Manajemen Informasi Hulu ke Hilir Dinilai Vital dalam Penanganan Bencana

ARY
Ilustrasi penguatan informasi sistem peringatan dini bencana hidrometeorologi. (Foto: Pixabay/Tumisu)

adainfo.id – Pengelolaan informasi kebencanaan yang andal, terintegrasi, dan berkelanjutan dari hulu ke hilir menjadi fondasi utama dalam pengurangan risiko bencana hidrometeorologi di Indonesia.

Penegasan tersebut disampaikan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Teuku Faisal Fathani, menyusul masih tingginya frekuensi bencana banjir, longsor, dan cuaca ekstrem di berbagai wilayah Tanah Air.

Menurut Faisal, informasi yang kuat dan berbasis sains menjadi kunci dalam mendukung sistem peringatan dini, mitigasi, hingga pengambilan keputusan kebencanaan yang efektif dan tepat sasaran.

Faisal mengungkapkan, berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), bencana di Indonesia masih didominasi oleh kejadian hidrometeorologi, seperti banjir, tanah longsor, dan cuaca ekstrem.

Fenomena dinamika atmosfer, termasuk pengaruh siklon tropis seperti Cempaka, Seroja, dan Senyar, turut memperparah intensitas hujan ekstrem yang berujung pada bencana.

“Secara umum trennya terus meningkat dari tahun ke tahun, sehingga kewaspadaan dan kesiapsiagaan harus diperkuat secara berkelanjutan,” tutur Faisal dikutip Kamis (18/12/2025).

BMKG Berperan di Hulu Sistem Peringatan Dini

Dalam sistem manajemen risiko bencana, BMKG berperan sebagai penyedia data dan informasi di bagian hulu.

“BMKG berada di hulu. Kami menyediakan data, kemudian didukung big data dan analisis. Selanjutnya, di Disaster Management Command Center ditetapkan langkah-langkah yang harus dilakukan,” paparnya.

Ia menjelaskan, hasil analisis cuaca dan iklim tersebut selanjutnya didiseminasikan melalui berbagai kanal komunikasi.

Mulai dari peringatan dini resmi, media sosial, hingga aplikasi perpesanan.

Diseminasi yang cepat, akurat, dan mudah dipahami menjadi faktor penentu agar peringatan dini benar-benar mendorong aksi nyata di lapangan.

“Intinya BMKG bekerja di hulu memberikan early warning. Harapannya, nanti dapat tidak hanya sampai pesan peringatan dininya, tapi juga dapat dipahami dan menimbulkan aksi penyelamatan atau early action menuju Zero Victim,” ungkapnya.

Didukung Ribuan Peralatan dan Sistem Peringatan Multi-Bahaya

Untuk memperkuat sistem peringatan dini nasional, BMKG saat ini mengoperasikan lebih dari 191 Unit Pelaksana Teknis (UPT) di seluruh Indonesia.

Operasional tersebut didukung sekitar 10.800 peralatan utama, termasuk 44 radar cuaca berstandar World Meteorological Organization (WMO), stasiun Global Atmosphere Watch (GAW), serta dua superkomputer yang berlokasi di Jakarta dan Bali.

BMKG juga mengelola berbagai sistem peringatan dini berbasis multi-bahaya, seperti Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS).

Kemudian, Meteorological Early Warning System (MEWS), dan Tropical Cyclone Warning Center (TCWC).

Sistem-sistem tersebut dirancang untuk memberikan peringatan yang cepat, akurat, dan dapat diandalkan dalam menghadapi potensi bencana.

Operasi Modifikasi Cuaca hingga Edukasi Publik

Selain penguatan teknologi peringatan dini, BMKG juga menjalankan Operasi Modifikasi Cuaca (OMC) sebagai bagian dari upaya mitigasi dampak cuaca ekstrem.

Langkah ini dilakukan untuk menekan risiko banjir serta kebakaran hutan dan lahan di wilayah rawan bencana.

Faisal menekankan bahwa penguatan teknologi harus berjalan beriringan dengan peningkatan kapasitas masyarakat.

Karena itu, BMKG secara konsisten melaksanakan berbagai program edukasi.

Seperti Sekolah Lapang Cuaca bagi nelayan, literasi iklim untuk generasi muda, BMKG Goes to School, hingga kunjungan edukatif ke kantor-kantor BMKG.

Berbagai materi edukasi dan video mitigasi bencana juga disediakan melalui kanal resmi BMKG.

“Kita terus meningkatkan pelibatan masyarakat melalui berbagai pembelajaran, pengajaran, dan edukasi yang berkelanjutan,” tuturnya.

Faisal menegaskan bahwa pengelolaan risiko bencana tidak dapat dilakukan oleh satu lembaga saja.

Kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, akademisi, dunia usaha, dan masyarakat dinilai menjadi prasyarat utama dalam membangun ketangguhan nasional terhadap bencana.

Menurutnya, pembangunan yang berorientasi pada keselamatan dan kesiapsiagaan akan menentukan kemampuan bangsa dalam menghadapi tantangan perubahan iklim dan bencana di masa depan.

BSP GROUP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *