Ngobrol Bareng Anak Zaman Now
Pernah nggak sih orang tua merasa seperti bicara ke tembok waktu ngobrol sama anak? Atau justru anak merasa, “Duh, Ayah Ibu nggak ngerti aku banget!” Nah, itu tandanya ada kesenjangan komunikasi antar generasi yang seringkali bikin hubungan orang tua dan anak gak berasa jadi renggang.
Sering kali kita berpikir komunikasi antarbudaya hanya terjadi antarnegara atau antar suku yang butuh banget pengertian antar individu yang terjalan dalam perbedaan tersebut. Namun budaya bisa dilihat dari banyak lapisan, termasuk generasi.
Zaman berubah cepat, dan begitu pula cara orang berkomunikasi. Tak heran jika percakapan antara orang tua dan anak kadang terasa seperti bicara dalam frekuensi yang berbeda. Satu bicara pakai “kode”, yang lain menunggu penjelasan langsung. Perbedaan gaya hidup, cara berpikir, hingga cara mengekspresikan perasaan antara orang tua dan anak menciptakan jarak yang tak kasat mata.
Orang tua sering merasa “tak nyambung”, sementara anak merasa “tidak dipahami”. Di sinilah tantangan komunikasi antar generasi sering muncul bukan karena tak sayang, tapi karena tak selalu nyambung.
Anak-anak zaman sekarang atau Gen Z dan Alpha tumbuh dalam dunia digital, dengan arus informasi yang cepat dan terbuka. Mereka lebih ekspresif, kritis, dan terbiasa mengutarakan opini.
Sementara itu, orang tua terutama dari generasi X atau Boomer dibesarkan dengan nilai-nilai ketundukan, sopan santun yang kaku, dan cara berkomunikasi yang lebih tertutup terbiasa dengan stablitas dan hierarki. Akibatnya, sering muncul kesenjangan komunikasi. Orang tua merasa anak tidak menghormati. Anak merasa orang tua tidak mendengarkan.
Orang tua ingin dihargai sebagai yang lebih tahu. Anak ingin diakui sebagai pribadi yang setara seperti dua orang dari “negara budaya” yang berbeda. Hidup serumah, tapi tidak selalu sejalan dalam cara menyampaikan dan memahami pesan.
Tidak jarang, percakapan sederhana bisa berubah jadi perdebatan, hanya karena masing-masing ingin didengar dan dipahami. Orang tua merasa lebih tahu karena pengalaman, sementara anak ingin dianggap cukup dewasa untuk membuat pilihan. Akhirnya, komunikasi pun jadi tegang, bahkan menjauh. Sebagaimana menurut Stella Ting-Toomey dengan teorinya ” Face Negotiation Theory” bahwa setiap orang ingin menjaga citra dirinya.
Zaman boleh beda, tapi satu hal tetap sama: semua orang ingin dihargai. Itu juga yang terjadi saat orang tua dan anak zaman sekarang ngobrol atau bahkan berdebat kadang suasananya bisa panas, bukan karena benci, tapi karena sama-sama ingin citranya dijaga.
Pernah nggak orang tua bicara ke anak “Kamu masih kecil, dengerin orang tua!. Sementara anak menjawab ”Tapi aku juga punya pendapat! Aku nggak mau asal nurut!”. Ini seperti pertengkaran biasa.
Tapi kalau dilihat dari kacamata Face Negotiation Theory, keduanya sedang berjuang menjaga citra diri. Orang tua ingin terlihat bijak dan dihormati dan anak ingin dianggap cukup dewasa dan mandiri. Sayangnya, kalau dua-duanya keras kepala dan tak saling memahami, komunikasi bisa jadi jalan buntu.
Padahal, komunikasi yang hangat dan penuh cinta tetap bisa terjalin kok. Komunikasi tetap menjadi jembatan utama untuk membangun hubungan yang harmonis. Perbedaan budaya antar generasi bukan untuk dipertentangkan, tapi dijembatani.
Komunikasi dapat dibangun jika kedua pihak menyadari perbedaan dan bersedia beradaptasi. Komunikasi tetap menjadi jembatan utama untuk membangun kedekatan yang harmonis. Perbedaan budaya antar generasi bukan untuk dipertentangkan, tapi untuk dipahami dan dijembatani.
1001 Cinta dan Drama: Relasi Orang Tua dan Remaja
Salah satu panduan yang bisa banget jadi pegangan adalah Modul 1001 Cinta dan Drama: relasi orang tua dan remaja yang dikembangkan dari modul 1001 Cara Bicara Orang Tua dengan Remaja dari Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/BKKBN.
Modul ini menjembatani bahwa cinta di keluarga bukan cuma tentang kasih sayang, tapi juga soal cara berkomunikasi yang saling menghargai, belajar memahami satu sama lain melalui modul edukatif dengan tema seperti kebebasan, perbedaan, emosi, pengaruh teman, batasan, kesepakatan dll. Modul ini dilengkapi dengan tips dua arah yakni dari sudut pandang remaja dan dari sudut pandang orang tua.
Terdapat board games dan aktivitas yang menggembirakan juga dilengkapi contoh-contoh nyata yang disajikan. Materi ini dirancang untuk tidak menggurui, tapi membuka dialog. Tidak membuat merasa disalahkan, tapi mengundang untuk saling memahami.
Modul ini sangat sejalan dengan Face Negotiation Theory, mengajarkan bagaimana menyampaikan pesan tanpa menjatuhkan citra orang lain, menghargai peran masing-masing dalam keluarga serta mendengarkan tanpa menghakimi, sehingga tidak mengancam “face” anak maupun orang tua.
Contohnya alih-alih bilang, “Kamu tuh nggak ngerti hidup,” orang tua bisa bilang “waktu ibu seusiamu, ibu juga pernah merasa bingung. mau dengar cerita ibu?” Atau untuk remaja alih-alih berkata, “Orang tua tuh nggak ngerti!” bisa mulai dengan “Aku pengin cerita, tapi aku harap Mama bisa dengerin dulu sebelum kasih saran.”
Lewat pendekatan penuh cinta dari Modul 1001 Cinta, kita diajak belajar memahami bahwa menjaga hubungan lebih penting daripada memenangkan perdebatan. Kalau bisa saling menjaga “muka” satu sama lain, maka komunikasi bisa jadi jembatan, bukan tembok.
Tips Menjaga Komunikasi Tanpa Menjatuhkan “Face”
Agar komunikasi orang tua-anak lebih menyambung, coba praktikkan tips berikut:
- Dengar dulu baru bicara. Tahan keinginan untuk langsung menasihati. Anak butuh merasa didengarkan dulu. Ini membuat lawan bicara merasa dihargai terutama anak-anak yang mulai belajar menyampaikan isi hati
- Gunakan i-message bukan menyalahkan. Yakni dengan kalimat ke diri daripada ke lawan bicara. Misal ”mama belum bisa tidur menunggu kabar kakak pulang” daripada dengan kalimat ke anak berupa ”Kamu tuh selalu pulang malam nggak nurut!, selalu buat khawatir”
- Perjelas pesan, jangan pakai kode. Seperti ”ibu ingin kamu istirahat sekarang karena besuk sekolah”. Ini jelas dan tidak multitafsir.
- Ajak diskusi bukan adu argumen. Anak akan lebih terbuka kalau mereka merasa pendapatnya dihargai/suaranya ternyata penting bukan hanya disuruh dengar. Dan juga ubah kata “pokoknya jangan!” dganti “menurut kamu, apa risiko dari pilihan itu?”
- Jaga perasaan, bukan sekedar menang debat. Dalam keluarga, komunikasi itu bukan soal siapa yang paling benar namun siapa yang paling peduli. Memahami teori Face Negotiation membantu kita menyadari bahwa setiap kata bisa menjaga, tapi juga bisa melukai.
- Ingat, semua ingin dihargai. Bukan hanya orang tua yang ingin didengar, anak juga ingin dianggap penting. Baik orang tua maupun anak semata-mata punya kebutuhan untuk merasa dihormati.
Komunikasi antar generasi bukan sekadar soal teknis berbicara. bukan soal siapa yang lebih tahu tapi siapa yang mau berempati lebih dalam. Ini adalah soal memahami perbedaan cara memaknai. Keluarga adalah ruang pertama belajar menyampaikan isi hati dan menangkap makna, belajar menjadi manusia yang mampu mendengar, memahami, dan merespons dengan empati.
Tidak harus sama untuk saling mengerti. Jika komunikasi di rumah saja kaku atau salah paham, bagaimana anak belajar membangun hubungan yang sehat di luar sana? Yang dibutuhkan adalah jembatan kesadaran, empati, dan niat untuk menyambung. Karena pada akhirnya, yang dibutuhkan anak bukan hanya orang tua yang hadir, tapi juga yang bisa terhubung bukan hanya lewat kata, tapi lewat pemahaman.
Melalui 1001 Cinta dan Drama membuka pemahaman bahwa relasi orang tua dan remaja bisa didekatkan. Bukan dengan mengatur satu sama lain, tetapi dengan mendengarkan, bukan hanya menasihati namun melalui bertanya dengan empati, bukan dengan curiga, namun memberi ruang berekspresi, bukan menghakimi namun mengelola emosi bersama, bukan pula dengan memendam diam-diam. Karena cinta dalam keluarga tidak cukup hanya dirasakan namun harus diterjemahkan dengan bahasa yang bisa dipahami oleh semua generasi.
Retno Dewanti P.
Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi
Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Sahid Jakarta