Longsor Gunung Kuda: Antara Kemanusiaan dan Regulasi
adainfo.id – Tragedi longsor yang melanda kawasan Gunung Kuda di Desa Cipanas, Kecamatan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon, menyisakan duka mendalam. Tidak hanya menelan korban jiwa, tetapi juga mengguncang tatanan sosial dan ekonomi ratusan kepala keluarga. Sementara jeritan warga menuntut kepastian dan bantuan, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Cirebon masih berkutat dalam keraguan regulatif—antara kemanusiaan dan kehati-hatian administratif.
Hingga Senin (2/6/2025), status tanggap darurat bencana belum juga ditetapkan. Padahal, di lapangan, suasana mencekam dan penderitaan warga sudah sangat terasa. Ratusan warga kehilangan rumah, pekerjaan, dan akses dasar lainnya. Namun, Pemkab Cirebon menyatakan bahwa penetapan status tersebut masih menunggu arahan dan konsultasi teknis dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Sekretaris Daerah Kabupaten Cirebon, Hilmy Rivai, menyebutkan bahwa keputusan harus diambil secara hati-hati agar tidak berbenturan dengan aturan hukum di kemudian hari.
“Kami ingin membantu para korban secepatnya. Tapi jika dasar hukumnya lemah, itu bisa jadi bumerang. Jangan sampai niat baik justru melanggar aturan,” kata Hilmy kepada awak media usai rapat koordinasi penanggulangan bencana lintas sektor.
Faktor Penyebab Longsor Menjadi Sorotan
Menurut penuturan sejumlah pihak, bencana longsor Gunung Kuda lebih banyak dipicu oleh aktivitas manusia, khususnya pertambangan batu di sekitar area rawan. Hal ini menjadi pertimbangan bagi Pemkab Cirebon untuk lebih cermat dalam menetapkan status bencana.
Namun demikian, fakta bahwa sejumlah warga tewas dan ratusan lainnya terdampak secara ekonomi dan sosial tetap harus menjadi prioritas.
“Kalau melihat penyebabnya, memang ada faktor manusia. Tapi dampaknya luar biasa. Ini menyangkut nasib 213 kepala keluarga,” ujar Hilmy.
Skema Bantuan Akan Tetap Dijalankan
Meski status tanggap darurat belum ditetapkan secara resmi, Pemkab Cirebon memastikan tidak akan meninggalkan korban begitu saja. Menurut Hilmy, berbagai opsi bantuan sedang disusun, baik melalui skema Belanja Tidak Terduga (BTT), tanggap darurat evakuasi, maupun mekanisme pemulihan sosial.
“Pemkab tetap akan hadir. Kita tunggu legal opinion dari BPKP. Kalau status tidak bisa ditetapkan sebagai bencana alam, kita akan pakai skema evakuasi atau bantuan sosial lainnya,” paparnya.
Langkah konsultasi yang ditempuh antara BPBD, bagian hukum, dan BPKP dinilai sebagai wujud kehati-hatian dalam penggunaan anggaran publik, agar tidak menimbulkan masalah hukum di kemudian hari.
Dampak Sosial-Ekonomi yang Mengakar
Selain menimbulkan korban jiwa, longsor juga membuat aktivitas ekonomi warga setempat lumpuh. Banyak dari mereka yang menggantungkan hidup dari pekerjaan di sektor tambang dan jasa di sekitar lokasi terdampak.
“Jika galian ditutup, maka ratusan orang akan kehilangan pekerjaan. Itu harus diantisipasi oleh dinas terkait, bukan hanya BPBD. Ini lintas sektor,” ujar Hilmy dengan tegas.
Pemkab juga berjanji akan mengkoordinasikan langkah-langkah lanjut dengan instansi seperti Dinas Sosial, Dinas Ketenagakerjaan, hingga Dinas Pendidikan, guna menjamin keberlangsungan hidup warga, termasuk anak-anak sekolah yang orang tuanya menjadi korban.
Salah satu pernyataan menarik dari Hilmy adalah bahwa Pemkab tidak akan terjebak dalam perdebatan status. Bahkan jika Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebelumnya telah menyatakan bahwa insiden ini masuk dalam skala tanggap darurat, Pemkab Cirebon tetap fokus pada substansi bantuan.
“Kami tidak ingin larut dalam polemik status. Yang penting korban tertangani, kebutuhan dasar mereka dipenuhi, dan pemulihan berjalan,” katanya.
Prinsip Kemanusiaan Diutamakan
Dalam bencana semacam ini, aspek kemanusiaan menjadi prioritas utama. Hilmy menegaskan bahwa bantuan tidak akan dibatasi hanya bagi warga ber-KTP Cirebon. Siapa pun yang terdampak, termasuk dari luar kabupaten, tetap akan mendapatkan perhatian, meskipun mungkin dalam bentuk bantuan yang berbeda.
“Prinsip kita adalah kemanusiaan. Ada anak-anak korban, ada orang tua yang kehilangan rumah. Semua harus ditangani dengan hati,” tegasnya.
Di tengah ketidakpastian status, masyarakat Cipanas berharap pemerintah bisa lebih cepat dan tanggap. Suara dari lapangan menyoroti perlunya tempat pengungsian layak, bantuan logistik, dan akses kesehatan. Kelambanan dalam merespons bisa berdampak pada meningkatnya risiko sekunder, seperti penyakit, trauma psikologis, hingga potensi konflik sosial.
Warga juga meminta agar kegiatan pertambangan dievaluasi secara menyeluruh. “Jangan sampai bencana ini terulang. Harus ada audit lingkungan,” kata Irma, warga setempat.
Tragedi longsor Gunung Kuda adalah alarm keras bagi tata kelola kebencanaan dan lingkungan di daerah. Kebijakan tidak bisa hanya berbasis hukum administratif, melainkan harus sensitif terhadap kondisi kemanusiaan.
Pemkab Cirebon kini dihadapkan pada tugas berat: tidak hanya memulihkan kondisi warga terdampak, tetapi juga menata ulang sistem mitigasi dan pengawasan lingkungan agar kejadian serupa tidak kembali menelan korban.