Konsumsi Pangan Sehat Masih Jadi Tantangan di Indonesia, Kenapa?

ARY
Ilustrasi konsumsi pangan sehat di Indonesia masih menjadi tantangan. (Foto: Unsplash/Eiliv Aceron)

adainfo.id – Indonesia kembali menjadi sorotan setelah laporan The State of Food Security and Nutrition in the World (SOFI) tahun 2025 mengungkap fakta mengejutkan.

Sebanyak 43,5 persen penduduk Indonesia dikatan dalam laporan tersebut diketahui tidak mampu membeli pangan sehat.

Keterbatasan akses dan tingginya biaya menjadi alasan utama mengapa sebagian besar masyarakat belum bisa mengonsumsi makanan bergizi seimbang.

Temuan ini mencerminkan tantangan besar bagi pemerintah dan masyarakat dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional yang inklusif.

Pangan Sehat Masih Jadi Barang Mewah di Indonesia

Guru Besar Bidang Teknologi Pangan Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Sri Raharjo, menegaskan bahwa kebutuhan pangan sehat di Indonesia memang relatif mahal.

Ia menyebutkan, untuk memenuhi asupan protein nabati dan hewani saja, biaya yang dibutuhkan cukup besar.

“Nah kalau mau menjangkau yang tadi protein nabati, protein hewani, itu nanti nilainya sehari-hari bisa mencapai 40 ribu. Jadi kalau menurut standarnya, pandunya itu 2,5 dolar lah. Nah itu kalau dirupiahkan ya kira-kira 40 ribu lebih sedikit,” paparnya dikutip dari laman UGM, Senin (10/11/2025).

Sri menjelaskan, kebutuhan gizi ideal bagi setiap individu setidaknya sebesar 2.150 kkal per hari untuk tiga kali makan.

Jumlah ini terdiri atas karbohidrat, protein, mineral, dan vitamin yang harus dipenuhi secara seimbang.

Namun, kenyataannya tidak semua masyarakat mampu memenuhi kebutuhan tersebut.

Sebagian besar hanya mengandalkan sumber karbohidrat seperti nasi, sementara asupan protein, terutama protein hewani yang masih sangat terbatas karena harganya yang tinggi.

“Komponen utama dari kalori makanan yang diandalkan hanya sekedar karbohidrat. Sedangkan komponen protein itu relatif terbatas. Karena nanti kalau sudah masuk pada pangan-pangan yang mengandung protein, terutama protein hewani harganya akan lebih mahal,” ucapnya.

Biaya Pangan Sehat Bisa Capai Rp5 Juta per Bulan

Sri memperkirakan, untuk memenuhi kebutuhan gizi seimbang satu orang dewasa per bulan bisa menghabiskan biaya hingga Rp1,2 juta.

Artinya, satu keluarga dengan empat anggota keluarga membutuhkan dana sekitar Rp5 juta per bulan hanya untuk makan sehat.

“Nah sekarang, berapa banyak rumah tangga atau kepala keluarga itu yang penghasilannya katakan 2 kali dari itu. Kalau ditetapkan pada nilai segitu, sepertinya proporsi kepala keluarga atau rumah tangga yang penghasilannya katakan sekurangnya 10 juta. Itu mungkin kurang dari 30% penduduk Indonesia,” bebernya.

Dengan proporsi tersebut, jelas bahwa mayoritas masyarakat Indonesia belum memiliki daya beli yang cukup untuk mengonsumsi makanan bergizi lengkap.

Hal ini memperkuat hasil laporan SOFI yang menyatakan hampir setengah penduduk negeri ini tidak mampu membeli pangan sehat.

Ketergantungan Impor Jadi Penyebab Harga Melonjak

Mahalnya harga makanan sehat di Indonesia tidak lepas dari keterbatasan produksi dalam negeri.

Sri menjelaskan bahwa sejumlah bahan pangan seperti daging, susu, dan jagung masih harus dipenuhi melalui impor.

“Hal ini dikarenakan produksi pangan yang terbatas sehingga tidak tercukupi untuk pemenuhan kebutuhan, maka harus dipenuhi melalui impor,” ujarnya.

Bahkan, lanjut Sri, hampir 80 persen kebutuhan susu sebagai sumber protein di Indonesia masih bergantung pada pasokan impor.

Kondisi ini membuat harga pangan sangat dipengaruhi oleh fluktuasi pasar global.

“Harga di pasar dunia itu kecenderungannya akan selalu naik ya, karena juga ketersediaannya yang untuk bisa dijual di pasar dunia dari negara-negara pengekspor itu kan juga semakin dibatasi,” jelasnya.

Ia menambahkan bahwa negara-negara pengekspor kini lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan pangan domestik, sehingga pasokan ke pasar internasional berkurang.

“Hal ini dikarenakan negara-negara pengekspor tersebut mengutamakan pemenuhan pangannya di negaranya masing-masing dulu,” tuturnya.

Pemerintah Diminta Jaga Produksi dan Akses Daya Beli

Untuk mengatasi permasalahan pangan yang kompleks ini, Sri Raharjo menilai pemerintah memiliki dua pekerjaan rumah besar yakni menjaga ketersediaan pangan dan meningkatkan daya beli masyarakat.

Menurutnya, menjaga ketersediaan pangan tidak bisa dilakukan tanpa dukungan produksi dalam negeri yang kuat.

Jika produksi masih rendah, impor menjadi langkah tak terhindarkan. Namun, impor juga perlu dikelola dengan bijak agar tidak membuat ketergantungan jangka panjang.

“Kalau kemampuan produksi dalam negerinya itu memang rendah, ya pasti harus dibantu dengan impor. Impor juga tidak bisa tiba-tiba langsung dikurangi atau dihentikan, karena akan membuat pasokan pangan dalam negeri kita menjadi berisiko kalau bahan pangan impor kurang,” tandasnya.

Pentingnya kebijakan strategis yang tidak hanya fokus pada produksi pangan.

Akan tetapi juga memperhatikan aspek distribusi dan daya beli masyarakat.

Sebab, pangan sehat tidak akan dapat diakses oleh semua orang jika harganya tetap tinggi dan penghasilan masyarakat tidak meningkat.

BSP GROUP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *