyoroti pentingnya integrasi transportasi antar wilayah. Ia menekankan bahwa upaya mengatasi kemacetan tidak boleh hanya memindahkan masalah dari satu wilayah ke wilayah lain.

Penanganan di satu titik tidak boleh menimbulkan masalah baru di wilayah lain.

Sebagai bagian dari integrasi transportasi, pemerintah juga tengah mengembangkan konsep Transit Oriented Development (TOD) di sejumlah titik strategis.

Pramono menyebut pembangunan kawasan berbasis transit itu akan dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta bersama PT MRT Jakarta, dengan lokasi prioritas di Blok M, Dukuh Atas, dan Bundaran HI.

“Walaupun prinsipnya manajemennya tetap dari Pemerintah DKI, tapi pelaksana di lapangannya adalah dari MRT. Dan ini tahun depan segera akan kita mulai,” jelas Pramono.

Konsep TOD ini akan menggabungkan hunian, perkantoran, dan area publik yang terkoneksi langsung dengan transportasi massal.

Tujuannya agar masyarakat memiliki alternatif mobilitas yang efisien tanpa bergantung pada kendaraan pribadi.

Penyesuaian Tarif Transjakarta dan Beban Subsidi

Selain membahas integrasi transportasi, rapat juga menyinggung soal subsidi transportasi publik.

Pramono menyebut bahwa Pemprov DKI Jakarta masih menanggung beban subsidi cukup besar untuk operasional Transjakarta, yakni mencapai Rp9.700 per tiket.

Namun, Pramono menegaskan, penyesuaian tarif yang akan diberlakukan nanti tidak akan membebani masyarakat.

Terutama bagi 15 golongan penerima tarif gratis yang sebelumnya telah diatur pemerintah provinsi.

“Kan terlalu berat kalau terus-menerus seperti itu, apalagi DBH-nya dipotong. Maka untuk itu, kami akan melakukan penyesuaian, tetapi tidak memberatkan kepada 15 golongan karena tetap gratis, sehingga mereka tetap kita proteksi,” ungkap Pramono.

Keputusan ini diambil menyusul adanya pemotongan Dana Bagi Hasil (DBH) dari pemerintah pusat, yang berdampak langsung pada kemampuan fiskal Pemprov DKI dalam memberikan subsidi besar untuk layanan transportasi publik.

Kajian Tarif Transportasi dan Dampak Fiskal

Disisi lain, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Syafrin Liputo, mengungkapkan bahwa pihaknya terus melakukan kajian mendalam terkait kemampuan dan kemauan masyarakat dalam membayar tarif transportasi atau dikenal dengan Ability to Pay (ATP) dan Willingness to Pay (WTP).

Kajian ini, kata Syafrin, diperbarui setiap tahun untuk menjaga keseimbangan antara beban subsidi dan kemampuan warga.

Syafrin menjelaskan, tingkat cost recovery atau pengembalian biaya operasional Transjakarta saat ini hanya sebesar 14 persen.

Sehingga pemerintah harus menanggung subsidinya hingga 86 persen.

“86 persen ini sekarang kita terkoreksi tadi dengan DBH, pemotongan DBH sehingga ini berpengaruh terhadap kapasitas fisikal Jakarta,” tukas Syafrin.

Kondisi tersebut menjadi salah satu alasan pemerintah daerah harus lebih cermat dalam menentukan kebijakan subsidi dan tarif baru.

Meski demikian, layanan publik tetap menjadi prioritas utama.

BSP GROUP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *