Pengusiran Wartawan dari Gedung Pemkab Indramayu, PWI Ciayumajakuning Bereaksi Keras

KIM
Sejumlah wartawan saat berkumpul di kantor Pemda Inderamayu, Jum'at (18/07/25) (foto: Istimewa)

adainfo.id – Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) wilayah Ciayumajakuning —yang meliputi Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan—menyuarakan protes keras atas tindakan Pemerintah Kabupaten Indramayu yang mengeluarkan surat pengusiran terhadap organisasi wartawan dari gedung milik Pemkab.

Langkah ini dinilai bukan sekadar persoalan aset, melainkan serangan halus terhadap kebebasan pers dan kontrol publik dalam demokrasi.

Ketua PWI Majalengka, Pai Supardi, menegaskan bahwa tindakan tersebut harus dilihat sebagai bentuk tekanan birokratik, sebuah sinyal negatif terhadap eksistensi pers dalam sistem demokrasi.

“Ini soal bagaimana pemerintah melihat pers. Wartawan bukan beban atau musuh, tapi mitra strategis,” tegas Pai Supardi, Jumat (18/7/2025).

Menurut Pai, kehadiran wartawan selama ini telah memberikan kontribusi nyata dalam menyampaikan progres pembangunan dan bertindak sebagai pengawas jalannya pemerintahan. “Pengusiran ini memperlihatkan sikap anti-kritik yang mencemaskan.”

Preseden Buruk dan Kemunduran Demokrasi

Pernyataan senada disampaikan Ketua PWI Kuningan, Nunung Khazanah, yang menganggap pengusiran tersebut sebagai preseden buruk yang dapat berdampak sistemik.

“Kalau ini dibiarkan, bisa jadi tren. Ini kemunduran demokrasi yang nyata. Organisasi wartawan sah dan menjalankan fungsi publik,” ujarnya dengan tegas.

Nunung menyoroti potensi domino effect jika pemerintah daerah lain meniru langkah serupa. Ia memperingatkan bahwa ruang kebebasan pers di daerah dapat tergerus jika hal ini terus tanpa sanksi.

Sementara itu, ketua PWI Kota Cirebon, Muhamad Alif Santosa, juga menyampaikan kecaman keras atas keputusan sepihak yang dianggapnya menabrak prinsip musyawarah dan saling menghargai.

“Keputusan ini sewenang-wenang. Mana penghormatan terhadap profesi wartawan? Harusnya cari solusi bersama, bukan main usir,” cetus Alif.

Menurutnya, gedung yang selama ini menjadi tempat koordinasi wartawan dan pemerintah daerah justru mendukung keterbukaan informasi publik. Tanpa kehadiran media di ‘basis’, akses informasi bisa menjadi terisolasi.

Kebebasan Pers Tergerus Politik Lokal?

Ketua PWI Kabupaten Cirebon, Mamat Rahmat, secara tajam menduga bahwa motif politik pasca Pilkada mempengaruhi keputusan tersebut, bukan sekadar urgensi pengelolaan aset.

“Kalau murni soal aset, seharusnya ada solusi pengganti. Tapi ini dilakukan sepihak, dan di tengah situasi sensitif. Maka patut diduga ada motif lain,” ucapnya.

Mamat mengingatkan bahwa demokrasi daerah tidak boleh keropos cepat hanya karena preseden buruk yang tercecer di level pemerintahan lokal.

“Ruang pers di zaman modern seharusnya diperluas, bukan dikerdilkan,” tegasnya.

Sementara itu, Koordinator Wilayah PWI Ciayumajakuning, Jejep Falahul Alam, menegaskan desakan agar Pemkab Indramayu mencabut surat pengusiran dan membuka dialog konstruktif dengan organisasi wartawan.

“Pers itu pilar keempat demokrasi. Jangan perlakukan wartawan seperti musuh. Kalau gedungnya dibutuhkan, sediakan tempat pengganti yang layak,” ujarnya dengan penuh ketegasan.

Jejep, yang juga mantan Ketua PWI Majalengka dua periode, mengingatkan bahwa wartawan adalah bagian dari rakyat penghasil pajak dan pengguna fasilitas publik, sehingga memiliki hak atas akses fasilitas yang disediakan negara.

Ruang Media di Gedung Pemerintah: Fungsi Strategis

Secara umum, obsesi menyediakan ruang untuk wartawan di lingkungan pemerintahan, terutama daerah, mencerminkan keinginan untuk menyematkan aksesibilitas dan transparansi.

Menteri Komunikasi dan Informatika pun menjelaskan bahwa pengalaman daerah lain menunjukkan manfaat signifikan dari keberadaan media di dalam kompleks pemerintahan.

Para pemerhati kebebasan berekspresi maupun demokrasi lokal menegaskan bahwa jika ruang untuk pers ditutup, maka selain informasi publik terbatas, efek jangka panjang yang terjadi adalah mengkerutnya kontrol sosial terhadap aparat pemerintah.

Wacana publik kini harus didorong ke forum yang lebih terbuka. PWI menuntut penggantian keputusan usir dengan logika damai, seperti:

Dialog antar pemda dan PWI, sebagai komitmen perubahan hubungan secara institusional.

Kesepakatan ruang alternatif berbasis sewa, berbagi ruang, atau kolaborasi dengan dinas lain.

Jika Pemkab Indramayu mampu bertransisi ke cara-cara tersebut, masyarakat di Ciayumajakuning dapat kembali bernapas lega atas kebebasan pers yang tidak terkungkung kekuasaan birokrasi.

BSP GROUP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *