Polemik KLB Leptospirosis di Cirebon: Surat Puskesmas Disebut Keliru
adainfo.id – Kegaduhan publik di Kabupaten Cirebon, tepatnya di Desa Melakasari, Kecamatan Gebang, kian memanas setelah isu penetapan status Kejadian Luar Biasa (KLB) Leptospirosis mencuat ke permukaan.
Isu ini bermula dari sebuah surat edaran yang dikeluarkan oleh Puskesmas Gebang dan menyebut adanya potensi penyebaran bakteri leptospira dari populasi tikus yang ditemukan di wilayah tersebut.
Rabu (18/6/2025), publik dihebohkan oleh klarifikasi dari Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon yang justru membantah secara resmi bahwa Desa Melakasari memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai wilayah KLB.
Namun, pembantahan itu datang setelah masyarakat terlanjur panik akibat edaran awal yang sudah menyebar luas.
Surat Edaran Puskesmas: Potensi Ancaman atau Salah Langkah?
Surat edaran dari Puskesmas Gebang menyebutkan bahwa telah ditemukan tikus-tikus yang membawa leptospira, bakteri penyebab leptospirosis.
Meski belum ada lonjakan kasus secara masif, surat tersebut menjadi dasar bagi asumsi penetapan status KLB.
Tak butuh waktu lama, kabar itu menyebar ke media sosial, grup pesan instan, dan bahkan memicu ketakutan kolektif di masyarakat Desa Melakasari.
Namun saat dikonfirmasi, Kepala Puskesmas Gebang, Mila Kusuma Hermastuti, menyatakan bahwa surat edaran tersebut telah direvisi karena adanya “kekeliruan teknis.”
“Soal surat edaran kan sudah direvisi. Saya juga sudah menghadap ke Dinkes. Jadi ya gak usah ribut bae soal KLB dan revisi,” ucapnya ringan.
Sayangnya, pernyataan tersebut justru memperkuat asumsi publik bahwa terjadi kelemahan serius dalam sistem komunikasi resmi lembaga kesehatan setempat. Bagaimana mungkin surat resmi dengan muatan sensitif dapat tersebar tanpa validasi dan pengawasan berjenjang?
Dinkes Kabupaten Cirebon: Belum Ada Dasar KLB
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon, Neneng Hasanah, secara tegas menyatakan bahwa hingga saat ini, status KLB di Desa Melakasari tidak sah secara epidemiologis.
Ia menyebut bahwa berdasarkan data yang dikumpulkan dari investigasi awal, hanya satu dari empat warga yang diperiksa menunjukkan indikasi leptospirosis melalui metode General Growth Model (GGM). Tiga lainnya negatif.
“Penetapan KLB tidak bisa dilakukan hanya berdasarkan satu parameter hasil laboratorium. Harus ada konfirmasi klinis dan hasil lab yang lengkap,” ujarnya menegaskan.
Neneng menambahkan bahwa KLB hanya dapat ditetapkan jika terdapat peningkatan kasus yang signifikan dari baseline, disertai dengan penyebaran cepat dalam waktu singkat.
Warga Terombang-Ambing, Tikus Jadi Sasaran
Bagi masyarakat Desa Melakasari, polemik ini bukan soal administratif belaka, tapi menyangkut ketenangan hidup sehari-hari. Setelah surat edaran beredar, warga panik.
Aktivitas luar rumah dikurangi, dan kampanye pembasmian tikus berlangsung secara spontan.
Kuwu Desa Melakasari, Sochibi, mengakui bahwa ketidakjelasan informasi menyebabkan warganya kebingungan.
Namun, ia memuji semangat warga yang langsung bergerak melakukan pemburuan tikus dengan racun dan mengubur bangkainya.
“Kemarin warga masih memburu tikus tersebut, dengan menggunakan racun tikus, banyak tikus yang mati dan langsung dikubur,” jelasnya.
Namun tindakan spontan ini menimbulkan pertanyaan baru: apakah masyarakat memiliki akses pada edukasi dan perlengkapan yang memadai untuk melakukan pembasmian secara aman dan efektif?
Kegagalan Komunikasi, Ketidaksiapan Sistem
Kasus ini mencerminkan kegagalan komunikasi yang sistemik antara puskesmas sebagai garda terdepan layanan kesehatan dan Dinas Kesehatan sebagai lembaga yang memiliki otoritas penuh dalam penetapan status kesehatan masyarakat.
Surat edaran yang seharusnya menjadi instrumen kewaspadaan justru berubah menjadi pemicu kepanikan karena tidak dibarengi dengan strategi komunikasi yang terarah.
Di sisi lain, Dinas Kesehatan terkesan lambat memberikan klarifikasi hingga masyarakat telanjur menelan informasi mentah-mentah. Dalam konteks ini, masyarakat menjadi korban kebingungan struktural akibat tumpang tindihnya pesan antara otoritas lokal.
Pentingnya Validasi dan Edukasi Publik
Kejadian ini seharusnya menjadi pelajaran penting bagi seluruh stakeholder kesehatan di daerah.
Ketika informasi menyangkut wabah penyakit menyebar tanpa validasi, risiko panik massal menjadi tak terhindarkan.
Masyarakat bukan hanya perlu diberi informasi yang akurat, tapi juga harus diedukasi soal tindakan preventif dan penilaian risiko yang benar.
Dinas Kesehatan menyebutkan bahwa saat ini fokus mereka adalah pada upaya pencegahan berbasis lingkungan: menjaga sanitasi, menutup saluran pembuangan terbuka, menyimpan makanan dengan aman, dan membasmi tikus yang bisa membawa bakteri leptospira.
Gerakan Spontan Harus Didorong Jadi Gerakan Terstruktur
Apa yang dilakukan masyarakat Desa Melakasari dengan membasmi tikus secara spontan patut diapresiasi.
Namun, tanpa koordinasi yang baik dan pengawasan dari tenaga kesehatan, gerakan ini bisa berujung pada risiko baru.
Misalnya, penggunaan racun tikus secara sembarangan bisa berdampak buruk pada hewan ternak atau anak-anak yang bermain di sekitar lokasi.
Pemerintah perlu segera membentuk Satgas Leptospirosis tingkat desa yang dapat mendampingi warga dalam mengelola gerakan ini secara lebih aman dan terstruktur.
Edukasi dan distribusi alat pelindung diri (APD) sederhana juga penting untuk menghindari kontak langsung warga dengan tikus terinfeksi.