Membangun Budaya Diskusi dalam Keluarga

Komunikasi Keluarga (ilustrasi) (foto: chatGPT, prompt by adainfo.id)

Budaya diskusi dalam lingkungan keluarga memainkan peran krusial dalam membentuk karakter individu, meningkatkan kemampuan berpikir kritis, serta menciptakan ruang keterbukaan emosional antara anak dan orangtua.

Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, pola komunikasi dalam keluarga sering kali dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya yang diwariskan lintas generasi. Perbedaan ini tidak hanya memengaruhi cara menyampaikan pendapat, tetapi juga menentukan sejauh mana anggota keluarga merasa aman dan dihargai saat berdialog.

Seiring dengan munculnya generasi digital yang lebih ekspresif dan egaliter, sering terjadi ketimpangan persepsi dan pendekatan komunikasi antara anak dan orangtua yang dibesarkan dalam sistem nilai yang lebih konservatif dan hierarkis.

Artikel ini bertujuan untuk mengkaji dinamika tersebut melalui lensa Teori Konteks Tinggi dan Konteks Rendah yang dikembangkan oleh Edward T. Hall, sebagai salah satu pendekatan komunikasi antar budaya yang relevan dalam menjelaskan perbedaan gaya komunikasi berdasarkan konteks budaya.

Dengan menggunakan metode kualitatif dan pendekatan studi literatur, analisis difokuskan pada bagaimana pola komunikasi yang berakar dari budaya konteks tinggi (seperti kecenderungan tidak langsung, penghindaran konflik, dan penekanan pada keharmonisan sosial) sering kali bertabrakan dengan tuntutan keterbukaan dan kejelasan dari budaya konteks rendah yang lebih disukai oleh generasi muda.

Temuan dalam artikel ini menunjukkan bahwa miskomunikasi antar generasi dalam keluarga tidak semata-mata disebabkan oleh kurangnya kedekatan emosional, melainkan lebih karena perbedaan kerangka berpikir budaya dalam memaknai komunikasi.

Oleh karena itu, dibutuhkan upaya yang sistematis dan sadar dari kedua belah pihak untuk membangun ruang diskusi yang tidak hanya menghormati perbedaan nilai, tetapi juga membuka peluang untuk kolaborasi antargenerasi.

Artikel ini menyajikan sejumlah rekomendasi praktis untuk mendorong terciptanya budaya diskusi yang sehat, dialogis, dan setara dalam lingkungan keluarga Indonesia masa kini.

Komunikasi antara anak dan orangtua merupakan salah satu aspek mendasar dalam pembangunan kualitas relasi keluarga. Di tengah perkembangan sosial, budaya, dan teknologi yang pesat, gaya komunikasi dalam keluarga Indonesia juga mengalami transformasi.

Generasi muda (Gen Z dan Alpha) tumbuh dalam budaya komunikasi yang lebih terbuka dan ekspresif, sementara banyak orangtua berasal dari latar budaya yang menjunjung tinggi hierarki dan keharmonisan.

Perbedaan ini kerap menimbulkan ketegangan saat menghadapi perbedaan pendapat atau saat anak mencoba menyampaikan pandangan mereka. Dalam konteks inilah budaya diskusi menjadi penting, yakni suatu bentuk komunikasi yang memungkinkan pertukaran pikiran secara sehat, terbuka, dan saling menghargai.

Namun, bagaimana perbedaan budaya komunikasi antar generasi memengaruhi dinamika diskusi antara anak dan orangtua? Artikel ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan menggunakan Teori Konteks Tinggi dan Konteks Rendah sebagai kerangka analisis utama.

Edward T. Hall (1976) memperkenalkan konsep konteks tinggi (high-context) dan konteks rendah (low-context) dalam komunikasi antar budaya. Dalam budaya komunikasi konteks tinggi, makna pesan tidak hanya terdapat dalam kata-kata yang diucapkan, melainkan sangat bergantung pada konteks non-verbal, relasi, dan norma sosial yang sudah dipahami bersama. Sebaliknya, budaya konteks rendah mengutamakan kejelasan, eksplisit, dan langsung dalam menyampaikan maksud komunikasi.

Budaya konteks tinggi, seperti yang terdapat di Jepang, Korea, atau Indonesia, mengedepankan komunikasi yang tersirat dan tidak langsung. Makna tidak hanya terletak pada kata-kata yang diucapkan, tetapi juga pada nada suara, ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan konteks sosial di sekitarnya. Dalam budaya seperti ini, diam bisa berarti setuju, dan sebuah isyarat halus bisa mengandung pesan yang sangat penting. Komunikasi yang terlalu eksplisit sering kali dianggap kasar atau tidak sopan.

Sebaliknya, budaya konteks rendah, seperti di Amerika Serikat, Jerman, atau negara-negara Skandinavia, mengutamakan komunikasi yang langsung, jelas, dan eksplisit. Dalam budaya ini, kejelasan pesan adalah segalanya. Apa yang dikatakan adalah apa yang dimaksud, tanpa perlu menebak-nebak makna tersembunyi di balik kata-kata. Transparansi dan keterusterangan dianggap sebagai bentuk kejujuran dan efisiensi.

Perbedaan ini juga mencolok dalam aspek hubungan sosial. Budaya konteks tinggi cenderung hierarkis dan sangat menghargai struktur kelompok. Hubungan antarindividu dijalani dengan rasa hormat terhadap posisi sosial, usia, atau status profesional. Loyalitas terhadap kelompok — entah itu keluarga, komunitas, atau perusahaan — menjadi nilai utama. Dalam lingkungan kerja, atasan jarang dikritik secara terbuka dan keputusan dibuat berdasarkan konsensus yang tidak selalu tersurat.

Sebaliknya, dalam budaya konteks rendah, hubungan lebih egaliter dan berorientasi individu. Pendapat pribadi sangat dihargai, bahkan jika itu berbeda dari pandangan kelompok atau pimpinan. Di tempat kerja, bawahan dapat dengan terbuka menyampaikan kritik atau ide kepada atasannya tanpa dianggap tidak sopan. Sistem sosial cenderung datar, dengan partisipasi aktif dari tiap individu dalam pengambilan keputusan.

Konsekuensinya, konteks sosial memiliki pengaruh yang sangat besar dalam budaya konteks tinggi. Di sinilah letak tantangan terbesar bagi orang dari budaya konteks rendah ketika berinteraksi dalam lingkungan yang berbeda. Mereka bisa keliru mengira bahwa seseorang tidak memiliki pendapat, padahal ia sedang menunjukkan rasa hormat melalui diam. Sebaliknya, orang dari budaya konteks tinggi bisa merasa tersinggung dengan gaya bicara langsung yang mereka tafsirkan sebagai kasar, padahal itu adalah bentuk efisiensi dan keterbukaan.

Di era globalisasi, pemahaman terhadap perbedaan ini menjadi sangat penting. Komunikasi antarbudaya yang efektif menuntut sensitivitas dan kemampuan menyesuaikan diri. Kita perlu menyadari bahwa tidak ada pendekatan yang lebih baik atau lebih buruk, melainkan berbeda. Ketika dua budaya saling berinteraksi tanpa memahami latar belakang komunikasinya, salah paham sangat mudah terjadi — dan bisa berdampak besar, mulai dari perpecahan tim kerja hingga kegagalan diplomasi.

Oleh karena itu, membangun kesadaran lintas budaya bukanlah pilihan, melainkan keharusan. Pendidikan, pelatihan lintas budaya, dan empati menjadi kunci utama agar kita bisa membangun jembatan antara perbedaan, bukan tembok pemisah. Sebab di balik semua perbedaan itu, komunikasi tetaplah tentang satu hal: menyampaikan dan menerima makna secara utuh.

Dalam konteks keluarga Indonesia, terutama yang masih menjunjung nilai budaya Timur, komunikasi orangtua cenderung bersifat konteks tinggi. Sementara generasi muda yang terpapar budaya global dan digital, cenderung menggunakan gaya konteks rendah.

Budaya Diskusi dalam Keluarga: Potret Realitas

  • Diskusi sebagai Cermin Budaya Keluarga

Dalam keluarga yang terbiasa berdiskusi, anak cenderung merasa dihargai dan memiliki ruang untuk mengekspresikan pendapat. Namun, masih banyak keluarga di Indonesia yang menganggap bahwa diskusi, terutama saat anak berbeda pendapat dengan orangtua, merupakan bentuk perlawanan atau tidak sopan.

Sebuah survei oleh Komnas Perempuan (2022) menyebutkan bahwa 63% anak remaja merasa tidak bebas berdiskusi dengan orangtuanya, terutama dalam hal nilai, pilihan pendidikan, dan pergaulan. Hal ini memperlihatkan masih kuatnya nilai-nilai konteks tinggi dalam pola asuh.

  • Ketimpangan Kekuasaan dalam Komunikasi

Diskusi idealnya adalah hubungan horizontal. Namun dalam banyak keluarga Indonesia, relasi komunikasi antara orangtua dan anak lebih bersifat vertikal. Hierarki usia dan status dianggap sebagai penguat legitimasi dalam mengambil keputusan, bahkan dalam hal yang berkaitan dengan kehidupan pribadi anak.

Sebagaimana dijelaskan dalam teori Hall, dalam budaya konteks tinggi, orangtua lebih mengandalkan isyarat sosial dan ekspektasi implisit, sementara anak yang terbiasa dengan budaya konteks rendah menginginkan kejelasan, transparansi, dan logika rasional dalam dialog.

Analisis Intergenerasi: Ketika Dunia Anak dan Orangtua Tidak Selaras

  • Gaya Komunikasi yang Bertabrakan

Generasi orangtua (Boomers dan sebagian Gen X) cenderung menggunakan gaya komunikasi yang mengandalkan “kode diam”: misalnya, “diam berarti setuju”, “tatapan berarti peringatan”, atau “tidak perlu dibahas, cukup dimengerti”. Sebaliknya, anak-anak Gen Z tumbuh dengan media sosial dan teknologi digital yang mendorong budaya berbicara, menyatakan pendapat, dan berekspresi secara verbal.

Perbedaan ini sering menimbulkan ketegangan. Anak merasa tidak dipahami, sementara orangtua merasa anak terlalu banyak bicara. Padahal, ketidaksamaan ini bukan semata karena kurangnya cinta, melainkan karena perbedaan budaya komunikasi.

  • Isu Sensitif: Topik yang Dianggap Tabu

Banyak keluarga masih menganggap diskusi tentang seksualitas, kesehatan mental, atau pilihan gaya hidup sebagai topik yang tabu. Dalam budaya konteks tinggi, pembahasan hal-hal ini dianggap tidak pantas, bahkan memalukan. Sebaliknya, anak-anak masa kini menganggap isu-isu tersebut penting dan perlu dibicarakan secara terbuka.

Fenomena ini menunjukkan bahwa bukan anak tidak sopan, tetapi budaya diskusi belum menjadi praktik yang umum diterapkan dalam keluarga.

Implikasi Sosial dan Psikologis

Kurangnya ruang diskusi dalam keluarga berisiko menciptakanm Kesenjangan emosional antara anak dan orangtua, Stres psikologis pada anak yang merasa tidak didengarkan, Rendahnya kemampuan berpikir kritis karena anak tidak terbiasa mengemukakan pendapat secara argumentative, Rendahnya kepercayaan diri karena opini anak kerap diabaikan atau dianggap remeh. Penelitian dari UNICEF Indonesia (2021) menunjukkan bahwa remaja yang memiliki hubungan komunikasi terbuka dengan orangtua memiliki tingkat kebahagiaan dan ketahanan mental 38% lebih tinggi dibandingkan yang tidak.

Upaya Membangun Budaya Diskusi dalam Keluarga

  • Menggeser Pola dari Konteks Tinggi ke Konteks Seimbang

Orangtua tidak perlu sepenuhnya mengubah gaya komunikasi, tetapi dapat mengembangkan fleksibilitas dalam berdialog. Misalnya, tetap menjaga nilai sopan santun namun memberi ruang anak untuk menyatakan perbedaan pendapat secara terbuka.

  • Mengganti Reaksi dengan Refleksi

Alih-alih menghakimi atau langsung menolak pandangan anak, orangtua dapat mencoba bertanya balik: “Mengapa kamu berpikir seperti itu?” atau “Ceritakan lebih banyak biar ayah/ibu bisa paham.”

  • Membiasakan Forum Keluarga

Meluangkan waktu tertentu setiap minggu untuk berdiskusi dalam suasana santai tanpa interupsi gadget dapat menjadi cara efektif membangun budaya diskusi.

  • Pendidikan Komunikasi Inklusif

Membekali orangtua dan anak dengan keterampilan mendengarkan aktif, berempati, dan menyampaikan pendapat secara konstruktif dapat memperkuat hubungan.

Oleh karena itu, budaya diskusi dalam keluarga bukan sekadar soal siapa yang lebih pandai berbicara atau siapa yang harus mendengar. Lebih dari itu, diskusi adalah jembatan—yang menghubungkan dunia orangtua dan anak yang mungkin dibentuk oleh zaman, nilai, dan cara pandang yang berbeda.

Sering kali, ketegangan yang muncul saat berbicara dengan anggota keluarga bukan karena kurangnya cinta, melainkan karena kita dibesarkan dalam gaya komunikasi yang berbeda. Orangtua, yang tumbuh dalam budaya konteks tinggi, terbiasa dengan pesan yang tersirat, isyarat halus, dan aturan tidak tertulis. Anak-anak hari ini, sebaliknya, hidup dalam dunia yang menuntut keterbukaan, kejelasan, dan ruang untuk bertanya.

Namun, perbedaan bukan alasan untuk saling menjauh. Justru dari perbedaan itulah kita bisa belajar saling mengisi. Diskusi tidak harus selalu disepakati, tapi setidaknya dipahami. Kita tidak harus selalu sepaham, tapi bisa saling mendengarkan. Dan mendengarkan, dalam bentuknya yang paling tulus, adalah wujud cinta yang sering kali lebih bermakna daripada sekadar memberi nasihat.

Budaya diskusi yang sehat dalam keluarga tidak hadir dalam semalam. Ia tumbuh dari kebiasaan sederhana: saling memberi ruang, saling ingin tahu, dan saling percaya bahwa setiap suara layak diperdengarkan. Ketika keluarga menjadi tempat yang aman untuk bertanya dan berpendapat, maka di sanalah tumbuh harapan akan generasi yang lebih kritis, empatik, dan terbuka.

Sebab, pada akhirnya, diskusi bukan tentang menang atau kalah, tetapi tentang tumbuh bersama. Semoga kita sebagai anak maupun orangtua mampu membangun budaya komunikasi yang sarat akan makna untuk bertumbuh dalam keluarga.

 

Penulis

Dinda Dwimanda

Mahasiswi Magister Ilmu Komunikasi, Universitas Sahid Jakarta

BSP GROUP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *