Menang di MA, Juju Juriyah Tetap Diusir
adainfo.id – Nasib tragis dialami Juju Juriyah, seorang ibu rumah tangga asal Desa Citemu, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon. Meski telah memperoleh kemenangan hukum hingga Mahkamah Agung (MA) dalam sengketa rumah yang dibelinya secara sah, ia justru menghadapi ancaman pengosongan rumah oleh Pengadilan Negeri (PN) Sumber.
Ironi ini mendorong Juju untuk menyuarakan jeritannya melalui surat terbuka kepada Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto dan sejumlah pejabat tinggi negara, termasuk Ketua Mahkamah Agung, Menteri ATR/BPN, Gubernur Jawa Barat, hingga Satgas Mafia Tanah.
Perjalanan Panjang Kasus Rumah Juju
Kisah memilukan ini bermula pada tahun 2011, saat Juju membeli sebuah rumah dari seorang pria bernama Ishak, dengan harga lebih dari Rp150 juta.
Transaksi dilakukan secara sah di hadapan notaris Vincentia Marjana, SH, dengan dasar hukum Akta Jual Beli Nomor 90/2011 dan objek berupa sertifikat hak milik (SHM) Nomor 131.
Transaksi ini, menurut Juju, disaksikan langsung oleh istri Ishak, ibu tirinya, dan pihak Bank BJB Cabang Lemahabang, karena sebagian dana pembelian digunakan untuk melunasi utang Ishak di bank tersebut. Rumah itu kemudian ditempati dan direnovasi oleh Juju bersama keluarganya.
Namun alih-alih berakhir damai, Ishak justru menggugat Juju ke Pengadilan Negeri Sumber. Perjuangan panjang melalui proses peradilan dari tingkat pertama, banding, hingga kasasi, berakhir dengan kemenangan Juju, setelah Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi Ishak melalui Putusan Nomor 550 K/Pdt/2016.
Dengan putusan itu, sertifikat kepemilikan resmi diganti atas nama Juju Juriyah.
Rumah Diduga Dijual Lagi oleh Pihak yang Sama
Alih-alih mereda, kasus ini justru memasuki babak baru yang lebih pelik. Juju mengungkapkan bahwa rumah yang sudah sah dimilikinya diduga telah dijual kembali oleh Ishak kepada pihak lain, seorang pria bernama Hendra, tanpa sepengetahuan atau izin darinya sebagai pemilik sah.
Hal yang lebih mencengangkan terjadi pada 18 Juni 2025, saat petugas dari Pengadilan Negeri Sumber datang ke rumah Juju dan memintanya mengosongkan rumah.
Padahal, menurut Juju, tidak ada surat pemberitahuan resmi sebelumnya, dan dirinya masih memiliki kekuatan hukum tetap atas rumah tersebut.
“Saya sudah ajukan permohonan ke pengadilan agar proses eksekusi dihentikan, tapi petugas tetap datang. Ini sungguh tidak masuk akal. Saya menang, tapi tetap dianggap kalah,” ujar Juju dalam konferensi pers.
Surat Terbuka Kepada Presiden dan Jeritan Keadilan
Karena merasa semua jalur hukum di daerah buntu, Juju menulis dan membacakan surat terbuka kepada Presiden Prabowo Subianto, memohon agar kasusnya mendapat perhatian langsung dari pemimpin tertinggi negara. Dalam surat itu, ia menuduh adanya praktek mafia tanah dan dugaan kolusi dalam proses hukum di daerahnya.
“Bagaimana mungkin saya yang sudah menang di Mahkamah Agung justru disuruh mengosongkan rumah sendiri? Di mana letak keadilan?” katanya lirih.
Juju berharap Presiden, Ketua MA, dan Satgas Mafia Tanah dapat turun tangan untuk membuka tabir kasus ini secara terang benderang, karena menurutnya ini bukan hanya soal sengketa pribadi, tetapi menyangkut kredibilitas sistem hukum di Indonesia.
“Saya hanya ibu rumah tangga biasa. Saya tidak punya kekuasaan. Yang saya punya hanya satu: surat sah dan putusan pengadilan yang sudah inkrah. Tapi itu pun tidak cukup untuk membuat saya tenang tinggal di rumah sendiri,” tambahnya.
Potret Suram Penegakan Hukum dan Seruan Transparansi
Kasus yang dialami Juju Juriyah kini menjadi simbol potret buram penegakan hukum di Indonesia, di mana putusan berkekuatan hukum tetap bisa tak berarti apa-apa ketika berhadapan dengan kekuatan non-yuridis yang tak terlihat.
Kritik juga muncul dari sejumlah aktivis hukum dan pengamat agraria, yang menyebut kasus ini menggambarkan lemahnya sistem perlindungan terhadap pemilik sah tanah dan properti.
Di media sosial, banyak warganet yang menyuarakan solidaritas terhadap Juju, menjadikan tagar #KeadilanUntukJuju mulai berseliweran di berbagai platform sebagai bentuk dukungan publik.
Seiring dengan viralnya kisah ini, sejumlah organisasi masyarakat sipil dan pemerhati kebijakan publik juga mulai menyuarakan panggilan tegas kepada aparat penegak hukum dan pemerintah daerah, agar tidak membiarkan kasus seperti ini terus terjadi dan menjadi preseden buruk bagi rasa keadilan masyarakat.
Permintaan utamanya adalah evaluasi terhadap praktik eksekusi yang terindikasi tidak sesuai prosedur, serta audit terhadap status kepemilikan lahan yang sudah diputuskan pengadilan.
“Jika ini dibiarkan, masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap hukum. Padahal kepercayaan publik adalah fondasi utama negara hukum,” ucap seorang pengamat hukum pertanahan dari Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon.