Kuwu Jatiseeng Soroti Abainya Perusahaan terhadap Lingkungan dan CSR

KIM
Kawasan komersil yang berada di Desa Jatiseeng, Kabupaten Cirebon (foto: adainfo.id)

adainfo.id – Sorotan tajam kembali ditujukan kepada sejumlah perusahaan besar yang beroperasi di wilayah Desa Jatiseeng, Kecamatan Ciledug, Kabupaten Cirebon, setelah Kepala Desa Soemarno menyatakan kekecewaannya atas minimnya kontribusi sosial perusahaan, terutama terkait program Corporate Social Responsibility (CSR) dan penyerapan tenaga kerja lokal.

Dalam keterangannya pada Selasa (24/6/2025), Soemarno menegaskan bahwa pemerintah desa sangat terbuka terhadap investasi, namun kehadiran investor semestinya juga membawa manfaat langsung dan berkelanjutan bagi masyarakat setempat.

“Kami welcome dengan pengusaha, karena itu bisa mendongkrak ekonomi warga. Tapi jangan cuma datang, bangun usaha, lalu pergi tanpa meninggalkan manfaat nyata bagi masyarakat,” tegas Soemarno.

Proyek Dedy Jaya, Apita, dan Wizzme Disorot

Beberapa proyek besar yang menjadi sorotan dalam pernyataan Soemarno di antaranya adalah pembangunan hotel Dedy Jaya, Apita, dan tempat hiburan-resto Wizzme, yang semuanya berada di wilayah administratif Desa Jatiseeng.

Soemarno menyatakan bahwa dalam setiap proyek pembangunan, pemerintah desa memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan informasi dan melakukan sosialisasi kepada masyarakat, terutama terkait izin tetangga dan dampak lingkungan.

“Kami sudah sosialisasikan pembangunan Wizzme ke warga. Meski ada pro dan kontra, mayoritas masyarakat memberikan izin. Tapi saya tekankan, kewenangan Pemdes sebatas mengetahui, bukan sebagai pihak pemberi izin formal,” jelasnya.

Ia juga menegaskan bahwa perizinan teknis, termasuk Amdal Lalin, adalah wewenang instansi di tingkat kabupaten maupun provinsi. Dengan demikian, desa hanya bertindak sebagai penghubung antara masyarakat dan pihak pengembang.

Permintaan 50 Persen Tenaga Lokal Tak Digubris

Kekecewaan yang paling mendalam, menurut Soemarno, adalah ketika permintaan agar perusahaan memberikan kuota minimal 50 persen tenaga kerja untuk warga lokal tidak dipenuhi. Hal ini dianggap sangat tidak adil, mengingat perusahaan-perusahaan tersebut beroperasi di atas tanah dan lingkungan milik warga setempat.

“Kami minta 50 persen tenaga kerja dari warga sini. Itu tuntutan wajar. Tapi faktanya, perusahaan-perusahaan ini seperti tuli. CSR pun nihil. Tidak ada kontribusi berarti,” ungkap Soemarno dengan nada kecewa.

Ia juga menyinggung soal banyaknya investor yang berasal dari luar daerah, bahkan luar Cirebon, yang dianggap tidak memiliki ikatan emosional dan tanggung jawab sosial terhadap lingkungan sekitar usaha.

“Banyak yang datang dari luar Cirebon, tapi tidak punya sensitivitas terhadap lingkungan tempat mereka berbisnis. Itu sangat disayangkan,” tambahnya.

Soemarno menilai bahwa mentalitas transaksional seperti ini harus dikoreksi, apalagi ketika perusahaan memanfaatkan infrastruktur dan tenaga lokal, namun tidak memberikan kompensasi sosial yang layak.

Isu Warung Remang-Remang dan Tempat Hiburan

Menjawab isu yang berkembang terkait warung remang-remang dan hiburan malam yang dikaitkan dengan tempat hiburan baru seperti Wizzme, Soemarno meminta masyarakat untuk tidak cepat menarik kesimpulan negatif.

“Kita jangan membahas yang ke sana dulu. Karena izinnya awalnya tempat bioskop dan biliar keluarga. Kalau nanti berbeda, kita akan lihat dan evaluasi. Tapi untuk sekarang, kami hanya fokus pada proses pembangunan yang sudah disetujui warga,” terangnya.

Dorongan Adanya Kepastian Komitmen CSR

Lebih jauh, Kepala Desa Jatiseeng ini menegaskan perlunya komitmen tertulis atau hitam di atas putih antara perusahaan dan pemerintah desa terkait tanggung jawab sosial.

Ini penting untuk mencegah pelanggaran moral dan administratif yang bisa muncul setelah perusahaan berjalan.

“Sudah saatnya perusahaan-perusahaan itu sadar bahwa mereka berkembang juga karena berada di tanah warga Jatiseeng. Harus ada timbal balik, bukan sekadar numpang untung,” katanya.

Soemarno juga menyebutkan, bila perlu, desa akan mendorong agar ada peraturan lokal atau Perdes yang mengatur secara tegas tentang kontribusi minimal perusahaan terhadap desa, baik dalam bentuk CSR, pembangunan sarana umum, maupun penyerapan tenaga kerja.

BSP GROUP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *