Penyaluran BLT Kesra 2025 di Cirebon Tuai Kecaman
adainfo.id – Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) Kesejahteraan (Kesra) tahun 2025 yang seharusnya menjadi penopang bagi warga kurang mampu justru menimbulkan ironi di Kabupaten Cirebon. Alih-alih memberikan kelegaan, penyaluran BLT Kesra memicu kekecewaan, protes, hingga gejolak sosial di sejumlah desa.
Ketidaktepatan sasaran, distribusi yang tidak merata, serta ketidakjelasan mekanisme penentuan penerima memperburuk situasi.
Di lapangan, banyak warga yang secara ekonomi tergolong mampu masuk ke dalam daftar penerima bantuan. Sebaliknya, warga miskin yang semestinya menjadi prioritas utama malah tidak tersentuh program tersebut.
Kondisi tersebut menimbulkan kecemburuan sosial, memicu kemarahan, dan memperbesar potensi ketegangan di tengah masyarakat.
Di Desa Gumulung Tonggoh, Kecamatan Greged, Kabupaten Cirebon, persoalan ketidaktepatan sasaran tampak mencolok. Beberapa warga yang memiliki penghasilan stabil justru terdaftar sebagai penerima BLT Kesra, sementara warga yang hidup dalam keterbatasan tidak masuk data bantuan.
Salah satu yang merasakan dampak ketidakadilan ini adalah Tarsini (56), warga Blok Buyut. Ia mengaku tidak pernah sekalipun menerima bantuan dari pemerintah, padahal kondisi ekonominya sangat memprihatinkan. Suaminya, Sutaryo (66), bekerja sebagai kuli bangunan dengan penghasilan yang tidak menentu.
“Kami hanya ingin diakui oleh pemerintah. Kami berhak mendapatkan bantuan karena kami memang membutuhkan, baik untuk memenuhi kebutuhan hidup maupun untuk berobat,” ujarnya saat ditemui di depan kantor Desa Gumulung Tonggoh, Jumat (28/11/2025).
Kesalahan pendataan dan ketidaktepatan penetapan penerima membuat situasi semakin panas. Banyak warga yang tidak menerima bantuan mendatangi kantor desa untuk meminta klarifikasi sekaligus menuntut keadilan. Gelombang protes yang datang hampir setiap hari menggambarkan eskalasi ketidakpuasan masyarakat.
Kuwu Gumulung Tonggoh, Agus Saefudin, mengungkapkan bahwa perangkat desa sering kali menjadi sasaran kemarahan warga yang tidak menerima BLT Kesra.
“Kami sering menerima sumpah serapah dari warga yang kecewa. Perangkat desa dan petugas Puskesos menjadi sasaran kemarahan mereka,” ujar Agus.
Agus menegaskan bahwa pemerintah desa telah melakukan verifikasi dan pendataan ulang melalui petugas Puskesos. Namun, ia menekankan bahwa kewenangan penentuan penerima sepenuhnya berada di pemerintah pusat.
“Masyarakat tidak tahu bahwa data penerima bantuan itu dari pusat. Kami di desa tidak punya kewenangan menentukan siapa yang berhak menerima bantuan,” jelasnya.
Petugas Pusat Kesejahteraan Sosial (Puskesos) menjadi pihak yang paling merasakan tekanan langsung dari warga yang kecewa. Mereka tidak hanya menerima aduan, tetapi juga protes yang intens dan emosional. Walaupun mereka bertugas melakukan pengecekan data, kewenangan final tetap berada di tingkat pusat.
Beberapa petugas mengaku kewalahan menghadapi lonjakan keluhan. Warga yang tidak terdaftar merasa tidak diperhatikan, sementara yang terdaftar tetapi tergolong mampu menimbulkan pertanyaan besar tentang validitas data.
Potret Buram Penyaluran BLT Kesra 2025
Kisah yang dialami Tarsini bukan satu-satunya yang menggambarkan persoalan pelik penyaluran BLT Kesra 2025 di Cirebon. Di beberapa desa lain, situasi serupa juga terjadi. Ketidaktepatan sasaran bukan hanya memicu kecemburuan sosial, tetapi juga mengikis kepercayaan masyarakat terhadap program bantuan pemerintah.
Sistem pendataan yang tidak mutakhir, verifikasi yang tidak mendalam, serta kurangnya transparansi dianggap sebagai penyebab utama. Beberapa warga menilai bahwa pemutakhiran data di tingkat pusat tidak sinkron dengan kondisi riil di lapangan.
Di sisi lain, perangkat desa mengaku berada dalam posisi sulit. Mereka menjadi ujung tombak pelayanan, tetapi tidak memiliki kewenangan untuk mengubah data penerima yang sudah ditetapkan dari pusat. Situasi ini menempatkan mereka sebagai pihak yang “dipersalahkan” ketika warga merasa dirugikan.
Desakan Perbaikan Sistem Pendataan dan Penyaluran
Banyak pihak mendorong pemerintah pusat untuk segera memperbaiki mekanisme pendataan dan distribusi bantuan. Pendataan berbasis kondisi lapangan dinilai lebih efektif dibanding hanya mengandalkan data yang diolah secara terpusat tanpa update berkala.
Pemerintah daerah juga diharapkan lebih aktif menjembatani komunikasi antara pusat dan desa agar informasi mengenai kriteria penerima bantuan tersampaikan dengan jelas. Tanpa koordinasi yang baik, konflik horizontal di masyarakat akan terus terjadi.
Transparansi menjadi faktor penting dalam meredam gejolak sosial. Masyarakat berhak mengetahui bagaimana mekanisme penentuan penerima dilakukan, termasuk parameter yang digunakan untuk mengukur kelayakan.
Ketimpangan penyaluran BLT Kesra tidak hanya berdampak ekonomi, tetapi juga memengaruhi hubungan sosial antarwarga. Masyarakat yang merasa tidak diprioritaskan semakin kehilangan kepercayaan terhadap lembaga pemerintah. Situasi ini berpotensi menimbulkan konflik yang lebih besar jika tidak segera ditangani melalui langkah-langkah korektif.
Bantuan sosial seharusnya menjadi instrumen untuk mempersempit kesenjangan dan meningkatkan kesejahteraan. Namun, jika pendataan tidak tepat dan proses distribusi tidak transparan, tujuan utama program akan melenceng dan justru memperbesar jarak sosial.
Situasi yang terjadi di Desa Gumulung Tonggoh menjadi alarm bagi pemerintah pusat. Mekanisme penyaluran BLT harus dibenahi dengan pendekatan yang lebih humanis, akurat, dan responsif terhadap dinamika sosial di lapangan.











