Polemik Batas Wilayah Cirebon–Brebes Berlarut, Pemkab Minta Ketegasan Pemerintah Pusat

KIM
Kepala Bagian Pemerintahan Setda Kabupaten Cirebon, Yadi Wikarsa (foto: adainfo.id)

adainfo.id – Polemik batas wilayah antara Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat, dan Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah, hingga kini belum menemui kejelasan hukum yang final.

Meski sejumlah pertemuan koordinasi lintas pemerintah daerah dan kementerian telah dilakukan, penyelesaiannya justru mandek tanpa tindak lanjut konkret dari pemerintah pusat.

Kondisi ini membuat Pemerintah Kabupaten Cirebon angkat bicara dan mendesak Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) agar segera mengambil keputusan tegas terkait status batas administratif di wilayah yang telah lama menjadi titik rawan tumpang tindih klaim wilayah.

Segmen Cirebon–Kuningan Lebih Progresif, Brebes Masih Mandek

Kepala Bagian Pemerintahan Setda Kabupaten Cirebon, Yadi Wikarsa, mengungkapkan bahwa dibanding segmen batas wilayah lainnya, penyelesaian batas dengan Kabupaten Brebes justru menjadi yang paling lambat.

Ia menyebut, segmen Cirebon–Kuningan bahkan sudah memasuki tahap finalisasi dan tinggal menunggu penandatanganan Permendagri.

“Sudah dibahas di kementerian untuk titik simpul perbatasan Cirebon, Kuningan, dan Brebes. Tapi sampai sekarang pembahasan lanjutan dengan Brebes belum ada kejelasan,” kata Yadi, Minggu (15/06/2025).

Fenomena Tanah Timbul Picu Perdebatan Baru

Secara umum, Yadi menyebut tak ada konflik fisik antarwilayah yang signifikan di lapangan. Patokan batas alam seperti Sungai Cisanggarung sejauh ini masih menjadi acuan utama kedua belah pihak. Namun, persoalan baru muncul akibat fenomena alam tanah timbul, yaitu daratan baru hasil sedimentasi sungai.

Tanah timbul yang awalnya disepakati sebagai wilayah Jawa Barat, kini sebagian pihak mengklaim sebagai bagian dari Jawa Tengah setelah terjadi perubahan aliran sungai.

“Tanah timbul awalnya disepakati masuk Jawa Barat, tetapi setelah aliran sungai baru terbentuk, ada yang mengklaim masuk ke Jawa Tengah. Padahal selama ini dikelola oleh masyarakat Kabupaten Cirebon,” jelasnya.

Salah satu titik yang kini menjadi pusat perdebatan berada di Desa Tawangsari, Kecamatan Losari. Warga setempat, yang selama ini menggantungkan hidup dari hasil pertanian di wilayah tanah timbul tersebut, merasa resah akibat ketidakpastian status administratif lahan yang mereka kelola.

Perlu Ketegasan Pemerintah Pusat

Yadi menegaskan bahwa persoalan batas administratif lintas provinsi kini sepenuhnya berada dalam ranah kewenangan pemerintah pusat.

Untuk itu, ia berharap ada intervensi yang lebih tegas dari Kemendagri, demi mencegah persoalan ini berkembang menjadi potensi konflik sosial.

“Jika dibiarkan berlarut, persoalan batas bisa saja menjadi sumber friksi antarwilayah di masa depan,” ujarnya.

Dampak Langsung: Pelayanan Publik hingga Pajak Daerah

Meski hingga kini belum memicu konflik sosial terbuka, Yadi mengingatkan bahwa masalah batas wilayah seperti ini memiliki implikasi serius terhadap layanan publik, kepemilikan lahan, bahkan distribusi pajak daerah.

Ketidakjelasan administratif dapat membuat warga bingung dalam pengurusan dokumen seperti KTP, PBB, akses layanan pendidikan, dan kesehatan. Selain itu, potensi kehilangan pendapatan daerah dari sektor pajak dan retribusi juga menjadi kekhawatiran tersendiri.

Di tengah kebuntuan koordinasi antarprovinsi, Pemerintah Provinsi Jawa Barat tetap menunjukkan komitmen terhadap pembangunan wilayah perbatasan. Dalam kunjungannya ke Desa Tonjong, Kecamatan Pasaleman, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (Kang Dedi) mengalokasikan anggaran Rp20 miliar untuk perbaikan jalan di kawasan perbatasan.

Langkah ini diapresiasi Pemkab Cirebon sebagai bentuk semangat kolaborasi lintas wilayah dan sebagai sinyal positif bahwa wilayah pinggiran tidak diabaikan.

“Semoga ini bisa jadi contoh semangat kolaborasi antar kepala daerah, khususnya untuk mempercepat pembangunan di perbatasan,” ujar Yadi.

14 Desa di Ujung Perbatasan

Setidaknya terdapat 14 desa di Kabupaten Cirebon yang berbatasan langsung dengan wilayah Provinsi Jawa Tengah. Desa-desa tersebut tersebar di Kecamatan Losari, Pabedilan, Ciledug, dan Pasaleman.

Beberapa desa bahkan memiliki akses jalan dan infrastruktur publik yang saling tumpang tindih dengan kabupaten tetangga.

Tanpa adanya kejelasan batas resmi, desa-desa tersebut kerap terjebak dalam ambiguitas administratif, yang berisiko memicu ketegangan, terutama ketika terkait program bantuan, pembangunan infrastruktur, dan perizinan usaha.

BSP GROUP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *