Kisah Pemulung TPA Cipayung Depok, Puluhan Tahun Mengais Hidup dari Sampah

ARY
Suasana para pemulung yang tengah mengais rezeki di gunungan sampah TPA Cipayung, Kota Depok, Selasa (29/7/2025). (Foto: adainfo.id)

adainfo.id – Di balik aroma menyengat dan pemandangan tak sedap dari gunungan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cipayung, Kota Depok, tersembunyi kisah perjuangan yang tak banyak diketahui publik.

Di antara sekian banyak pemulung yang lalu-lalang sejak pagi, seorang wanita bernama Sumarni menjadi simbol keteguhan hati dan harapan hidup yang tak pernah padam.

Berbekal karung besar dan alat penjepit sampah, Sumarni menapaki jalan berlumpur dan licin, menyusuri tumpukan limbah rumah tangga dan industri dengan satu tujuan, mengais rezeki demi menyambung hidup.

Usianya tak lagi muda, dan tubuhnya yang mulai renta pun tak menghentikannya.

“Saya mah hampir 20 tahun di sini, dari masih ada suami sampai sekarang sudah sendiri,” tuturnya, Selasa (29/7/2025).

Mensyukuri Penghasilan yang Didapatkan

Ketika alat berat mulai mengaduk dan memindahkan tumpukan sampah segar, Sumarni dan rekan-rekannya sudah bersiaga.

Mereka berpacu dengan waktu, mengincar botol plastik, logam bekas, dan potongan kardus yang masih bisa dijual.

Setiap satu kilogram barang bekas, Sumarni hanya mendapatkan sekitar Rp2.000.

Dalam sehari, bila beruntung, ia bisa membawa pulang sekitar Rp20.000 dari 10 kilogram rongsokan.

Angka yang jauh dari kata layak, namun cukup untuk membeli sebungkus nasi atau menambal kebutuhan pokok lainnya.

Dua Dekade Mengais Rezeki, Dua Anak Lulus SMK

Kisah Sumarni bukan hanya tentang kemiskinan. Ini adalah narasi keteguhan, pengorbanan, dan cinta tanpa batas.

Sejak sang suami meninggal beberapa tahun lalu, Sumarni menjadi tulang punggung keluarga.

Meski hanya mengandalkan penghasilan tak menentu dari pemungutan sampah, ia berhasil menyekolahkan dua anaknya hingga lulus Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

“Iya, nyekolahin aja sampai SMK gitu aja, itu sedikit demi sedikit,” ungkapnya.

Kini, kedua anaknya telah menikah dan hidup mandiri. Namun Sumarni tetap memilih bekerja di TPA Cipayung.

Bukan karena tidak ada pilihan, melainkan karena ia tak ingin membebani anak-anak yang sudah ia perjuangkan dengan sepenuh hati.

Potret Ketimpangan dan Minimnya Perlindungan Sosial

Kondisi Sumarni mencerminkan potret buram ketimpangan sosial di pinggiran kota.

Di tengah gencarnya pembangunan dan digitalisasi, masih banyak masyarakat marginal seperti Sumarni yang hidup dari sisa-sisa peradaban.

Minimnya akses terhadap jaminan sosial, fasilitas kesehatan, dan bantuan usaha mikro menjadikan para pemulung sangat rentan karena mereka bekerja di lingkungan berbahaya tanpa perlindungan memadai.

BSP GROUP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *