Mayoritas Petani Cirebon Masih Andalkan Pupuk Kimia
adainfo.id – Mayoritas petani di Kabupaten Cirebon, khususnya petani sawah, masih mengandalkan pupuk kimia dalam kegiatan pertanian mereka. Pilihan ini dipicu oleh keinginan petani untuk mendapatkan hasil cepat tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap kesuburan tanah.
“Petani kita masih banyak yang memilih pupuk kimia karena hasilnya cepat terlihat. Tapi mereka lupa bahwa penggunaan pupuk kimia secara terus-menerus bisa menyebabkan tanah menjadi asam dan merusak struktur tanah,” ujar Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon, Deni Nurcahya, Kamis (04/09/2025).
Menurut Deni, dampak penggunaan pupuk kimia memang tidak langsung terlihat, namun jika dilakukan secara berulang dalam jangka panjang, kondisi tanah akan semakin sulit dipulihkan. Hal ini berpotensi mengganggu produktivitas pertanian di masa depan.
Lebih jauh, Deni menekankan bahwa penggunaan pupuk organik secara konsisten justru bisa memulihkan kualitas tanah. Meski pertumbuhan tanaman lebih lambat dibanding penggunaan pupuk kimia, dampak positifnya terasa signifikan untuk keberlanjutan pertanian.
“Kalau kita bicara jangka panjang, pupuk organik jauh lebih menguntungkan. Tanah bisa kembali subur, kadar organiknya stabil, dan tidak ada efek samping pada kualitas air maupun ekosistem,” jelas Deni.
Ia menyebutkan, salah satu misi utama Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon adalah mendorong kesadaran petani agar lebih berani mencoba sistem pertanian organik. Namun, upaya ini membutuhkan proses edukasi yang konsisten dan dukungan kebijakan dari pemerintah daerah.
Pertanian Organik Sudah Ada, Tapi Masih Terbatas
Meski belum masif, titik-titik pertanian organik di Cirebon mulai tumbuh, terutama di Palimanan dan Gegesik Kidul. Namun, penerapannya masih sebatas sampling karena mayoritas petani belum sepenuhnya yakin dengan hasil produksi.
“Memang belum banyak yang beralih. Salah satu tantangan utama adalah kekhawatiran petani terhadap penurunan hasil panen. Ini yang harus kita edukasi terus-menerus agar mereka paham bahwa meski hasil awal lebih sedikit, nilai tambahnya jauh lebih tinggi,” tambah Deni.
Menurutnya, pasar pertanian organik justru berkembang cukup baik, karena konsumen mulai sadar akan pentingnya pangan sehat. Namun, keterbatasan produksi membuat harga beras organik relatif lebih mahal dibanding beras konvensional.
Shobirin, Petani Organik yang Bertahan Mandiri
Salah satu figur yang menjadi contoh nyata perjuangan petani organik di Cirebon adalah Mohammad Shobirin, petani milenial asal Desa Sampih, Kecamatan Susukanlebak. Selama tujuh tahun terakhir, Shobirin konsisten mengelola lahan sawah seluas satu hektare dengan sistem pertanian organik.
Ia menuturkan, meskipun tidak pernah tersentuh program atau bantuan pemerintah daerah maupun DPRD setempat, dirinya tetap berkomitmen untuk menghasilkan beras organik. Bahkan, beras organik produksinya kini memiliki pelanggan tetap setiap musim panen.
“Alhamdulillah, walaupun tanpa bantuan pemerintah, kami tetap bisa panen dan ada pembelinya. Artinya, pasar organik itu ada, tinggal bagaimana pemerintah serius atau tidak mendukung,” ungkap Shobirin.
Dapat Bantuan dan Dukungan Perbankan
Tahun ini, perjuangan Shobirin sedikit mendapat angin segar. Sebagai Ketua Kelompok Taruna Tani di Susukanlebak, ia menerima bantuan berupa traktor roda dua untuk mendukung pengolahan lahan. Selain itu, kelompoknya juga mendapatkan akses Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk memperluas kegiatan pertanian.
Bagi Shobirin, dukungan tersebut menjadi langkah awal meskipun belum sepenuhnya menjawab kebutuhan petani organik. Ia menekankan bahwa perhatian pemerintah harus lebih merata agar petani muda semakin terdorong untuk beralih ke sistem pertanian ramah lingkungan.
Bantuan Pupuk Hayati Cair Masih Terbatas
Selain dukungan alat, pemerintah juga mulai memperkenalkan Pupuk Hayati Cair (PHC) sebagai alternatif pupuk kimia. Tahun ini, dua kelompok tani di wilayah Susukanlebak berhasil mendapatkan bantuan PHC dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Namun, Deni Nurcahya mengakui jumlah bantuan PHC masih sangat terbatas. “Baru dua kelompok yang bisa kami fasilitasi bantuan PHC tahun ini karena kuotanya memang terbatas. Harapan kami, tahun depan lebih banyak kelompok tani yang bisa mendapatkan bantuan ini secara bergantian,” katanya.
Menurutnya, PHC terbukti dapat mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia sekaligus membantu meningkatkan produktivitas pertanian secara berkelanjutan. Oleh karena itu, ia menilai perlu ada kebijakan lebih serius dari pemerintah pusat hingga daerah untuk memperluas distribusi bantuan ini.
Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon menilai bahwa kunci utama keberhasilan transisi dari pupuk kimia ke pupuk organik adalah edukasi petani. Banyak petani yang masih ragu karena faktor kebiasaan dan keterbatasan informasi.
“Kalau petani tahu manfaat organik, mereka pasti mau mencoba. Masalahnya, selama ini mereka sudah terbiasa dengan pupuk kimia. Perlu ada pendampingan intensif agar perubahan bisa berjalan,” tegas Deni.
Ia juga menambahkan bahwa dukungan kelompok tani, lembaga keuangan, hingga akademisi bisa menjadi jembatan dalam mempercepat transformasi pertanian organik di Kabupaten Cirebon.